Bab 3. Masuk Dalam Jebakan

1152 Kata
Tidak ingin lagi mendengarkan bantahan Fay, Rey langsung merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kartu kamar hotel dan memberikannya pada pelayan yang sedang menahan lengan istrinya itu. Setelah itu, ia mengambil gelas kosong yang masih berada di tangan Fay. "Jangan membantah lagi! Aku tidak ingin ribut di sini hingga mengundang perhatian dari Klien penting yang telah ku undang hari ini. Istirahat saja di kamar itu, kau tidak perlu khawatir." Belum sempat Fay menjawab, ia sudah dibawa pergi oleh pelayan yang sejak tadi terus memegangi tangannya. Fay mencoba berbicara pada pelayan itu, "Tolong, aku tidak ingin ke Hotel. Antar saja aku ke luar dan carikan sebuah taksi untukku. Aku bisa pulang sendiri." "Tidak bisa, Nyonya. Saya tidak berani, bagaimana jika Nyonya dibawa pergi oleh supir taksi yang berniat jahat pada Nyonya? Tidak, tidak! Lebih baik Nyonya beristirahat saja di kamar itu seperti permintaan Tuan tadi." Kondisinya yang sudah sangat lemah membuat Fay terpaksa menuruti permintaan Rey. Ia diantarkan ke sebuah kamar dalam keadaan hampir tak sadarkan diri. Sementara pelayan itu, bergegas kembali ke ruangan pesta dan pergi menemui Rey setelah memastikan Fay tidak bisa pergi meninggalkan kamarnya. Yuni Wijaya, kekasih Rey yang sedang berdiri di samping pria itu, memperhatikan percakapan yang dilakukan oleh Rey bersama pelayan tersebut. "Kau sudah menempatkannya di kamar yang kumaksud?" tukas Rey setengah berbisik. Pelayan yang menemuinya itu mengangguk padanya. "Tetapi mengapa kau langsung meninggalkannya begitu saja? Bagaimana jika dia pergi meninggalkan kamar itu setelah kau meninggalkannya di sana?" "Itu tidak mungkin, Tuan. Saya sudah memastikannya bahwa Nyonya sudah terlalu teler untuk berjalan sendiri, apalagi ingin menggunakan lift menuju lobi hotel." "Kau yakin dia tidak akan pergi?" tanya Rey lagi hanya untuk memastikan ucapan pelayan itu. Pelayan itu kembali menganggukkan kepalanya, "Yakin, Tuan." Rey pun mengibaskan tangannya dan meminta pelayan itu untuk segera menjauh darinya. Yuni merapatkan tubuhnya pada sang kekasih sesaat setelah kepergian pelayan itu, "Jika rencana kita ini berhasil, Perusahaanmu pasti akan mendapatkan Investor kaya ini, Rey. Aku dengar, Playboy dari Dubai itu sangat senang jika diberikan wanita yang masih perawan untuk melayaninya. Selain itu, kelak kau juga akan memiliki alasan untuk menceraikan istrimu itu. Sekali tepuk, dua masalah selesai." Rey tertawa kecil, "Kau benar, Sayang. Lagipula, siapa suruh dia selalu bersikap seolah tidak ada masalah apa-apa denganku. Selama tiga tahun ini, dia bahkan selalu mencoba agar tidak melakukan kesalahan ataupun memancing pertengkaran denganku. Padahal aku sering menghinanya agar dia segera meminta bercerai dariku." "Sekarang kau sudah merasa senang, bukan?" Rey merangkul pinggang Yuni dan meremasnya sedikit, membuat kekasihnya itu menjerit pelan. "Aku beruntung karena memiliki kekasih yang cerdas sepertimu sebagai Sekretarisku," bisiknya di telinga Yuni yang disambut oleh kekasihnya itu dengan tertawa kecil. "Oh ya, Sayang. Bagaimana dengan Lucas La Treimoille? Apa kau sudah mengirimkan seorang wanita yang sangat profesional untuk melayaninya? Jangan lupa! Pria itu juga salah satu Investor terbesar yang bisa kita dapatkan jika Lucas menyetujui proposal penawaran kita." Dengan gerakan menggoda, Yuni semakin menempelkan tubuhnya pada Rey. "Apa kau masih meragukan keahlianku dalam mengatur sesuatu?" selorohnya dengan gerakan bibir yang sensual, dalam jarak yang hanya dua jari dari bibir kekasihnya itu. "Tentu tidak." Rey mengedipkan matanya, rasanya ingin ia mengecup bibir sang kekasih saat ini juga. Namun di hadapan puluhan karyawannya dan belasan rekan bisnis yang menghadiri pesta Perusahaannya hari ini, Rey terpaksa harus menahan keinginannya itu. "Bagaimana ... jika kita berdua merayakannya setelah pesta ini berakhir?" bisiknya. "Why not?" *** Dini hari, satu jam sebelum pesta berakhir, di dalam kamar hotel tempat di mana Fay ditinggalkan sebelumnya—suara desahan dan erangan terdengar memenuhi kamar itu. Seorang pria, menggerakkan tubuhnya dengan cepat di atas Fay seakan ia sedang berpacu dengan waktu. Tubuhnya telah basah oleh keringat, namun pria ini masih terlihat sangat bersemangat untuk memuaskan dirinya. Umpatan-umpatan ringan dalam bahasa Prancis, terus terlontar dari bibirnya. "Sial, kau benar-benar enak, Baby. Kau membuatku terus menginginkan tubuhmu. Aku pikir tadinya malam ini aku akan mendapatkan pelayanan dari seorang profesional. Tapi tidak masalah jika aku harus melayani wanita sepertimu yang masih tersegel dan juga cantik. Ukh!" pria ini lalu menggeram, tubuhnya bergetar perlahan lalu ambruk ke atas tubuh Fay yang langsung tertidur beberapa menit kemudian karena kelelahan. Setelah beberapa saat, pria itu mengangkat tubuhnya dan menatap lurus ke wajah Fay yang terlihat memerah di bawah lampu kamar yang sengaja dibuat sedikit temaram. "Hmm, aku tidak menduga jika pria seperti Rey Danendra itu bisa mendapatkan seorang wanita yang luar biasa untukku. Haruskah aku menanyakan namamu padanya? Tapi ...." Pria ini kemudian menurunkan pandangannya ke arah tubuh Fay yang polos. d**a Fay yang kencang, serta perut Fay yang rata dan sangat sesuai dengan proporsi tubuh wanita kesukaannya, membuatnya tanpa sadar menelan salivanya. "Hei!" pria itu lalu menepuk pelan wajah Fay, berharap Fay akan membuka kembali matanya agar ia bisa memuaskan dirinya sekali lagi. Baginya, melakukan hubungan badan dengan wanita yang pingsan atau sedang tertidur pulas sama sekali tidak menarik. "Ckk! Aku baru bermain selama satu jam denganmu dan kau sudah kelelahan? Apakah aku terlalu menyiksamu karena ini adalah yang pertama kalinya untukmu?" pria ini mengerutkan keningnya. "Huft! Kau menang, Baby. Kali ini aku akan membiarkanmu untuk beristirahat, tapi lain kali, jika kita bertemu lagi, jangan harap aku akan menyudahi permainanku secepat ini," ocehnya. Setelahnya, pria itu pun menggulingkan tubuhnya ke samping Fay. Netra elangnya yang tajam sama sekali tidak ingin meninggalkan wajah Fay. Sementara lengannya yang kokoh melingkari tubuh Fay. "Selamat malam, Cantik," bisiknya sambil mengecup pipi Fay dengan lembut. Tak lama, mata pria itu pun turun perlahan hingga menutup sempurna seiring ia terlelap dalam tidurnya. Di hotel berbeda, sepasang kekasih baru saja memasuki kamar yang telah mereka ambil. Senyuman licik tersungging di bibir keduanya mengingat rencana yang telah mereka jalankan. "Menurutmu ... apakah sekarang istrimu itu sedang menangis di dalam kamarnya? Karena aku tahu dari informasi yang telah kukumpulkan selama ini—kalau Klien dari Dubai kita itu sedikit menyukai s*x yang tidak biasa." Sang wanita yang tak lain adalah Yuni, melingkarkan kedua lengannya di leher Rey, kekasihnya. Kerlingan manja tampak di binar matanya, dan gerakan sensual menghiasi bibirnya. "Cih, apa peduliku? Semakin dia menderita, semakin puas rasanya hati ini. Salahkan saja dirinya yang selalu bersikap munafik di hadapanku," sahut Rey. Ia merapikan anak rambut Yuni yang jatuh ke depan wajah kekasihnya itu sambil menatap intens mata Yuni. "Tapi, Rey ... bagaimana jika besok dia menuntutmu?" cicit Yuni. Rey tersenyum miring, "Aku sudah memikirkan dan mempersiapkan segalanya, Sayang. Lagipula, apa yang bisa dilakukan oleh wanita kampung seperti dirinya? Yang bahkan tidak memiliki uang sepeserpun?" setelah menyelesaikan kalimatnya itu, Rey langsung melahap bibir Yuni yang setengah terbuka bak seekor singa yang kelaparan. Apa yang ia lakukan itu disambut oleh Yuni hingga mereka saling memagut. "Oh, Rey. Aku sudah tidak sabar lagi ingin menjadi istrimu," desis Yuni, saat sang kekasih memindahkan kecupan ke lehernya. "Dan juga ... melihat wajah pelakor itu besok siang." Ia dan Rey lalu tertawa bersama. "Aku juga sudah tidak sabar untuk melihat keangkuhan wanita itu jatuh di bawah telapak kakiku, Sayang," sambut Rey sinis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN