“Apa salahku, Mas?” lirih Hana mulai terisak kembali.
Dan tahu bagaimana Axel bersikap? Pria itu tetap acuh walau suara isak tangis mulai terdengar menggema. Axel sibuk membuka kancing kemeja satu per satu dan tak menghiraukan Hana yang menangis pilu.
“Mas,” lirih Hana.
“Cukup, Hana!”
Axel berbalik dengan mata elang menusuk tajam. Hana pun terdiam hampir terperanjat ke belakang. Ia memandang wajah sang suami yang penuh murka, sementara seluruh kancing bajunya terbuka semua, memperlihatkan separuh tubuh bagian depan yang berbulu halus.
Axel memang tampan, dengan tulang rahang yang tegas serta tubuh atletis. Kontur wajah asia serta gaya rambut side-bangs, Axel tergolong pria dengan banyak peminat wanita. Hal itulah yang membuat Hana seringkali terluka.
“Salah aku apa, Mas?”
Hana membusungkan d**a sehingga terlihat guratan dicelah piyama tipisnya. Air mata berlinang tak dapat tertahan, sementara bibir dan tangan kian bergetar setiap kali harus meninggikan intonasi bicara. Haruskah ia menjadi istri yang durhaka?
“Kamu itu salah karena masuk ke dalam hidup saya, Hana!”
Booom!
Bagai bom waktu yang meledak. Akhirnya Hana mendengar apa yang tak pernah Axel ucapkan dengan sejujur-jujurnya. Jadi selama ini …?
Hana bungkam seribu bahasa. Tubuhnya semakin gemetar. Ia marah, benci, dan menyesal mengapa tak pernah sadar bahwa kehadirannya tak diharapkan oleh pria itu.
“Kalau saja kamu menolak saat Papa saya menjodohkan. Mungkin kamu ga akan semenderita ini!”
‘Ya, benar!’
Hana mengangguk pelan. Wajahnya sudah tumpah dengan air mata yang berlinang. Sementara tatapan matanya tak sanggup menatap wajah pria yang pernah dengan romantis mencumbunya. Apakah itu naluri pria? Bahkan tanpa cinta mereka bisa melakukan itu semua?
“Kenapa bukan Mas yang menolak saat itu?” tanya Hana, kali ini nada bicaranya sangat pelan bahkan tanpa kontak mata sama sekali.
“Cih! Kamu itu bodoh?”
Axel menghempaskan wajah ke samping, ia menertawai sikap Hana yang terlalu naif.
“Kalau saya menolak, saya ga akan bisa dapatkan sepersepun dari harta kekayaan Dewadaru.”
“Jadi semua karena uang?”
Hana mendongak, seketika matanya memandang wajah pria itu dari samping. Ia melihat gemuruh jantung yang berdetak dari tarikan nafas Axel yang berat.
“Bukannya kamu menikahi saya juga karena butuh uang?”
Tekanan nada Axel begitu kuat hingga membuat lutut Hana bergetar.
“Mas,” lirih Hana tak mampu berbuat apapun.
‘Kalau begitu ceraikan aku, Mas!’
Namun sayang, Hana tak bisa menyuarakan isi hatinya secara vokal. Mengapa begitu sulit ketika bernafas pun ia merasa terhimpit?
‘Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?’
Hana menangis sejadi-jadinya.
“Jangan menangis! Air mata kamu ga akan buat saya iba!”
“Keterlaluan kamu, Mas!”
Axel melepas kemeja lalu melemparnya ke dasar lantai. Emosinya semakin terpancing.
“Saya sudah baik sama kamu, ya, Hana!”
Jari telunjuk Axel tepat ada di depan batang hidung Hana. Namun, Hana berani menghempaskan itu dari depan wajahnya.
“Kalau Mas baik—Mas ga mungkin abaikan aku!”
“Itu karena kamu ….”
Ucapan Axel tertahan. Sejujurnya tak ada yang salah dari Hana. Wanita itu menarik dan ia sangat penurut. Tapi, ia tak bisa melawan kehendak sang ibu. Mengingat Sovia sangat membenci wanita itu, Axel pun harus bisa berpihak pada ibunya.
“Karena kamu ga pernah hargai Mama saya!”
Hana tertawa sinis. Apa katanya? Tidak menghargai? Bukankah sebaliknya? Sebaik apapun Hana bersikap terhadap Sovia, akan selalu buruk di mata wanita paruh baya tersebut.
“Mas! Tolong jangan pernah menutup mata soal itu!”
“Sudah, Hana! Saya capek!”
“Oh, ya, tentu saja Mas capek! Mas capek karena habis berhubungan dengan sekretaris, Mas, ‘kan?!”
Axel yang hampir membaringkan tubuhnya, lantas berhenti. Kalimat sarkas yang keluar dari bibir Hana, seolah membuat singa dalam tubuh Axel bangun.
“Apa kata kamu?”
Axel menatap dengan mata elang.
“Jangan pikir aku buta, Mas! Mas dan Mbak Valerie diam-diam punya affair ‘kan?”
Hana yang biasa bersikap selembut kapas, kini berubah menjadi bongkahan batu yang menusuk tajam.
“Tutup mulut kamu!”
“Aku selalu berjuang sendirian, Mas! Dulu aku pernah hamil lalu keguguran … dan itu aku berjuang sendiri! Tapi Mas justru bermain belakang dengan perempuan itu! Apa karena dia yang bisa meneruskan keturunan Dewadaru sedangkan aku ga, eung?!”
Entah keberanian darimana, Hana menantang singa di hadapannya. Tanpa perintah, sebuah tamparan melayang mengenai pipi mulus wanita itu.
PLAK!
Hening.
Sedetik, dua detik, dan tiga detik.
“Kamu mulai berani, ya!”
Axel menghela nafas, berbicara dengan emosi yang mulai redam. Baginya, tak ada guna berargumen dengan wanita itu. Sementara Hana, ia tak bisa mengatakan apapun. Sikap Axel sudah jelas membuktikan apa yang ia lihat sebelumnya di rumah sakit.
“Saya ga sudi lihat muka kamu!”
Axel pun pergi. Sepertinya, Hana harus kembali tidur sendiri. Entah mengapa, setiap malam selalu ada pertengkaran yang terjadi hingga menyebabkan mereka pisah kamar. Lalu bagaimana Hana bisa meneruskan keturunan Dewadaru? Mengapa ia harus dicap mandul, sementara suaminya jarang memberi nafkah batin?
‘Ayah, aku ga sanggup! Hiks!’
Hana mengusap pipinya yang mulai memanas.
***
“Ayah, kapan Humaira ketemu Bibi cantik itu lagi?” tanya seorang anak kecil sambil berjibaku dengan ipad dan stylus.
Dalam sebuah perjalanan, pria dewasa yang duduk di sampingnya menoleh. Sebelum itu, ia juga sempat sibuk membaca email yang masuk di layar ponsel. Namun, sejenak ia urungkan lalu memandang sang putri dengan intens.
Dalam mobil itu, supir dan pelayan di kursi depan melirik sesaat namun mengalihkan pandangan setelahnya.
“Humaira rindu dengan Bibi itu,” ucapnya lagi. Masih sibuk dengan sketsa di ipad, Aryan ikut memandang ke layar tersebut. Ia melihat sketsa putrinya dengan wanita dewasa berhijab. Sungguh manis!
“Lalu apa yang harus Ayah lakukan, Sayang?”
Senyum tipis mengulum lembut di bibir pria itu seraya mengusap puncak kepala Humaira.
“Jadikan Bibi itu sebagai guru private Humaira.”
Aryan menggeleng.
“Bagaimana bisa kamu yakin dengan Bibi itu? Bahkan kamu baru bertemu satu kali, ‘kan?”
Humaira kesal. Ia menghentikan gerakan stylus tersebut lalu memandang sang ayah dengan wajah memberengut.
“Bibi itu berani menghadapi pengawal Ayah saat Humaira bilang mereka orang jahat. Dan Bibi juga menggendong Humaira di punggungnya.”
Sungguh polos!
“Padahal Bibi itu baru melihat Humaira.”
Aryan hanya mengiyakan saja. Humaira memang tak pernah merasakan kasih sayang dari sosok ibunya. Mungkin saja perhatian sekecil itu membuatnya tersentuh.
“Baiklah.”
“Baiklah apa, Ayah?”
“Ayah akan pikirkan.”
“Benarkah?”
“Hmmmmmm.”
Humaira tersenyum bahagia. Tubuhnya bergerak ke kanan dan ke kiri lalu berujung memeluk tubuh sang ayah.
“Terima kasih, Ayah.”
“Sama-sama, Sayang.”
***
Sebelum berangkat, Hana berjibaku di dapur. Meski ia mendapat bantuan dari pelayan, memasak untuk keluarga Dewadaru tetap menjadi prioritasnya. Sudah menjadi rutinitas di pagi hari menyiapkan sarapan untuk keluarga tersebut. Meski ia tak yakin apakah sajiannya dimakan atau tidak, yang terpenting, Hana ingin menjalankan kewajiban sebagai seorang istri dan menantu yang baik. Setelah sarapan siap di meja, Hana berpamitan dengan pelayan di rumah itu. Ia harus pergi sebelum sang mertua bangun, pun begitu dengan suaminya.
“Bi, saya berangkat dulu ke yayasan, ya.”
“Siap, Non. Hati-hati, ya.”
Pelayan itu memandang wajah Hana yang pucat. Wajah sembab dengan tanda merah yang membekas di pipi, membuat pelayan itu curiga bahwa Hana mengalami kekerasan hingga menangis semalaman.
“Terima kasih, Bi. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
‘Semoga Allah angkat derajat Non Hana, ya.’
Pelayan itu membatin seraya mengekori punggung Hana yang menjauh. Setelah Hana memesan taksi online, ia pun berlalu menuju tempat kerjanya, sebagai seorang guru taman kanak-kanak di sebuah yayasan.
Meski sang suami memiliki harta berlimpah, Hana sama sekali tak bisa mencicipi fasilitas yang ada. Baik supir atau pelayanan, ia tak bisa dapatkan. Pun, uang saku yang selalu diberikan Axel, selalu dirampas kembali oleh Sovia. Alhasil, Hana harus berjuang sendiri. Setidaknya untuk membeli kebutuhan pribadinya.
Waktu berlalu hingga supir taksi menyadarkan wanita yang tengah termangu.
“Maaf, Mbak, sudah sampai,” ucap supir itu sambil melihat kaca spion.
“Oh, iya, Pak. Terima kasih.”
Hana menarik handle pintu lalu menarik nafas dalam-dalam. Entah apa yang harus ia katakan ketika teman-temannya melihat bekas merah di pipi serta rona sembab di matanya?
“Bismillahirrohmanirrohim,” ucap Hana sebelum memasuki gerbang.
***