"Keadilan bukan hanya menegakkan hukum, tapi juga keberanian menantang ketidakadilan, meski itu datang dari mereka yang paling berkuasa."
- Ghea Gemalia Saputri
Langit pagi itu cerah, tapi tidak dengan suasana di SMA Bhakti Pertiwi. Ada yang aneh di balik persiapan keberangkatan kunjungan edukasi ke Bali. Mahardika sudah merasakannya sejak awal: jumlah dana tak sebanding dengan fasilitas yang dijanjikan.
"Rp3,8 juta per siswa? Dan kita cuma dapet penginapan kelas losmen, bus ekonomi, dan cuma tiga hari dua malam?" gumam Mahardika sambil membuka brosur yang dibagikan panitia.
Ghea duduk di sebelahnya, menyimak dengan cermat.
"Kau lihat ini?" Mahardika menunjuk daftar anggaran. "Catering-nya ditulis Rp750 ribu per anak. Aku tanya temanku di kelas IPA 1 yang orangtuanya punya katering-biaya sebenarnya hanya Rp250 ribu. Ke mana sisanya?"
Ghea menunduk sebentar, lalu mendongak dengan tatapan yang menyala.
"Kalau benar, ini bukan kelalaian. Ini kejahatan."
Mereka saling pandang. Tak perlu banyak kata. Itu sudah cukup sebagai isyarat bahwa mereka akan menyelidiki ini lebih dalam.
---
Tiga Hari Sebelumnya
Semua bermula dari obrolan ringan di kantin. Seorang siswa baru pindahan dari sekolah lain tanpa sengaja menyebutkan, "Eh, sekolah lama gue juga ke Bali. Tapi cuma bayar dua juta udah dapet penginapan hotel, makan empat kali sehari, sama tiket wisata."
Itu seperti alarm buat Mahardika. Ia segera menghubungi kakak sepupunya di Jakarta yang bekerja di biro perjalanan. "Tolong cariin rate hotel dan bus yang biasa dipakai sekolah ke Bali," pintanya.
Keesokan harinya, data yang dikirim sepupunya membuat dahi Mahardika berkerut. Biaya aktual hanya sekitar Rp1,9 juta per anak. Tapi pihak sekolah memungut hampir dua kali lipat.
Ghea segera membuka laptopnya, membuat tabel pembanding antara estimasi biaya wajar dan yang tertulis dalam proposal sekolah.
"Kurang lebih ada selisih 1,8 juta per anak. Pesertanya ada 112 siswa. Total selisih hampir 200 juta!" bisik Ghea, ngeri.
---
Mengatur Strategi
"Target kita satu: Wakil Kepala Sekolah, Pak Damar," ucap Mahardika malam itu di teras rumah Ghea. "Tapi kita nggak bisa sembarangan nuduh. Kita harus punya bukti."
Ghea mengangguk. Ia mengambil ponselnya dan mulai mengetik.
"Besok, aku akan pura-pura mau bantu bagian administrasi panitia. Dari sana aku bisa akses data keuangan yang mereka simpan di ruang guru."
"Aku akan coba dekati salah satu guru yang biasa nemenin Pak Damar ke travel agent. Siapa tahu dia tahu lebih banyak."
Malam itu keduanya kembali jadi Duet Maut seperti saat SMP. Tapi kali ini, pertarungan mereka lebih besar. Lawannya bukan sekadar teman sekelas atau senior, tapi orang dewasa-guru, dan bahkan kerabat yayasan.
---
Misi Rahasia
Hari berikutnya, Ghea mengenakan senyum manis saat menghampiri Bu Nani, guru BK sekaligus panitia kunjungan.
"Bu, saya boleh bantu input data siswa nggak? Saya lihat Ibu kewalahan sendiri."
Bu Nani mengangguk senang. "Wah, mau banget, Ghea. Terima kasih ya."
Ghea masuk ke ruang guru. Di sana, ia menemukan laptop panitia dan satu map biru yang penuh bukti: kuitansi, print out email, dan rincian biaya dari travel. Dengan cepat, ia memotret satu per satu dokumen itu pakai ponselnya.
Sementara itu, Mahardika sedang ngobrol ringan dengan Pak Arief, guru Biologi, yang juga suka motret dan biasa ikut kunjungan.
"Pak, katanya Pak Damar yang ngatur semuanya ya?"
Pak Arief mengangguk, "Iya, katanya travel langganan. Tapi kok ya tiap tahun kayak gitu-gitu aja. Kemarin aku sempet liat dia terima amplop dari orang travel, tapi entah isinya apa."
Keterangan itu menjadi pelengkap yang penting.
---
Dilema dan Keputusan
"Kita siapin surat terbuka aja, Dhika. Ditujukan ke yayasan. Tapi jangan ada nama kita."
"Kita boleh nyamar, tapi jangan pengecut."
Malam itu di bawah langit mendung, mereka duduk berdua di emper toko yang sudah tutup. Surat terbuka mereka susun rapi, berisi analisis lengkap, bukti foto, dan perbandingan biaya.
Mereka mengirimkannya via email ke yayasan dan beberapa guru yang dikenal jujur. Lalu, unggahan anonim muncul di akun media sosial sekolah:
📌 "Ada yang mencurigakan dalam kunjungan Bali tahun ini. Apakah kita tahu ke mana dana kita benar-benar pergi?"
---
Kabar Membesar dan Reaksi Sekolah
Keesokan harinya, SMA Bhakti Pertiwi gempar. Para orang tua murid mulai bertanya. Komite sekolah memanggil rapat dadakan.
Pak Damar terlihat gelisah. Ia membantah semua tuduhan. Tapi ketika yayasan turun tangan dan mengaudit, semua terbongkar. Kuitansi palsu. Mark-up besar. Dan ternyata ini sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu.
Total kerugian hampir setengah miliar rupiah.
---
Akibat dan Penghargaan
Pak Damar akhirnya diberhentikan. Yayasan diam-diam mengembalikan kelebihan dana siswa melalui pengurangan SPP. Nama pelapor masih anonim, tapi beberapa guru mulai menebak siapa dalangnya.
Namun, alih-alih takut, Mahardika dan Ghea justru semakin dikenal. Di sekolah mereka mulai dijuluki Duet Maut. Yang satu tajam kata-katanya, yang satu tenang tapi strategis.
"Gue nggak nyangka semua bisa berubah segini besarnya," kata Ghea suatu sore.
"Kau yang ngajarin aku bahwa diam itu bukan pilihan saat kita tahu ada yang salah," jawab Mahardika.
---
Romansa yang Diam-Diam Mengakar
Suatu malam, mereka duduk di tangga aula sekolah usai rapat OSIS.
"Kau nggak takut waktu semua bukti kita kirim?" tanya Mahardika.
"Takut. Tapi lebih takut kalau suatu hari anak-anakku nanti sekolah di tempat seperti ini dan kita diam saja."
Mahardika menatap Ghea dalam-dalam. Ia ingin bicara, tapi menahan.
"Kau luar biasa, Ghea."
"Begitu juga kamu, Dhika."
Mereka tersenyum. Malam itu, semilir angin tak hanya membawa kemenangan, tapi juga benih-benih rasa yang perlahan mekar, meski keduanya belum mengaku.
-----
Hampir sebulan sejak kejadian di ruang guru, Ghea dan Mahardika nyaris tak pernah benar-benar sendiri. Semenjak peristiwa pembongkaran manipulasi dana kunjungan sekolah ke Bali itu viral di kalangan siswa dan guru, mereka seperti hidup di bawah sorotan tak kasat mata. Tapi bukan sorotan biasa. Ini adalah sorotan penuh rasa ingin tahu, kekaguman, bahkan ada pula ketakutan dan kekesalan.
"Mereka pikir siapa sih kita? Detektif?" ujar Mahardika sambil membuka kotak makan siangnya di kantin.
Ghea tertawa pelan. "Kalau mereka salah, kita bisa dibilang jaksa dan jurnalis masa depan. Pas, kan?"
"Duet maut katanya," Mahardika menirukan bisik-bisik siswa lain sambil menatap Ghea. "Kalau saja mereka tahu, kita juga nyaris dihukum karena menyadap guru pakai voice recorder bekas milik laboratorium."
"Yang kamu colong juga sih, dari lab biologi," bisik Ghea setengah geli, setengah tegang.
"Disita?" Mahardika meneguk air putih.
"Untung enggak. Tapi Miss Rani curiga. Dia bilang, 'Suara saya kok kayak ada di file kamu ya?'"
Mahardika tertawa geli. Lalu matanya menyapu seisi kantin yang mulai sepi.
"Ghea, kamu sadar nggak, semua ini... kayak bukan cuma buat hari ini. Tapi kayak sedang menyiapkan kita untuk hal yang lebih besar nanti."
Ghea mengerutkan dahi. "Maksud kamu?"
"Kamu bakal jadi jaksa beneran. Aku juga, jurnalis. Dan kita nggak akan berubah. Tetap membela yang benar."
Ghea menggigit bibir bawahnya. Ada getaran halus yang menyelinap di dadanya. Ia memalingkan wajah. Takut Mahardika membaca matanya.
---
Beberapa pekan berlalu. Saat sekolah mulai lengang dan persiapan ujian tengah semester mendominasi, kasus baru muncul diam-diam.
Seorang siswa kelas 11 bernama Rangga, diam-diam menemui Ghea di perpustakaan. Tangannya gemetar saat menyerahkan selembar nota fotokopi dan selembar surat undangan palsu atas nama siswa-siswa berprestasi.
"Aku nggak tahu harus ke siapa lagi. Tapi setelah lihat kalian berdua waktu kasus Bali itu... aku percaya kalian bisa bantu."
"Santai dulu, Rangga. Cerita pelan-pelan," Ghea menepuk punggungnya lembut.
Rangga menatap keduanya. "Aku... ditawari ikut 'bimbel prestasi' yang katanya dibiayai sekolah. Tapi ternyata, kami disuruh bayar sendiri, padahal dananya sudah ada dari yayasan. Teman-teman yang nggak bisa bayar, di-drop out diam-diam."
Mahardika mengangguk perlahan. "Artinya ada lagi yang main dana program. Siapa yang pegang bimbel itu?"
"Guru baru. Pak Roni. Tapi kayaknya dia cuma pion. Kata seniorku yang udah keluar, semua dana program berprestasi itu ditarik ke satu akun yayasan dulu, baru disebar lagi. Dan banyak yang nggak pernah nyampe."
Ghea mencatat cepat. "Oke. Kita butuh bukti, bukan cuma testimoni. Kamu bisa bantu?"
Rangga mengangguk mantap.
Dalam waktu kurang dari seminggu, mereka mendapatkan dua file penting: surat perjanjian pengadaan bimbel dengan nama kepala sekolah dipalsukan, dan percakapan w******p dari seorang guru ke koordinator program yayasan yang membahas "pemotongan untuk rutinan orang dalam".
Mahardika segera mengatur waktu untuk membuat laporan ke LSM pendidikan yang punya kanal khusus investigasi remaja. Tentu saja, demi keamanan, nama mereka tetap anonim. Namun di lingkungan sekolah, aroma pelanggaran kembali tercium.
"Kamu yakin mau terus begini, Dika?" tanya Ghea, suatu sore saat mereka berjalan menyusuri selasar gedung tua sekolah yang mulai sepi.
"Maksudmu?"
"Kita kayak bikin masalah terus. Sekolah nggak akan tinggal diam."
Mahardika menghentikan langkah. Menatap Ghea penuh kesungguhan.
"Aku nggak bikin masalah. Aku menyelesaikannya. Dan kamu juga. Kalau kita diem, kita jadi bagian dari masalah itu."
Ghea mengangguk pelan. Kalimat itu menancap di benaknya.
---
Malam itu, hujan deras turun. Petir bersahut-sahutan di langit Semarang. Tapi di salah satu ruang kecil milik laboratorium komputer, dua remaja itu tengah menuntaskan dokumen rahasia yang akan dikirimkan ke pihak luar.
Flashdisk berisi bukti sudah diselipkan dalam buku matematika yang akan dikirim melalui jasa kurir ke alamat kontak LSM.
"Kalau ini ketahuan, bisa-bisa kita dikeluarkan dari sekolah," kata Ghea pelan.
"Kalau kita berhenti, nggak akan ada yang mengingat nama kita. Tapi kalau kita terus, bisa jadi banyak anak muda nanti yang tahu: benar itu harus dibela. Dan salah harus dibongkar."
Ghea tersenyum. Dingin dan ketegangan dalam dadanya seketika berubah jadi hangat. Lalu entah kenapa, malam itu saat mereka hendak berpamitan, Mahardika memegang lengan Ghea lebih lama dari biasanya.
"Apapun yang terjadi nanti... kita tetap satu tim ya, Ghea. Duet Maut."
Ghea menatapnya dalam-dalam. "Bahkan kalau dunia menolak kita."
---
Hari pengumuman ujian tiba. Semua sibuk. Tapi tiba-tiba, kabar mencengangkan muncul di grup OSIS. Pak Roni dinonaktifkan. Surat dari yayasan sudah turun. Dan kabar simpang siur mengatakan, akan ada audit menyeluruh terhadap dana-dana siswa berprestasi selama 5 tahun terakhir.
"Kita berhasil lagi," bisik Mahardika sambil menyikut lengan Ghea.
"Tapi kali ini... kita benar-benar harus hati-hati. Mereka pasti mulai curiga siapa dalangnya."
---
Sore itu, Ghea pulang lebih dulu. Di kamarnya, ia membuka kotak kecil yang berisi potongan kliping dari setiap peristiwa penting yang pernah mereka lewati bersama. Dari koran sekolah yang menulis headline "Skandal Dana Bali Terbongkar: Duet Maut, Siapa Mereka?", hingga foto-foto kegiatan OSIS dengan wajah Mahardika tersenyum penuh percaya diri.
Ghea tersenyum kecil. Tapi senyumnya cepat pudar.
Ia merasakan dadanya sesak. Tak tahu kenapa, ia takut. Takut suatu hari kehilangan sosok itu. Sosok yang sejak kecil selalu berdiri di sisinya, berani menghadapi siapa pun, untuknya.
Ia mengambil ponselnya.
Ghea (chat): "Lagi apa, Dika?"
Mahardika: "Mikirin kamu."
Ghea: "Gombal."
Mahardika: "Enggak. Aku serius."
Ghea menahan senyum. Ada satu sisi dirinya yang belum berani mengakui, tapi kini ia tahu: Mahardika bukan sekadar sahabat. Ia rumah. Tempatnya pulang, sekaligus tempat ia belajar bertarung.
Dan tanpa mereka sadari, semua peristiwa ini hanya pembuka dari perjalanan panjang. Karena saat bel berbunyi pagi itu, di pintu ruang guru, sebuah nama baru akan membawa mereka ke kasus selanjutnya. Kasus yang lebih rumit. Lebih dalam. Dan lebih berbahaya.