Khayra berdiri terpaku setelah menutup telepon. Jantungnya berdegup cepat. Tangisan Dinda masih menggema di telinganya, menghantam kesadarannya berkali-kali. Ia belum pernah mendengar suara seputus asa itu dari Dinda. Perempuan yang selama ini terlihat kuat, penuh percaya diri, dan tak pernah menunjukkan kelemahan. Kini, Dinda seperti kaca yang hancur berkeping-keping—dan serpihannya menusuk ulu hati Khayra dengan tajam. Ia berjalan bolak-balik di dalam kamar. Kepalanya penuh dengan kekhawatiran dan kemungkinan terburuk. Ia ingin sekali segera datang, memeluk Dinda, dan menarik perempuan itu keluar dari neraka rumah tangga yang selama ini ia jalani diam-diam. Tapi jarak membuatnya lumpuh. Ia terlalu jauh. Bahkan jika ia memutuskan untuk pergi saat ini juga, itu akan memakan waktu berjam-j

