Tak Mampu Bertahan.

1242 Kata
“Bunda, apa hukumnya jika seorang istri meminta cerai?” Sepersekian detik Maryam merasa telinganya berdengung dibersamai jantung yang mencelos. Ada apa? Mengapa tiba-tiba anak gadisnya membicarakan soal perceraian? Berbagai pertanyaan menyerbu pikiran Maryam hingga ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun dalam beberapa menit. “Bunda, haruskah aku bertahan?” Suara isak tangis membuat hati Maryam pilu. Pasalnya, Maryam tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Hana. Sejak menikah lima tahun lalu, Hana tak pernah sekalipun mengatakan apapun tentang pernikahannya. Meski Maryam sering melihat Hana menangis seorang diri di panti, Maryam tak pernah menaruh curiga apapun. Ia hanya berpikir bahwa pertengkaran kecil sangat biasa dalam sebuah rumah tangga. Tapi … kenyataannya sangat sulit ia terima ketika Hana membicarakan perceraian tersebut. “Astagfirullahaladzim.” Maryam beristighfar. Sungguh! Ia tak siap mendengar kalimat itu dari mulut Hana. “Apa yang terjadi, Sayang?” Hana hanya bisa terus menggeleng. Bahkan ia pun tak tahu apa ia mampu bertahan dalam pernikahan ‘toxic’ tersebut. Ia tak yakin bahwa dirinya mampu menjalankan amanah almarhum sang ayah untuk menjadi menantu keluarga Dewadaru. “Aku rindu sama Bunda. Aku mau tinggal di panti saja, Bunda.” Satu kalimat itu tak bisa membuat Maryam percaya begitu saja. Tidak mungkin jika hanya karena Hana ingin tinggal di panti saja, bukan? “Kamu itu ngaco, ya!” Maryam menatap wajah Hana sementara bola mata anak asuhnya mengarah ke bawah, tak berani sedikit pun memandang sosok yang telah merawatnya selama tiga belas tahun. Hana bergeming. “Sayang, kalau ada permasalahan di rumah tangga harus diselesaikan dengan kepala dingin. Bukan kabur dan meminta cerai seperti ini.” Dengan nada pelan, Maryam mencoba menasehati Hana dari hati ke hati. Berada dalam pengawasannya selama tiga belas tahun membuat Maryam begitu mengenal karakternya. Hana memang anak penurut, penuh kasih sayang, dan lemah lembut. Sekalipun ia tak pernah melihat Hana marah pada siapun. Namun, Maryam tahu bahwa kebaikan dan kepolosannya seringkali dimanfaatkan oleh orang lain. Pun Maryam bukan tidak tahu bahwa Sovia tidak menyukai Hana. Ia hanya berusaha menutup mata dan telinga, tak ingin mencampuri urusan keluarga mereka. Hubungan Hana dengan sang mertua memang tidak pernah berjalan mulus, meski sudah sebaik apapun Hana bersikap, Sovia selalu menilai salah menantunya. ‘Tapi aku sudah ga sanggup bertahan.’ “Kamu cuma perlu bicara sama Nak Axel tentang apa yang kamu rasakan, Sayang.” ‘Masalahnya Axel pun ga pernah berpihak padaku, Bunda.’ Hana tak bisa menyuarakan jeritan hatinya. Ia hanya membatin dan mengiyakan nasehat Maryam saat itu. “Sayang, persoalan talak itu ga lepas dari hukum agama. Seorang suami tidak bisa secara sembarangan melontarkan, atau seorang istri memintanya. Allah Ta’ala jelas melarang. Dan jangan sampai aturan-aturan itu kalian langgar. “Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, wanita mana yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya aroma surga.” Hana tertohok dengan kalimat yang dilontarkan oleh Maryam. Ia sebenarnya tahu bahwa haram hukumnya bagi seorang istri meminta cerai tanpa unsur syar’i. Lalu bagaimana jika ternyata suaminya berselingkuh dan sang mertua mendukung? Hana merasa begitu dilema. Maryam tak boleh tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya. Dan Hana tak sanggup melihat akibat yang ditimbulkan jika Maryam mendengar semua kebenaran tentang pernikahannya. “Sudahlah, coba bicarakan baik-baik dengan Axel, ya?” Susah payah Hana menelan ludahnya. Ia mengangguk padahal hatinya berkecamuk. Bagaimana? Apa yang harus ia lakukan? Maryam merengkuh tubuh Hana lalu memeluknya erat. Ia mengusap punggung yang terasa begitu tirus. Bahkan tulang-tulangnya seperti dapat ia rasakan. ‘Kamu pasti kuat, Sayang. Maafin bunda karena ga bisa berbuat apapun untuk kamu.’ Air mengalir membasahi bahu Maryam. Hana yang masih terlena dalam kesedihannya mengeratkan kedua tangan memeluk tubuh wanita paruh baya disana. “Baiklah, kita sholat dulu, yuk.” “Aku sedang berhalangan, Bun.” “Oh, ya sudah, kamu ke ruang makan saja temani anak-anak.” Hana melirik jarum jam di tangannya. Seketika ia teringat bahwa ia harus kembali ke rumah. Jika tidak, entah apa yang terjadi dengan nasibnya. “Aku harus segera pulang, Bunda. Mama pasti sudah menunggu.” Maryam menelisik sorot mata Hana tanpa menaruh curiga. “Hmmm, baiklah. Kalau begitu hati-hati di jalan.” “Terima kasih, Bunda. Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” *** Di kediaman cluster minimalis dengan ornamen sederhana, seorang wanita bak sosialita tengah duduk di sofa ruang tamu. Dengan tawa khas serta berbincang-bincang seputar harta yang dimiliki, tentu bisa ditebak bahwa wanita itu sedang berkumpul dengan lingkaran sosialitanya. “Jadi kapan kita keliling dunia lagi, Jeng Sovia?” tanya salah seorang wanita sambil memainkan cincin berlian di jari manisnya. “Itu bisa diatur, Jeng Dilla. Lagipula bisnis anak saya sudah mulai meningkat.” Dengan membusungkan d**a, Sovia mengucapkan kalimat selangit. Pasalnya, sejak sang suami sakit hingga meninggal dunia, perusahaan keluarga Dewadaru hampir berada diambang kematian. Syukurnya, penanganan Axel membuahkan hasil hingga perusahaannya kini membaik. “Bagus itu! Saya sempat khawatir saat almarhum suami Jeng Sovia meninggal. Takut-takut kerajaan Dewadaru amblas.” Salah seorang dari mereka yang memiliki tubuh ramping serta berambut blonde sebahu melontarkan kalimat tak biasa, hingga wajah Sovia berubah muram. Entahlah, ia mendengar dari nada bicara temannya seolah sedang mengejek. “Tenang saja, Jeng Mirna! Putra saya itu lulusan terbaik dari universitas luar negeri. Jadi, dia cukup paham bagaimana memanajemen perusahaan dengan baik.” Sovia tersenyum sinis dengan tatapan mata yang tajam. Lingkaran pertemanan mereka memang dari perkumpulan istri pejabat dan pengusaha. Tapi, keakraban yang terjalin diantara mereka memang tampaknya palsu. Bahkan Sovia dan Mirna kerap kali terlibat adu argumen seraya membandingkan keluarga mereka, hingga sesekali berujung pertengkaran. Seperti kali ini, Mirna tetap tidak ingin mengalah. “Benar, Jeng Sovia. Saya yakin Axel itu pintar. Disamping itu dia juga terlihat tampan dan gagah, cuma yang saya … heran kenapa dia bisa dapat istri seperti Hana, ya?” Duaaaar! Tiba-tiba kepala Sovia terasa pening. Ia sangat benci ketika para temannya membicarakan tentang Hana. Si wanita panti asuhan yang membuat Sovia menjadi bahan ejekan karena memiliki menantu sepertinya. “Bisa ga kalau ….” “Assalamualaikum,” ucap seorang wanita dari pintu utama dan menghentikan kalimat Sovia. Wajahnya masih tertunduk lemah sambil melewati ruang tamu, sehingga ia tidak menyadari bahwa tempat itu ada sang mertua bersama teman-temannya. “Waalaikumussalam,” jawab Dilla dan Mirna. “Hai Hana, apa kabar kamu, Nak?” tanya Mirna dengan nada bicara penuh penekanan serta melirik Sovia yang semakin tidak nyaman. “Eung?” Hana mendongak. Seketika itu pula ia terkejut melihat sang mertua sedang berkumpul dengan nyonya Dilla dan Mirna. “Halo, Tante.” Hana pun mengikis jarak, lalu menyalami satu per satu orang tua disana. Meski ia tak pernah disambut baik oleh Sovia, Hana tetap menjadi menantu dengan sikap yang baik. “Alhamdulillah baik, Tante.” Hana mundur selangkah setelah selesai menyalami Sovia, Dilla, dan Mirna. Ia berdiri agak jauh dengan sikap sungkan. “Alhamdulillah,” jawab Dilla. Di sisi lain, Hana melirik gelagat sang mertua yang tak nyaman dengan keberadaan Hana. “Kamu boleh ke kamar.” Singkat, padat, dan jelas. Sovia secara halus mengusir menantunya. Dan saat itu pula, Hana berpamitan untuk menuju kamarnya di lantai dua. “Tante Dilla, Tante Mirna, aku izin naik ke atas dulu, ya.” Dilla dan Mirna hanya mengangguk. Sementara Sovia sama sekali tak sudi menatap wajah Hana. Langkah kaki Hana terdengar menjauh, bahkan ia mulai menaiki anak tangga satu per satu. Namun, seketika langkahnya terhenti ketika sebuah pertanyaan terlontar dari bibir Mirna. “Kasihan, dia masih muda padahal. Tapi kenapa sampai sekarang belum bisa kasih keturunan buat keluarga Dewadaru, ya?” Deg! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN