bc

My Mommy and The Boss

book_age18+
2
IKUTI
1K
BACA
family
HE
fated
second chance
heir/heiress
drama
sweet
bxg
lighthearted
kicking
witty
city
office/work place
childhood crush
like
intro-logo
Uraian

Dinda pikir apa yang dia lakukan selama ini sudah benar. Pergi dan melarikan diri sejauh mungkin dari pria yang telah memporak-porandakan takdirnya. Perjalanan teramat jauh rela Dinda lakukan, laut pun di arungi untuk menjauhi pria tersebut. Tapi apa ini? Susah payah ia pergi, tapi takdir seolah mempermainkannya. Dia bagai bebek bodoh yang mencari tempat berteduh dari derasnya hujan. Sialnya dia masuk kandang buaya. Bebek bodoh itu pun hanya bisa merapat ke dinding saat seekor buaya memandangnya dengan seringainya yang licik. Bebek bodoh itu pesimis bisa pulang ke rumahnya. Setelah lima tahun merantau, berpindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Dinda akhirnya di terima di sebuah perusahaan yang justru terasa menjebaknya. Tak menyangka, akhirnya ia bekerja di perusahaan milik pria yang selama ini ia jauhi. Pria yang telah memporak-porandakan takdirnya. Apakah Dinda harus melarikan diri lagi?

chap-preview
Pratinjau gratis
1. Putri Kesayangan
Cup.... Seorang wanita sedang mengecup lembut kening putri kecilnya yang imut. Gadis kecilnya kini sudah beranjak empat tahun. Pipi gembil, rambut panjang dengan surai menghias dahinya, kulit putih, mata lebar, dan bibir nya yang merah alami terlihat imut ketika tersenyum, Bella nya memang sangat manis. "Ponimu sudah panjang, Sayang," ujar Dinda lembut. "Nanti habis pulang kerja, mama potong dikit biar nggak nutupin mata." Jemari Dinda membelai poni putrinya yang sudah terlampau panjang, menutupi sebagian matanya. Bella tak menanggapi, matanya bahkan tak menatap mamanya, serius menatap benda di lantai sembari mencoret coretnya dengan krayon. “Bella, nanti Bunda kerja, kamu di rumah sama Bu Sum, jangan rewel,” pesan Dinda sembari menatap krayon yang berhambur di atas lantai. Walau masih pagi putrinya sudah bersemangat menggambar di buku gambar yang baru di belinya kemarin. “Kamu gambar apa, Sayang?” Dahi Dinda berkerut menatap putrinya yang sedang serius, wajahnya tegang, bibirnya mengatup rapat saat menggambar. Dia menggambar tiga orang berdampingan. Satu laki laki, satu perempuan, dan di tengah tengahnya ada anak perempuan berkepang sedang tersenyum lebar. “Aku gambar mama.” Jawab Bella semangat, mata bulatnya berbinar menatap gambarnya. Menunjukkan buku gambarnya pada Dinda. “Lihat, ini mama, ini papa, ini aku.” jemari kecil itu menunjuk-nunjuk gambarnya, ada sakit yang menelusup hati Dinda tatkala Bella mengatakan ‘ini papa’. Dinda menarik nafasnya berat, “Bella nggak boleh gambar papa ya? Dia sudah meninggal.” Entah sudah berapa kali dirinya berbohong mengenai papa Bella. Mungkin dalam konteks hati, Dinda tidak bohong, laki laki itu memang sudah meninggal di hatinya, tapi dia masih hidup entah di dunia mana, Afrika, Amerika, Eropa atau mungkin di dunia alam baka? Dinda tak peduli dengan laki laki yang sudah memporak porandakan hatinya, mengoyak takdir yang harusnya mudah untuk ia jalani. Gara gara pria itu, ia mengalami banyak kesulitan, tentu membesarkan bayi sendirian sampai dia umur empat tahun bukanlah perkara mudah. “Ini papa baru, Ma!” Jelas Bella sembari menggerak gerakkan buku gambarnya. Gambar Bella aneh, tapi lucu, kepala ketiga manusia itu besar tapi tubuhnya sekecil lidi. “Jangan lama lama cariin aku papa baru ya, Ma? Biar bisa kayak teman-temanku dulu. Di paud, teman teman selalu cerita papanya, tapi mereka nggak bolehin aku ikut dengar soalnya aku nggak punya papa.” Hati Dinda seketika tersayat perih, merasa berdosa, merasa gagal melindungi putrinya, tak menyangka, tubuh mungil itu ternyata sudah menyimpan sakit saat masih tinggal di Semarang. Ternyata tak hanya dirinya, Bella pun mendapat luka di sana. Dinda mendekap tubuh putrinya, berharap dekapan itu bisa mengurangi sakit di hati Bella, meminta maaf atas keteledorannya dalam melindungi. Diam diam Dinda menyembunyikan netranya yang basah di balik rambut Bella yang beraroma apel. Ia harus kuat dan tegar. Bella tak boleh melihat air matanya. Tubuh Bella terasa kecil di pelukan Dinda, masih bisa masuk ke dalam rengkuhan nya, walau gadis itu lebih kecil dari gadis seumurannya tapi Dinda tetap bersyukur, yang penting dia sehat dan ceria, selalu menghiburnya dengan pertanyaan nya yang kadang tak masuk akal. “Ma, kalau nyari papa yang ganteng ya?” suara itu memecah lamunan Dinda, menyurutkan air matanya menjadi pertanyaan. “Ih, bisa aja kamu, Bel! Masih kecil suka cowok ganteng.” Dinda menggelitik perut putrinya. Sebenarnya ia agak takut dengan pria tampan, Bella tak tahu kalau papanya sangat tampan. Tentu saja Bella menghindari gelitikan mamanya, memegangi erat tangan Dinda lalu nyengir. “Ya iyalah suka yang ganteng, biar teman teman tau kalau papaku ganteng.” “Hmm… yang pengen sombong papa.” Dinda tersenyum kecil menggoda. “Biarin!” “Iya iya, nanti mama nyari yang paling ganteng.” Ada nada getir yang tak bisa Bella baca dari mata Dinda. Wanita dua puluh empat tahun itu lalu berdiri. “Sebelum Bu Sum datang, kamu sarapan dulu ya?” “Iya.” jawab Bella patuh. Dinda yang sudah memakai baju kantor sejenak menatap bayangan dirinya di cermin lemari. Wajahnya cantik, putih, bersih tanpa noda. Sedikit sentuhan riasan di wajah dan bibir membuat kecantikannya makin terpancar. Bibirnya yang indah, lembap, dengan lipstik warna lembut siap memikat pria paling tampan? Oh tidak, gara gara Bella ide gila itu muncul di kepalanya. Dinda menggeleng pelan. Maafin mama, Bel. Untuk saat ini aku belum bisa cariin kamu papa baru, sesal Dinda dalam hati. Luka di hatinya masih berdarah, jelas dalam ingatan nya seorang pria yang hanya ingin menyesap manis nya saja, setelah madu dalam bunga hilang, pria itu meninggalkannya, meninggalkan Bella dalam rahimnya. Dulu, saat Bella masih dalam kandungan, Dinda mengira ia sedang menanggung penderitaan tiada akhir, tapi setelah Bella lahir, rasa benci meluap begitu saja, berganti sayang, selalu meneteskan air mata tiap Bella menangis ketika di suntik, selalu ingin memeluk dan menimangnya, dan jika ia bisa menghadirkan senyum pada bayinya rasa bahagia dan lega muncul dalam sanubarinya. Bella seolah vitamin penyemangat hidupnya, tujuan hidupnya, tak ada lagi yang ia inginkan selain kebahagiaan Bella. Perlahan Dinda mengancingkan kemejanya hingga atas, menutup hingga leher. Lehernya yang jenjang samar sudah ia sembunyikan. ‘Kalau terlalu terbuka, bisa-bisa aku dibilang godain orang,’ pikirnya getir. Trauma lama di tempat kerja masih membekas di hati Dinda. Masih segar dalam ingatannya saat masih kerja di Semarang, ia yang tak punya kesalahan di tempat kerja tiba tiba dipaksa mengundurkan diri hanya karena satu alasan: terlalu cantik. Bu Tyas atasannya mengatakan, kecantikannya yang di atas rata rata menimbulkan gejolak di tempat kerja, jadi rebutan pria lajang, jadi bahan godaan para pria beristri, dan jadi bahan gosip para wanita di kantor. Alasan yang aneh dan terlalu di buat buat agar dirinya mundur. Padahal Dinda tak pernah menggoda siapa pun. Tapi tetap saja, ia jadi korban, di singkirkan bukan karena salah, tapi karena jadi pusat perhatian, terlalu cantik.. Di dapur, Dinda menyiapkan sarapan sambil sesekali melirik ke arah Bella yang masih asyik mewarnai. Ia lalu keluar dengan piring di tangannya, nasi hangat dan telur goreng yang sudah diberi sayur menanti untuk disantap. Setiap hari Dinda memang selalu menyempatkan diri memasak setelah sholat Subuh. Begitu selesai sholat ia langsung turun ke dapur, menyiapkan makanan sehat adalah rutinitasnya. Dengan sabar, Dinda menyuapi putrinya. “Udah, Ma, udah kenyang,” ucap Bella dengan mulut yang masih di penuhi nasi. Memalingkan wajah dari sendok. Nasi di piring masih tersisa sekitar tiga suapan. Dinda tak ingin membuang makanan, jadi ia menyendok sisa nasi Bella dan menyantapnya sendiri. Itu menjadi sarapannya pagi itu. Saat Dinda sedang mencuci piring bekas makan, terdengar suara pintu dibuka dari luar. “Assalamualaikum…” Bu Sum muncul dengan senyum ramah di ambang pintu. “Wa’alaikumsalam, mari masuk, Bu Sum,” sambut Dinda dari arah dapur. Rumah kontrakan Dinda kecil, jadi setiap suara yang ada terdengar di setiap ruangan. “Bu Sum, mari sarapan.” pinta Dinda ketika masuk ke ruang keluarga, melihat wanita lima puluh tahunan itu menghampiri Bella yang masih duduk di dekat jendela, menggambar di atas buku gambar nya. “Iya, Mbak Dinda. Terima kasih, nanti siang saja, sekarang saya sudah sarapan.” ucap wanita itu sopan, kerut di wajahnya menyimpan banyak cerita, senyumnya lembut, dan tatap matanya yang tulus sehangat cinta nenek. Dinda dapat rekomendasi mengerjakan Bu Sum dari RT tempat nya tinggal, menurutnya Bu Sum cocok jadi pengasuh, ia kesepian, suaminya meninggal dua bulan yang lalu, tak ada pemasukan pasti yang di dapat, karena sehari hari dia hanya mencari rongsokan untuk menyambung hidupnya. Dan Bu Sum merupakan wanita penyayang yang penuh perhatian. “Sudah siap ngantor, Mbak Dinda?” tanya Bu Sum, melihat Dinda yang sedang merapikan riasannya, menyisir rambut panjangnya, lalu menguncir nya. Gawat kalau ia rembyak rambut panjangnya yang hitam terawat, aura cantiknya bisa makin terlihat, sungguh ia tak berhasrat memikat lelaki manapun, khawatir kejadian di Semarang terulang lagi di Jakarta, kota tempatnya tinggal sekarang. “Iya.” Jawab Dinda singkat, “sudah ya, Bu Sum. Saya titip Bella. Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya,” ujar Dinda sembari memakai sepatu. “Oh iya, Mbak. Kemarin Bella main main ke TK, sepertinya dia sudah pengen sekolah. Bella, kamu pengen sekolah?” tanya Bu Sum pada gadis yang tengah asik mencoret coret buku gambarnya, tangannya cepat menyeka keringat di dahinya dengan ujung baju, sinar matahari yang masuk melalui jendela membuat dahi gadis itu bermandi peluh. “Iya, aku pengen sekolah, mainan di sana banyak.” jawab Bella, menatap Bu Sum sejenak, matanya lalu kembali menatap buku gambarnya, barang yang paling menarik hati Bella saat ini. “Kalau begitu, Bu Sum nanti bisa daftarkan Bella ke sekolah? Maaf saya belum bisa mendaftarkan Bella. Saya baru kerja, rasanya tidak enak kalau sudah minta izin.” “Iya tidak apa apa, mbak Dinda. Saya bisa daftarkan Bella di TK. Kamu fokus saja kerja.” Dinda tersenyum, “terima kasih,” balas Dinda. Mata beningnya lalu menatap ponsel, mencari tau ojeknya sudah sampai mana. Dinda lalu mencium kening Bella. “Bunda berangkat dulu ya, Sayang. Jangan nakal, dengerin Bu Sum.” pesan Dinda. Bella mengangguk, tapi pandangan matanya tetap tertuju ke buku gambarnya. Dinda melangkah cepat keluar rumah. Ia melihat tukang ojek sudah menunggu di ujung gang. Dengan langkah ringan namun hati yang berat, Dinda menuju ojek yang akan membawanya ke dunia luar, tempat ia harus kembali bertahan, demi anak yang dicintainya lebih dari apa pun. Bersambung…

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
314.7K
bc

Too Late for Regret

read
317.0K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.7M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.3M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
144.9K
bc

The Lost Pack

read
436.1K
bc

Revenge, served in a black dress

read
152.6K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook