Sebuah Takdir

1212 Kata
Setelah mengantar Humaira ke kediamannya setelah bermalam di rumah sakit. Aryan meminta Vito untuk mengantarkan ke sebuah tempat. Dalam perjalanan itu, ia pun menyibukkan diri mencari beberapa informasi tentang Dewadaru. Aryan begitu familiar dengan nama perusahaan yang Vito sebut sebelumnya. Tak sampai berapa menit kemudian, mobil sedan yang dikemudikan Vito berhenti di sebuah lobi gedung, bertuliskan ‘Yayasan Insan Mulia’. “Lo yakin dia disini?” tanya Aryan pada Vito. “Yakin, Tuan.” “Tapi ini ‘kan yayasan punya ….” Aryan menghentikan ucapannya. Bagaimana ia tak terkejut. Bahwa gedung yang ia datangi merupakan yayasan milik sang ibu, Ummu Habibah. “Iya, punya Nyonya.” Aryan bergeming. “Tenang saja, Tuan. Nyonya sedang di luar negeri ‘kan? Jadi ga akan curiga.” “Bagaimana sama stafnya?” “Itu bisa saya atur, Tuan.” “Okelah.” Di ruang pengajar, Hana mempersiapkan diri hendak menuju kelas. Saat itu, ia mencoba menutupi pipinya yang memar dengan polesan bedak. Seketika ia menarik nafas, memandang wajah yang begitu menyedihkan di depan kaca. ‘Kamu sungguh menyedihkan, Hana.’ Lagi-lagi tarikan nafas terdengar berat. Saat kaki berpijak ke bumi dan tubuhnya lekas berdiri, seseorang menghampiri. “Bu Hana, ditunggu di ruang kepala yayasan, ya.” Hana membeliak. Seketika jantungnya bergemuruh kencang. Ada apa? Apa ia berbuat salah? Hana menebak dalam pikirannya. Ia tentu tidak siap jika harus kehilangan pekerjaan. Apalagi suami yang seharusnya memberi nafkah lahir dan batin tak bisa memenuhi kewajibannya. “Eung, ada apa, Pak Rahmat? Apa saya buat salah?” Hana langsung menyuarakan ketakutannya. “Ga tahu, Bu. Silakan langsung ke ruang beliau saja, ya.” Seorang pria berkacamata bulat serta kumis tebal berlalu meninggalkan ruang tunggu pengajar. Sepersekian detik Hana termenung. Entah apa yang harus diucapkan nanti. Haruskah ia memohon ketika diminta berhenti? Langkah kakinya tergesa-gesa. Dalam hati ia bermonolog pada dirinya sendiri. Apapun yang terjadi, ia hanya bisa berserah diri. Jemari yang mengepal mulai mendingin dan basah. Tiba di ruangan bertuliskan Kepala Yayasan - Ummu Habibah, Hana menghela nafas dalam. ‘Bismillahirrohmanirrohim.’ “Assalamualaikum,” ucapnya seraya mengetuk pintu. “Waalaikumussalam, silakan masuk!” Suara dari dalam terdengar menyaut, namun membuat dahi Hana mengernyit, mengapa bukan suara wanita? Hana mendorong pintu tersebut, namun tampak seorang pria memandang ke sebuah jendela membelakanginya. “Maaf, saya dapat info kalau Ibu kepala mau bertemu?” Hana ragu tapi langkahnya tetap berpijak masuk. Setelah mendengar suara yang keluar dari bibir Hana, pria yang tengah menatap ke jendela akhirnya berbalik badan. “Ya, tapi bukan beliau yang ingin bertemu. Tapi, saya.” Ketika pria itu berbalik, Hana hanya bisa tercengang. ‘Pria itu ….’ “Ayah!” Hana teringat jelas ketika gadis kecil yang ia temui lari ke dalam dekapan pria tersebut. “Tuan?” “Kita bertemu lagi, Nona.” Senyum hangat yang muncul dari bibir pria itu membuat Hana langsung tertunduk. Apa ini benar-benar takdir hidupnya? Bertemu pria yang merupakan ayah dari anak kecil pemikat hatinya. “Ma-maaf, dimana Ibu kepala?” “Beliau sedang di luar negeri.” Hana langsung mendongak. Matanya membeliak. Lalu maksud ucapan Pak Rahmat tadi apa? Hana celingak-celinguk, mengitari pandangannya. Apa ia sedang dikerjai? “Yang ingin bertemu dengan kamu itu, saya, Nona.” “Eh?” “Silakan duduk.” Hana bergidik ngeri. Bagaimana mungkin ia berada di dalam satu ruang tertutup bersama pria asing? “Saya ga bisa, Tuan, maaf.” Hana menggeleng sementara Aryan mengernyitkan dahi. Sekelebat, Aryan teringat bahwa Hana tak bisa berduaan dengan pria asing. “Tapi saya ga mau kalau hanya berdua saja.” “Ah!” Aryan menggaruk dahinya yang tak gatal seraya tersenyum tipis. Bagaimana mungkin ia lupa bahwa sosok di hadapannya ini telah bersuami dan berusaha menjaga martabat serta harga diri. “Baiklah, saya akan memanggil asisten saya.” “Terima kasih, Tuan.” Hana pun melangkah duduk di sofa dekat Aryan berdiri. Setelah Hana duduk, Aryan pun ikut duduk di seberang sofa dimana Vito sudah berdiri di belakang mereka. “Jadi maksud kedatangan saya kesini untuk melamar Nona.” Hana lantas menoleh ke arah Aryan dengan tajam, sedangkan Vito merasa kebingungan. Sepertinya bukan itu tujuan awal mereka datang. “Apa maksudnya?” tanya Hana dengan nada tinggi. Meski ia tidak diperlakukan suaminya dengan baik, Hana masih memiliki harga diri untuk tidak mudah didekati sembarang pria. “Eh, sorry, maksud saya … saya mau Nona menjadi guru private putri saya.” Vito diam-diam tersenyum, ia menutupi bibirnya dengan jari. ‘Bisa-bisanya si Bos ngelawak.’ “Oh!” Hana menghela nafas, hampir saja gemuruh jantung berubah meledak. Namun, kalimat berikutnya membuat emosinya redam. “Tapi saya terikat kontrak dengan yayasan, Tuan. Saya ga bisa menerima tawaran itu.” Aryan menghela nafas, bahkan sepertinya Hana tak ingin mempertimbangkan terlebih dulu. Aryan hanya bisa tersenyum dalam hati. Sungguh polos sekali wanita ini! “Saya bisa bicarakan itu dengan kepala yayasan. Bukankah Nona menyukai putri saya?” Hana menatap manik mata hazel pria itu. Sepersekian detik berikutnya ia tertunduk lagi. “Saya memang menyukai putri, Tuan. Tapi ….” “Tentang kepala yayasan, Nona ga perlu khawatir.” Hana mendongak lagi. “Saya akan bicara sama Ibu saya.” “Ibu?” Hana semakin bingung. “Iya, Nona. Yayasan ini milik Ibunda Tuan Aryan.” Vito ikut memberi keterangan agar Hana mempercayai ucapan tuannya. Seketika hening. Hana tak menyahut. Mengapa takdir begitu aneh? Pikirnya. Apa ini kebetulan atau memang sebuah takdir yang sudah ditentukan? Sementara Aryan bergeming memandang wanita di hadapannya. Ada yang aneh, pikirnya. Aryan melihat ada raut wajah pucat, mata sembab, serta pipi memerah disana. ‘Apa kamu baik-baik saja?’ Aryan bermonolog, namun itu hanya dalam hati saja. Ia tak mungkin secara jelas memperlihatkan rasa prihatinnya. “Sejak kemarin putri saya mencari kamu. Saya berharap kehadiran kamu bisa membuat hidup putri saya lebih bahagia.” Aryan memelas. Tak ada yang bisa Hana ucapkan. Sejak pertama kali bertemu Humaira, entah mengapa hatinya langsung terikat. Masa lalu kelam ketika kehilangan janin yang dikandungnya, membuat Hana trauma. Tapi setelah gadis kecil itu hadir, semua terasa berbeda. Hana mengakui bahwa kehadiran Humaira membuat dirinya ingin kembali berjuang. “Tolong saya,” ucap Aryan sambil memohon. Hana masih membisu serta menatap Vito dan Aryan silih berganti. “Saya akan pikirkan lagi, Tuan.” Aryan mendongak, menatap Vito. Saat itu pula Vito memberi isyarat untuk tidak terlalu memaksa. “Baiklah.” Aryan tersenyum lembut. Hana yang tak mampu berbuat apapun hanya memainkan jemarinya dengan kasar. “Kalau begitu, boleh saya pergi?” pamit Hana. “Oh, baik. Silakan ….” Aryan beranjak, pun demikian dengan Hana. Saat langkah kaki Hana berlalu, Aryan mengikuti dari belakang lalu membukakan pintu ruangan tersebut. “Terima kasih.” Hana menunduk seraya mengucapkan rasa terima kasihnya. “Sama-sama. Saya tunggu kabar baiknya.” “Assalamualaikum.” “Waalaikumussalam.” Setelah Hana berlalu pun, pandangan Aryan tak berhenti mengekori kemana langkahnya pergi. Ia benar-benar kagum dengan sosok Hana yang menarik dan lemah lembut. “Hmmmmm,” dehem Vito. Aryan berbalik dengan canggung. “Sayang, ya, Tuan. Perempuan itu punya suami.” ‘Iya, mungkin kalau single saya sudah jadikan dia bundanya Humaira.’ “Lo itu ngomong apa sih, To!” “Barangkali, Tuan naksir.” Goda Vito yang menyadari tatapan Aryan berbeda. “Kayaknya memang sudah takdir, Tuan.” Aryan berdecak. Wajahnya merona. “Sudahlah waktunya balik ke kantor!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN