"Karena kadang, keadilan dimulai bukan dari pangkat, melainkan dari keberanian." - Ghea Gemalia Saputri
Suara gerimis sore itu menyatu dengan langkah-langkah cepat di koridor SMA Purnama Bhakti. Ghea menggandeng map biru yang penuh coretan. Mahardika menyusul dari belakang, dengan napas yang sedikit terengah karena baru saja kembali dari perpustakaan kota, tempat ia memfoto kopi arsip keuangan yayasan yang mencurigakan.
"Semua ada di sini," katanya sambil menyerahkan setumpuk dokumen ke Ghea.
Ghea menatapnya penuh haru. "Terima kasih, Dhika. Aku tahu ini pasti butuh nyali besar. Apalagi kalau mereka tahu kamu mengakses data internal yayasan."
Mahardika mengangkat bahu santai, tapi dari tatapan matanya terlihat kegelisahan yang sulit ia sembunyikan. "Yang aku khawatirkan bukan mereka... tapi kamu. Ghea, kalau kamu ketahuan membawa ini..."
"Kalau aku diam, aku bukan Ghea yang kamu kenal," potong Ghea cepat. Tatapannya penuh tekad.
Mahardika diam. Di saat seperti ini, ia merasa bahwa Ghea bukan sekadar sahabat kecilnya yang dulu suka menangis karena kehilangan pensil atau kesal saat sepatu kena hujan. Dia adalah perempuan yang teguh, tak gentar meski badai ancaman tengah menggulung di depan mereka.
---
Beberapa hari kemudian, mereka berdua mengumpulkan semua bukti dan membuat laporan rahasia ke kepala dinas pendidikan kota melalui surat tak bernama. Isinya lengkap, disertai perbandingan data anggaran dan foto-foto kuitansi palsu yang berhasil mereka peroleh.
Namun siapa sangka, keberanian mereka justru membangkitkan bara yang selama ini tersembunyi. Di suatu sore, ketika Ghea tengah mengajar adik kelasnya dalam kegiatan OSIS, seorang pria dewasa-guru matematika yang juga tangan kanan wakil kepala sekolah-menyergahnya.
"Ghea Saputri, kamu pikir kamu siapa?!" bentaknya. "Anak SMA sok tahu, mencampuri urusan orang dewasa!"
Mahardika yang kebetulan melihat kejadian itu segera menghampiri. "Jangan bicara seperti itu pada Ghea, Pak. Kalau Anda merasa terganggu, mungkin memang ada yang harus diperbaiki, bukan malah menekan."
Tatapan guru itu tajam, bahkan sempat melirik Mahardika dengan penuh kebencian. "Kalian pikir kalian bisa menang? Dunia ini bukan tentang siapa yang benar, tapi siapa yang lebih kuat!"
"Sayangnya, Pak..." Ghea berdiri perlahan, tatapannya tetap tenang. "...kami punya kebenaran, dan itu jauh lebih kuat dari segala intimidasi Anda."
---
Besoknya, berita tentang investigasi siswa atas dugaan manipulasi dana sekolah mendadak tersebar. Tak ada nama, tapi semua tahu siapa yang dimaksud. Kepala sekolah pura-pura tak tahu, namun tekanan perlahan datang dalam bentuk ancaman halus-undangan rapat yang tak perlu, nilai ekstrakurikuler yang diturunkan, bahkan gosip murahan yang menyudutkan Ghea di kalangan guru dan beberapa murid.
Namun Mahardika tak tinggal diam. Ia memanfaatkan buletin sekolah untuk menuliskan opini anonim tentang pentingnya keberanian dan integritas di dunia pendidikan. Judulnya sederhana: "Siapa yang Diam, Menyaksikan Ketidakadilan".
Tulisan itu seperti api kecil yang membakar perlahan. Banyak siswa mulai bertanya, mulai sadar bahwa selama ini mereka hanya dicekoki informasi sepihak. Ada sesuatu yang salah, dan "duet maut" Ghea dan Mahardika sedang berusaha menyibaknya.
---
Suatu sore, selepas pelajaran selesai, Mahardika dan Ghea duduk di taman belakang sekolah. Sepi. Hanya suara angin yang menggoyang pohon flamboyan.
"Kamu percaya, ya..." Ghea membuka suara, "...kalau kebenaran selalu menang?"
Mahardika menoleh, menatap wajah Ghea yang diterpa cahaya jingga senja. "Aku percaya kamu. Dan itu sudah cukup."
Ghea diam, hatinya berdegup aneh. Kata-kata Mahardika bukan sekadar dukungan, tapi semacam pengakuan-halus, samar, tapi menancap dalam.
Namun sebelum ia menjawab, Mahardika menambahkan, "Tapi aku juga takut. Ghea... kalau kamu kenapa-kenapa..."
"Dhika." Ghea memotong lembut. "Kita sudah sejauh ini. Kalau kita berhenti sekarang, sama saja seperti membiarkan semua korban berikutnya jatuh di lubang yang sama."
Mahardika menunduk. Diam-diam, ia menggenggam tangan Ghea, meski tak ada kata cinta yang terucap. Keberanian mereka mungkin berasal dari jiwa, tapi kekuatannya lahir dari kebersamaan yang tak pernah mereka akui secara terang-terangan.
---
Beberapa minggu kemudian, audit resmi dari dinas pendidikan datang. Suasana sekolah mencekam. Wakil kepala sekolah mengundurkan diri "karena alasan kesehatan", sementara guru yang sempat mengintimidasi Ghea dipindahkan ke sekolah lain.
Ghea dan Mahardika? Mereka hanya tersenyum kecil. Mereka tahu ini belum akhir. Dunia ini punya banyak ruang gelap, dan mereka belum selesai menyalakan lentera.
Namun sejak saat itu, nama Duet Maut mulai beredar. Mulut ke mulut. Dari siswa ke guru. Dari guru ke wali murid. Dan yang paling mengejutkan, kepala sekolah-yang selama ini memilih bungkam-memanggil mereka ke ruangannya.
"Saya tidak bisa secara resmi memberi penghargaan," ucapnya pelan, "tapi saya tahu siapa yang menyelamatkan nama baik sekolah ini. Terima kasih."
---
Waktu berjalan. Hari-hari berlalu. Namun di hati Mahardika, ada sesuatu yang tak bisa ia pahami sepenuhnya. Setiap kali melihat Ghea tertawa bersama teman lain, ada sembilu yang menyayat pelan.
Dan sebaliknya, Ghea juga mulai merasa cemas setiap kali mendengar kabar bahwa Mahardika dekat dengan siswi ekskul teater.
Keduanya saling menjaga jarak dalam nama persahabatan, padahal hati mereka justru saling terpaut makin dalam. Mungkin karena terlalu takut kehilangan satu sama lain, mereka memilih bertahan dalam status yang tak pernah berubah: sahabat sejak kecil.
Namun suatu malam, saat Mahardika sedang membantu adiknya mengerjakan PR, ponselnya berdering. Pesan dari Ghea.
> "Kamu sibuk?"
> "Lagi bantu Rara ngerjain tugas. Kenapa, Ghea?"
> "Cuma... pengin denger suaramu. Nggak tahu kenapa."
Mahardika terdiam. Detik itu juga, ia menekan tombol panggil. "Ghea?" suaranya pelan.
Ghea di seberang sana menangis, tapi tertawa kecil di sela isakannya. "Maaf... aku lelah banget hari ini. Tapi begitu dengar suaramu, rasanya tenang."
Mahardika tak menjawab. Ia hanya mendengarkan. Dan di akhir percakapan, entah kenapa, ia berkata lirih, "...aku di sini, selalu."
Ghea tak menjawab, tapi dari diamnya, Mahardika tahu : rasa itu, apa pun namanya, tak bisa dibohongi selamanya.
------
Suasana ruang OSIS sore itu lengang. Papan tulis penuh coretan angka dan rencana kegiatan sosial kelas XI-semacam pengalihan isu setelah kasus dana Bali terbongkar. Tapi Ghea dan Mahardika tahu, pengalihan itu justru menjadi pintu baru ke kecurigaan yang lebih besar.
Mahardika mendongak dari tumpukan dokumen fotokopi yang mereka selidiki. "Ghea, kau lihat ini?" ujarnya pelan sambil menyodorkan selembar kuitansi palsu, yang ditandatangani atas nama Kepala Sekolah.
Ghea mendekat, matanya menelusuri detail. "Ini... kwitansi pembelian alat tulis untuk kegiatan kelas X tahun lalu, tapi tanggalnya aneh. Barang belum dibeli, tapi dana sudah cair seminggu sebelumnya."
"Mereka memalsukan pengeluaran lagi," ujar Mahardika. "Dan bukan hanya itu. Ini ditandatangani oleh Bendahara lama. Yang katanya sudah resign dua bulan sebelum dokumen ini keluar."
Hening sejenak. Ghea meremas pelan dokumen itu.
"Sepertinya kita belum selesai. Dana Bali itu cuma satu pintu," bisik Ghea.
"Dan sekarang kita ada di lorong yang lebih gelap," tambah Mahardika.
-----
Keesokan harinya, sekolah geger. Bukan karena apa yang Ghea dan Mahardika temukan, tapi karena selebaran anonim menyebar di papan mading dan grup WA wali murid-mengungkap dugaan penyelewengan dana pembangunan mushola sekolah senilai 120 juta rupiah.
Ghea tercekat membaca satu nama dalam selebaran itu: nama gurunya sendiri yang selama ini ia hormati. Mahardika menatap Ghea, ekspresi sama seriusnya. "Kita enggak mungkin lepas tangan. Tapi kita juga harus hati-hati. Ini bukan cuma soal duit. Ini nama orang."
"Kita telusuri dari sisi data dulu. Jangan termakan selebaran." Ghea tegas, meski hatinya berkecamuk.
Tiga hari penuh mereka sibuk menyusuri laporan dana BOS, proposal pembangunan, hingga kontrak kerja dengan tukang dan toko bangunan. Dalam diam, Mahardika sering kali memandangi Ghea yang tekun mencocokkan angka-di bawah cahaya lampu ruang kelas yang remang sore hari.
"Kenapa kau bisa begitu yakin menempuh jalan ini, Ghea?" tanyanya lirih suatu sore.
Ghea berhenti menulis. "Karena kalau bukan kita, siapa lagi? Kita punya akses. Kita ngerti caranya. Dan... aku nggak bisa tidur nyenyak kalau tahu ada yang disakiti diam-diam dan aku diam saja."
Mahardika tersenyum kecil. "Jawabanmu masih sama seperti waktu kita SD. Tapi... kau makin cantik saat bicara seperti itu."
Ghea menoleh cepat. "Apa?"
"Eh, maksudku... kau makin kuat," Mahardika cepat-cepat membelokkan kalimat. Tapi pipi Ghea terlanjur memerah. Mereka tertawa kecil-canggung, tapi hangat.
Di tengah pencarian data, Mahardika berhasil mencuri waktu wawancara singkat dengan salah satu karyawan toko bangunan yang tercatat dalam proyek mushola. Dengan gaya pura-pura sebagai murid pencari informasi lomba jurnalistik, ia mendapatkan informasi mengejutkan.
"Nama itu? Iya Mas, toko kami memang nerima order dari sekolah, tapi nilainya nggak sampe 50 juta kok. Sisanya mungkin dari toko lain," ujar si pemilik toko.
Mahardika menyelidik. "Tapi ini nota dan kuitansinya mencatat lebih dari 120 juta. Dan semua atas nama toko ini."
Lelaki itu tampak bingung. "Lho? Kami cuma diminta tanda tangan waktu pengurus yayasan datang. Katanya cuma buat formalitas laporan BOS."
Itu cukup. Potongan-potongan mulai menyatu: proyek fiktif, markup, dan penggelapan dana. Duet maut kembali menemukan peluru baru.
-----
Suatu malam, mereka bertemu di taman kota dekat sekolah. Bukan untuk menyusun rencana, tapi karena Ghea diam-diam mengirim pesan: "Aku butuh udara, tapi juga butuh kamu."
Mahardika datang dengan jaket hitamnya, rambut sedikit berantakan. Ghea duduk di bangku taman, membenamkan wajah di tangan.
"Aku merasa... semakin kita selidiki, makin gelap semuanya. Kayak nggak ada habisnya. Bahkan guru yang dulu aku kagumi... sekarang masuk daftar curiga," lirih Ghea.
Mahardika duduk di sampingnya, pelan menyentuh pundaknya. "Ghea, kita ini bukan malaikat. Kita nggak harus menyelamatkan semuanya. Tapi kita bisa mencoba menyelamatkan kebenaran, setidaknya dari apa yang bisa kita capai."
Ghea menoleh, mata berkaca. "Kenapa aku selalu bisa tenang kalau kamu ada?"
Mahardika menatap mata itu, lama. "Mungkin karena kita bukan cuma tim. Mungkin karena... hatiku juga tahu, tempatku ya di dekatmu."
Ghea tertawa kecil di sela isak. "Itu... kalimat paling puitis yang kamu pernah ucapkan, Saputra."
"Kamu belum dengar yang lebih puitis," gumam Mahardika.
Malam itu, mereka tak menyentuh apapun selain kata-kata. Tapi hati mereka tahu: perasaan ini tak lagi sekadar kekaguman masa kecil atau persahabatan yang tumbuh bersama. Ada ruang baru yang diam-diam mereka isi tanpa sadar.
-----
Hari berikutnya, Ghea mengajukan laporan resmi ke guru pembina OSIS tentang temuan mereka. Tapi kali ini, suara mulai berbisik. Guru-guru tertentu mulai menunjukkan sikap sinis. Ada yang enggan menatap. Ada yang mulai menyindir halus.
Tapi Ghea bergeming. "Saya hanya jalankan apa yang menurut saya benar, Pak," jawabnya dengan kepala tegak saat dipanggil ke ruang wakil kepala sekolah.
Di luar ruangan, Mahardika menunggu. Dia menatap Ghea keluar dengan wajah lelah, tapi tetap tersenyum. "Kamu baik-baik saja?"
"Ada yang mulai panas. Tapi nggak apa. Selama kamu masih jadi pasanganku... dalam investigasi ini," Ghea menggoda, menahan tawa.
Mahardika melirik nakal. "Kalau aku minta naik jabatan dari pasangan investigasi jadi pasangan hidup, kamu mau?"
Ghea pura-pura melongo. "Tergantung. Kamu berani jujur?"
"Aku selalu jujur, bahkan waktu kita SD aku ngakuin kalau aku yang bikin botol air kamu jatuh," sahutnya cepat.
Mereka tertawa. Tawa yang penuh ingatan, tapi juga harapan.
Dua hari sebelum rapat besar OSIS dan dewan sekolah, Mahardika menerima pesan anonim melalui email: "Kalau kamu dan si 'jaksa kecil' itu nggak berhenti, kamu tahu konsekuensinya."
Tapi kali ini, ancaman tak menggoyahkan. Justru mereka semakin percaya, bahwa sesuatu yang besar memang sedang mereka sentuh. Dan yang besar, harus dibongkar oleh keberanian yang juga besar.
Malam sebelum rapat, Ghea dan Mahardika duduk di lantai ruang OSIS. Menyusun presentasi, laporan, dan-seperti biasa-dialog.
"Pernah nggak kamu takut?" tanya Mahardika pelan.
"Selalu," jawab Ghea.
"Tapi kenapa kamu tetap maju?"
"Karena kamu ada."
Satu kalimat. Tapi cukup membuat Mahardika diam lama.
Ia menatap Ghea, lalu berkata, "Ghea... kalau kita dewasa nanti, kamu tetap mau jadi partnerku?"
Ghea mengangguk pelan, "Kalau kamu nggak berubah."
"Berubah jadi apa?"
"Jadi laki-laki yang bisa dipaksa diam karena ancaman."
Mahardika tersenyum. "Berarti kamu harus siap tetap bersamaku sampai kapanpun."
"Siap," jawab Ghea lirih. Tapi cukup tegas untuk membuat malam itu lebih dari sekadar malam.
Mereka bukan hanya duet maut. Mereka adalah dua jiwa yang saling menguatkan.
Rapat OSIS dan dewan sekolah pagi itu tegang. Tapi semua berjalan lancar. Paparan Ghea dan Mahardika membuat banyak mata terbelalak. Suara siswa mendukung. Suara guru terbelah.
Tapi satu hal pasti : sekolah tak akan pernah sama lagi.
Dan Duet Maut baru saja memperpanjang jejaknya.