Apa salahku, Mas?

1183 Kata
Langkah kaki Hana terhenti. Jantungnya seolah dihujani benda tajam. Tak mengira bahwa pertanyaan yang terlontar dari bibir Mirna sangat menyakitkan baginya. ‘Ya Allah.’ Hana menggenggam pembatas tangga dengan erat. Masih bergeming mengatur perasaan yang tak biasa. “Dari segi fisik dia memang sempurna. Tapi kenapa belum bisa kasih momongan buat Jeng Sovia, ya?” “Hust!” Dilla menghempaskan tangan, memukul lengan Mirna yang sudah berbicara keterlaluan. Sementara sejak kedatangan Hana, Sovia jadi tidak ‘mood’. Ia lebih banyak diam memperhatikan kedua sahabatnya. “Loh! Bukannya kenyataan?” Mirna seolah terus memantik api yang belum terpercik. “Apa dia kurang jago di ranjang, ya?” “Jeng Mirna, sudah ….” Sovia sudah berusaha untuk tidak menghiraukan ucapan sahabatnya yang satu itu, namun emosinya tak mampu lagi tertahan. “Sebaiknya kamu pergi, Mirna!” teriak Sovia yang tersulut emosi. Dibandingkan Dilla—Mirna memang yang paling tidak sopan dalam lingkaran pertemanan mereka. “Loh kok! Jeng Sovia usir saya?” “Iya! Pergi atau saya panggil satpam buat seret kamu!” Mirna yang sok polos lantas berdiri dengan hentakan kaki ke bumi. Sementara Dilla merasa kebingungan. Meski bukan untuk yang pertama kali, pertengkaran mereka memang selalu terjadi. Hana yang masih bergeming, mengira bahwa Sovia tengah membela dirinya. “Jeng Mirna mau kemana?” tanya Dilla saat Mirna sudah berlalu dari tempat itu. “Buat apa disini? Tuan rumahnya saja tidak sopan!” Mirna menghentakkan kaki dan berlalu. Sementara wajah Dilla terlihat serba salah. “Jeng Dilla boleh pergi kalau memang mau,” ucap Sovia lebih lembut dibanding saat bicara dengan Mirna. “Kalau begitu saya izin pamit, ya, Jeng.” Senyum terpancar dari raut wajah Dilla dengan ragu. Sebenarnya ia tidak ada masalah dengan Sovia. Tapi semua terasa canggung karena lagi-lagi ia harus berada di antara dua orang yang berkonflik. “Hmmm, terima kasih.” Setelah Dilla hilang dari pandangan, Hana kembali melangkah menuju kamar, matanya sudah berembun. Namun, sayang seribu sayang. Langkah kakinya langsung tertahan saat ia hampir lolos di ujung anak tangga teratas. “Berani-beraninya kamu pulang!” Sovia mencekal lengan Hana lalu memutar tubuh wanita itu hingga terhempas ke sisi tembok. “Akh!” Hana meringis. Pinggangnya terbentur kuat ke sudut tajam pembatas tangga. “Saya sudah bilang kamu ga perlu repot-repot pulang!” “Tapi, Ma ….” “Dan saya ga sudi, kamu panggil mama!” Hana mencoba bersabar untuk kesekian kalinya. Entah apa yang merasuki tubuh sang mertua. Sejak awal ia ada di kediaman tersebut, Sovia tak pernah bersikap lembut padanya. Ingin sekali ia menyerah, namun Hana merasa tak berdaya. “Ma,” lirih Hana. “Kamu itu cuma aib! Kamu buat saya malu di depan teman-teman saya!” “Mama ….” Hana benar-benar tak sanggup. Ucapan Sovia terlalu membekas di hatinya. ‘Ya Allah, aku ga mungkin melawan wanita yang melahirkan suamiku.’ “Jangan pernah muncul di depan muka saya!” Sovia berlalu dengan emosi yang meluap. Dan Hana melanjutkan langkah kaki menuju kamarnya. *** Hari berganti malam, seorang pria melangkah pelan menyusuri koridor rumah sakit yang sudah mulai lengang. Setelah seharian berjibaku dengan berkas, tiba saatnya ia meluangkan sejenak waktu bersama sang buah hati. Oh ya, sudah tiga hari sejak Humaira di diagnosa pneumonia, ia harus dirawat secara intensif. Tanpa ditemani oleh Vito, Aryan berjalan sambil memijat kepala yang mulai terasa pening, hingga angan-angannya beralih pada masa lalu ketika almarhumah istrinya masih ada di dunia. Dimana, setiap pulang kerja ia selalu mendapatkan pijatan relaksasi. Langkah Aryan berhenti tepat di kamar VVIP, 222. Ia menarik nafas dalam sebelum menghembuskannya panjang. “Fiuh!” Seberat apapun kesendiriannya dalam merawat Humaira dan kerajaan Kartawijaya, ia harus menjadi sosok yang kuat dan tangguh. Pun ia harus berpura-pura menjadi sosok orang tua yang kuat di hadapan Humaira. “Assalamualaikum.” Aryan melangkah pelan ketika pintu kamar itu terbuka. Tampak ruangan mulai remang. Hanya ada sorot lampu tidur dari nakas. Di sisi kiri ranjang seorang wanita paruh baya duduk sambil tertidur. Sementara di ranjang kamar itu anak kecil tertidur pulas. Langkah kaki Aryan mulai mengikis jarak lalu jemarinya menyentuh pundak wanita paruh baya disana. “Bi,” ucap Aryan dengan nada pelan. Terkejut dengan sentuhan di pundaknya, Laila terbangun. Gerakan yang wanita itu ciptakan begitu cepat berdiri hingga membuat kursi yang diduduki terpelanting ke belakang. “Astagfirullah,” ucapnya. Aryan yang tak tahu reaksi Laila akan sedramatis paruh itu pun menyesal. “Bi, maaf.” “Saya juga minta maaf, Tuan.” Laila pun membungkuk seraya meminta maaf. “Ga apa-apa, Bi.” Mereka terdiam beberapa saat, Laila mundur beberapa langkah. Kemudian Aryan duduk di tepi ranjang. “Bagaimana Humaira hari ini, Bi?” tanya Aryan seraya memandang wajah teduh putrinya. “Baik, Tuan. Kata dokter besok Nona sudah boleh pulang.” “Apa dia mengeluh sesak lagi?” Kali ini Aryan bertanya sambil memandang wajah Laila dan wanita itu pun menggeleng. “Syukurlah.” Sesaat diam, Aryan kembali memandang wajah putri kecilnya yang mulai menampakkan kebahagiaan. Tatapan Aryan, beralih pada sebuah ipad yang dipeluk Humaira. Layar yang tertutup dalam pelukan anak itu membuat Aryan begitu penasaran. Pria itu pun meraih ipad lalu memandangnya penuh haru. “Sejak bertemu wanita itu, Humaira terlihat sangat bahagia.” Seolah tahu arti senyum haru Aryan, Laila pun mengucapkan kalimat tersebut. “Sehari ini Nona berusaha menggambar wajah wanita itu karena ga sempat foto bersama.” “Masya Allah.” Aryan memandang sketsa wajah wanita berhijab itu dengan penuh takjub. Entah mengapa perasaannya begitu dalam ketika pertama kali bertemu. Apakah ada benih cinta pada pandangan pertama? “Saya rasa Nona sangat menyukai wanita itu, Tuan.” ‘Apakah secepat itu posisimu tergantikan, Sayang?’ Aryan bermonolog. Ia bertanya seolah almarhumah istrinya ada disana. *** Di tempat lain, seorang wanita berusaha mengobati luka memar di bagian belakang tubuhnya. Jemari yang digunakan, terlihat susah payah mengoles pinggang dengan essential oil. Di hadapan cermin full body, wanita itu meringis kesakitan. Namun, tak lama, suara derap kaki terdengar mendekat. Setelahnya suara derit pintu terbuka. Wanita tersebut langsung menutup bagian atas piyama yang dikenakan. “Mas Axel … udah pulang?” “Hmmmm.” Pria itu melangkah dengan wajah bertekuk, seolah malas menghadapi wanita berambut panjang tergerai di hadapannya. “Mas mau minum sesuatu?” tawar istrinya, Hana. “Ga perlu, saya mau istirahat.” “Mau mandi air hangat, Mas?” Hana sepertinya tak pantang menyerah. Ia mendekat, lalu bergelayut di lengan kekar suaminya. Sedingin apapun sang suami, ia akan terus bersikap lembut dan manja. Padahal, setiap hari Hana selalu berdandan serta memakai pakaian minim untuk menarik perhatian suaminya ketika pulang. Tapi setiap hari itu pula, Hana selalu mendapat penolakan. “Saya mau langsung tidur saja,” ketus Axel melempar tas kerja yang ia bawa serta menjauh dari rangkulan Hana. Dengan gerakan cepat, Axel menarik dasi lalu melemparnya sembarang. Malangnya, saat itu tepat mengenai wajah Hana. “Kamu pergi aja.” Axel berbalik membelakangi istrinya, sementara Hana termangu pilu. Air mata pun tak mampu lagi terbendung olehnya. Bukan hanya karena sakit memar yang ia rasa, melainkan hati dan pikiran pun seolah tertikam benda tajam. “Apa salahku, Mas?” lirih Hana mulai terisak kembali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN