Aku Harus Apa?

1195 Kata
“Namanya, Hana Syamira. Usia dua puluh tiga tahun. Seorang yatim piatu sejak usia sepuluh tahun. Status sudah menikah namun belum memiliki keturunan. Pekerjaannya seorang guru paruh waktu di sebuah taman kanak-kanak.” Vito berdiri di hadapan Aryan dengan sebuah ipad di tangan. Sejak sang asisten menjabarkan permintaannya, Aryan menghentikan pekerjaan lalu diam mendengarkan. Kepalanya tertunduk seraya menopang dahi dengan sebuah pena. “Lalu?” “Suaminya seorang pengusaha.” Aryan mendongak. “Axel Dewadaru.” “Axel Dewadaru?” “Hmmmm.” “Lalu?” “Mereka menikah karena perjodohan orang tua.” “Pernikahan bisnis?” Vito menggeleng pelan. “Karena persahabatan antara almarhum ayah mereka.” Aryan menelisik tajam lurus ke depan dengan pandangan yang kosong. Sejak pandangan pertama, Hana memang telah berhasil menarik perhatian Aryan. Terlebih lagi ketika ia melihat putrinya—Humaira begitu bahagia bersama wanita tersebut. Rasa penasaran bertubi-tubi memenuhi pikirannya saat ia melihat wanita itu dalam kesedihan. Entah perasaan apa itu, namun, ia yakin bahwa Hana pasti tak bahagia dengan pernikahannya. “Oh, ya, wanita itu juga pernah mengalami keguguran.” Satu kalimat itu membuyarkan lamunan Aryan. Seketika itu pula Aryan teringat kejadian lima tahun silam. “Ibu Hana, dimana wali Anda?” “Sedang tidak bisa datang, Dok.” “Ibu Hana, mohon maaf—anda mengalami keguguran. Kami akan segera melakukan tindakan kuretase, ya.” Seorang wanita terbujur di atas stretcher sambil menunggu penanganan di ruang IGD. Sedetik kemudian terdengar sayup-sayup suara isak tangis yang begitu pelan dari balik tirai. “Beberapa kali … Axel tertangkap basah pergi ke hotel dengan sekretarisnya.” “Oke, cukup!” Aryan tak sanggup mendengar semua kenyataan pahit wanita itu. Bagaimana bisa di usia muda dirinya mengalami begitu banyak kepahitan? “Baik, Tuan.” Setelah Vito mengakhiri laporan tersebut, sebuah panggilan video berdering. Aryan melirik pelan. Sebuah layar menampilkan nama Laila. Dan sudah dipastikan bahwa panggilan itu dari sang putri. “Lo udah boleh pergi,” titah Aryan pada sang asisten. Beberapa saat setelah kepergian Vito, Aryan meraih ponsel tersebut lalu mengusap layar untuk menerima panggilan. Tak lama kemudian, sebuah keceriaan menyapa dirinya. “Ayah!!” “Hei, baca salam dulu, Sayang.” “Hmmm, baiklah. Assalamualaikum, Ayah.” “Waalaikumussalam.” Senyum Aryan terpancar begitu pula gadis cilik di layar. Meski tangannya masih terikat oleh selang infus, tapi raut wajah Humaira begitu bahagia. “Ada apa, Sayang? Ayah baru balik lagi ke kantor.” “Ayah usir bibi Hana, ya?” “Maksudmu?” “Kenapa bibi Hana ga ada disini!” Selain melihat Humaira yang merajuk, ia pun melihat raut wajah Laila yang tersenyum tipis. “Oh itu … bibi harus segera pulang karena ada yang harus dikerjakan.” “Bohong!” “Sayang ….” Terlihat bahwa Laila mencoba menenangkan gadis kecil itu dengan mengusap rambutnya. “Ga boleh kayak begitu sama ayah.” “Tapi ….” “Oke, Humaira mau apa, Sayang?” Aryan yang tak bisa melihat gadis kecilnya bersedih pun melunak. Ia tersenyum dan mencoba merayu Humaira. “Aku ga mau lagi diajarin sama miss Grace!” Aryan termangu dengan pernyataan sang buah hati. Tapi ia pun tak bisa langsung menolaknya. Alhasil, Aryan mengikuti obrolan itu hingga mencapai kesepakatan. “Lalu?” “Bolehkah Bibi Hana yang menjadi guru ajarku?” Lagi-lagi Aryan terdiam. “Pekerjaannya seorang guru paruh waktu di sebuah taman kanak-kanak.” Aryan teringat ucapan Vito bahwa Hana merupakan seorang guru TK. Mungkinkah ini sebuah kebetulan? “Itu ….” “Sepertinya dia orang baik. Ga kayak miss Grace yang selalu mencari cara menggoda ayah!” Laila berdesis. Ia hampir tertawa tapi tertahan. Disaat yang sama, Aryan berdehem. Anak sekecil Humaira sudah bisa tahu wanita yang ingin menggoda sang ayah? Luar biasa! Aryan tersenyum tipis. Masih dalam sebuah panggilan video, Aryan bergeming. Ia tampak mencerna permintaan Humaira. Dalam hati ia tak bisa langsung mengiyakan, sementara disisi lain ia berpikir bahwa hal itu akan jadi kesempatan Aryan bisa bertemu lagi dengan wanita tersebut. “Ayah? Ayah mendengarku?” “Ya?” Lamunan Aryan buyar. Si gadis kecil seolah menuntut jawaban ayahnya saat itu juga. “Ayah akan pikirkan lagi, Sayang.” “Janji?” “Ayah janji.” “Baiklah.” Dengan senyum bahagia, Humaira lantas memberikan ponsel itu pada Laila dan kembali berbaring. “Bagaimana kondisi Humaira? Apa dokter sudah visit?” Laila melirik gadis kecil itu sesaat, lalu menjauh. “Sudah lebih baik. Dokter menyarankan untuk Humaira tidak beraktivitas berat setelah keluar dari rumah sakit.” “Baiklah. Tolong jaga Humaira, ya, Bi.” “Siap, Tuan.” Aryan terdiam. Ia menimang, haruskah dirinya meminta pendapat Laila tentang Hana? “Kalau begitu ….” “Sebentar, Bi.” “Ya?” Laila kembali menatap layar tersebut. “Oh, ya, bagaimana menurutmu wanita itu?” Laila menengok ke belakang. Ia melihat Humaira sudah sibuk dengan ipad serta stylus pen. “Nona yang tadi pagi bersama Humaira?” “Hmmmm,” gumam Aryan. “Saya rasa wanita itu sangat menyayangi anak-anak, Tuan.” ‘Ya. Mungkin saja karena ia pernah kehilangan bayinya.’ “Baiklah.” Tak ada yang perlu dibicarakan dengan Laila lagi, Aryan pun menutup panggilan video dengan salam. *** Panti Asuhan Karunia Suci. Seorang wanita termenung dari lantai dua asrama perempuan. Ia berdiri di sudut ruang sambil menatap keluar. Di sebuah kamar yang pernah ia tempati sejak tiga belas tahun yang lalu. Tatapannya lurus menembus jendela. Dari lantai tersebut ia melihat aktifitas anak-anak yang bersiap menuju masjid untuk melaksanakan ibadah sholat dzuhur. ‘Mengapa harus sesakit ini.’ Tanpa diperintah air mata mengalir. Setiap kali mengingat bahwa dirinya tak pernah bahagia dengan pernikahannya, Hana selalu kembali ke panti. Sekadar untuk menenangkan pikiran atau bertemu seseorang yang telah ia anggap sebagai ibu. ‘Ayah … aku harus apa?’ Lagi-lagi Hana terisak. Di sudut ruang menghadap jendela itu, ia menutup mulut agar tak ada seorang pun yang tahu keberadaannya. Namun, tanpa ia sadari suara langkah kaki mulai mendekat, seseorang datang dengan penuh kecurigaan. “Sayang, kamu disini? Sejak kapan kamu dat ….” Wanita dengan balutan gamis hitam serta hijab panjang tertegun sejenak ketika Hana berbalik badan. Ia mendapati anak asuhnya dalam keadaan wajah yang kacau. Air mata mengalir disertai kesedihan. “Ada apa, Hana?” Hana menggeleng pelan lalu mengusap jejak air mata yang terlanjur tampak oleh ibu asuhnya. “Bunda Maryam?” “Kamu ada masalah?” Wanita dengan sebutan Maryam lantas merengkuh bahu Hana, menengadahkan wajah anak gadisnya yang tertunduk, lalu menuntun duduk di tepi ranjang. “Cerita sama Bunda, ada apa?” “Bunda ….” Bukan bercerita, tangis Hana justru semakin menjadi. “Bunda ga lihat kamu datang.” Maryam masih tak ingin berprasangka buruk atas kedatangan Hana saat itu, lantas mengitari pandangan seolah mencari keberadaan seseorang. “Dimana Nak Axel?” Mendengar nama Axel disebut, tubuh Hana semakin bergetar hebat. Wajahnya tertunduk dengan air mata yang tak bisa ia sembunyikan lagi. “Nak?” “Hiks … Hiks,” isak tangis terus menguat ke telinga Maryam. “Sayangku,” ucap Maryam semakin penasaran. Ia menangkup pipi Hana lalu mengusap air mata yang telah membasahi pipi hingga depan hijabnya. “Bunda, apa hukumnya jika seorang istri meminta cerai?” Deg! Jantung Maryam seketika mencelos. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN