Part 2

1175 Kata
Badanku rasanya remuk, lemas tak berdaya, kepalaku juga pusing. Aku menyadari bahwa aku berada di rumah sakit, karena adanya infus dan oksigen yang melekat pada tubuhku. " Kamu sudah sadar, Nak ?" tanya seorang wanita berjilbab paruh baya. Aku tak mampu mengucap sedikit lisan dari bibirku, rasanya begitu berat. Aku hanya bisa mengedipkan mataku. " Tidak papa, jangan di paksa kan. Saya Fatimah, seminggu yang lalu, saya lihat kamu tergeletak di jalan dengan kondisi tak sadarkan diri." Apa, seminggu yang lalu ? apa ini artinya aku koma selama seminggu ini? Tiga hari ini, Ibu Fatimah yang merawat dan menungguku di rumah sakit. " Nama kamu siapa, Nak ? " " Adelina. Panggil saja Delin. " " Oh, kamu ada keluarga yang bisa ibu hubungi ?" Wajahku memelas dan terdiam seketika. " Saya tidak ada keluarga, Buk." Dengan kondisiku yang seperti ini, membuatku meneteskan air mata. Merindukan Ayah dan Ibu yang telah lama aku tinggalkan. Ibu Fatima merangkul pundakku. " Sabar ya, Nak. Allah tidak akan menguji kita melebihi kemampuan umatnya. Bersabar dan terus berpikir positif, InsyaAllah akan ada kebahagiaan. Mungkin, sesuatu yang kita anggap mampu membuat kita bahagia malah bukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Semua semu, Hanya Allah yang menentukan jalan takdir kita." Aku tersentuh dengan cara bicara Bu Fatimah yang lembut. Biasanya aku akan marah bila ada yang menasehatiku. Tapi kali ini benar-benar masuk dalam relung batinku. Seorang dokter masuk ke ruanganku. Dia meraih tangan Bu Fatima dan mengecup punggung tangan Bu Fatima. " Apa yang kamu rasakan sekarang ?" tanya dokter itu. " Sepertinya badanku sudah tidak sakit, hanya lemas dan kakiku tidak bisa digerakkan." " Kamu Sabar dulu ya, sementara kakimu mengalami kelumpuhan ringan. Tapi ini akan sembuh dengan terapi teratur." ucap dokter itu. " Dia sudah bisa di bawa pulang, Bun." dokter itu berbicara pada Bu Fatimah dengan panggilan Bun. Mungkinkah bila dokter ini adalah putranya Bu Fatimah ? " Nak, kamu tinggal dimana ?" tanya Bu Fatimah padaku. " Saya tinggal di.... " sulit mengatakannya, aku takut jika harus kembali ke Mama Ajeng dan di jual lagi. " Iya sudah, sementara kamu tinggal sama Ibu dulu sampai kamu benar-benar sehat ya,Nak! Ini dokter Faruk, anak Ibu." sambil mengelus lengan dokter Faruk. Aku tersenyum padanya sebagai tanda perkenalan. Aku di dorong menggunakan kursi roda menuju mobil untuk segera beranjak kerumah Bu Fatimah. Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah rumah bercat putih, dengan dua lantai berdiri kokoh didepanku. Kami masuk ke rumah itu, begitu juga dengan dokter Faruk. Setelah mengantarku ke kamar dokter itu berpamitan pulang. Aku merasa bosan jika harus berbaring di ranjang terus. Kuputuskan untuk keluar kamar. Kulihat sebuah pigura, disana ada dokter Faruk dengan seorang wanita dan anak kecil yang di gendong. Mungkin saja dokter Faruk sudah berkeluarga. Hari berlalu begitu saja, kulihat Bu Fatimah tengah bertausyiah dengan para ibu-ibu komplek yang datang ke rumah. Mendengar isi tausyiah Bu Fatimah, rasanya hatiku tergugah. Ada rasa semangat dalam hatiku. Setelah semua telah pulang, aku mendekati Bu Fatimah. " Bu!" panggilku. Bu Fatimah melihatku dan tersenyum. Senyumnya juga lembut penuh ketulusan. " Apa Islam itu Indah ?" tanyaku sedikit gugup Bu Fatimah mendorongku menuju sofa. Kini Bu Fatimah duduk di sofa. Dia menjelaskan betapa indahnya agama itu, dimana toleransi, kasih sayang, persatuan dan kedamaian itu ada. Bukan kedamaian yang bisa di lihat, tapi Islam lebih menumbuhkan rasa kedamaian dalam hati meski yang sedang dialami itu pahit, kita akan merasakan damai dan optimis. Mendengar penjelasan Bu Fatimah, aku jadi penasaran. Apa itu Islam ? Aku bertanya lagi pada Bu Fatimah. Kenapa wanita Islam harus berjilbab ? Bu Fatimah menjelaskan bahwa, Seperti makanan yang ada di pasar, Jika makanan itu tidak di tutupi akan banyak lalat yang menghinggapinya, dan itu akan mengurangi minat pembeli. Jika tertutup, sudah pasti banyak yang menginginkannya. Dia akan di perlakukan dengan baik, jika sudah ada lalatnya ujung-ujungnya akan di buang ke sampah. Jika mendengar jawaban Bu Fatimah, memang benar adanya. Seperti aku, dengan pakaian sexy yang selalu aku pakai membuat para lelaki b***t tertarik padaku, layaknya lalat. Hari itu wekeend, dokter Faruk dan keluarga kecilnya datang menjenguk Ibundanya. Mereka terlihat saling menyayangi, penuh kebahagiaan. Kulihat istri Dokter Faruk memasak di dapur. Rasanya ingin aku mengenalnya, wajahnya penuh kesabaran, senyuman manis selalu menghiasi wajahnya yang bersinar. Meski tak menampakkan rambutnya, ia terlihat cantik dan elegan. " Emm mbak.. " sapaku sambil melajukan kursi rodaku. " ehh iya mbak." ia tersenyum padaku. " mbak sudah sehatan ? bagaimana keadaan sekarang ?" tanya wanita itu dengan ramah padaku. " Baik, sudah banyak perubahan mbk. emm.. mbak istrinya dokter Faruk ?" lagi lagi wanita itu tersenyum. " Alhamdulillah iya, Mbak. Nama saya Nur Khasanah, panggil saja Anah. Sepertinya kita seumuran. " " Iya, Saya Delin." Kami makan siang bersama, mereka keluarga bahagia yang tak pernah aku dapatkan. Andai aku bisa menjaga kehormatanku dan tidaak jatuh dalam lubang hitam, mungkin aku akan mendapatkan suami seperti dokter Faruk. Aku menyesali perbuatanku selama ini. Hidup dalam kegelapan yang kupikir ialah kebahagiaan. Badanku kotor, penuh jejak lelaki hidung belang. akankah ada suatu hari nanti harapan untuk bisa berkeluarga ? Selesai makan, aku pergi ke ruang TV. Aku tak mau mengganggu suasana bahagia mereka. " Tante.. " suara anak kecil, kulihat ia menyodorkan es krim padaku. " Ini buat Tante!" ucap anak kecil itu. Bocah laki-laki yang kutahu adalah anak dokter Faruk. Usianya mungkin 4 tahunan. Aku mengambil es krim itu, kuajak ia untuk makan es krim bersama. Tanpa sengaja aku hanyut dalam candaan bersama anak kecil itu. Entah mengapa rasanya aku jadi menyukai anak kecil. Hari mulai Sore, Dokter Faruk dan keluarganya berpamitan pulang. Sedangkan aku hanya bisa melamun. Seminggu sudah aku tinggal di rumah Bu Fatimah. Terapi juga sudah aku jalani, tapi tak ada perubahan sama sekali. Aku tak mau berlama-lama merepotkan Bu Fatimah. Aku mulai menelisik tentang Islam. Aku semakin tertarik dengan agama itu. Lantunan yang selalu kudengar selepas mahgrip dari kamar Bu Fatimah, semakin menggetarkan hatiku. Sebulan kemudian, Aku telah menyatakan masuk Islam. Dengan jilbab yang kini menutup rambut serta dadaku. Walaupun kakiku tiada rubahnya, tapi hatiku merasa tenang dan ikhlas. Sepertinya kakiku tiada sembuhnya. Aku putuskan untuk mulai hidup mandiri. Bu Fatimah mengizinkan aku untuk keluar dari rumahnya, ia mengantarkanku ke rumah petak dengan memberiku perbekalan. Selepas Bu Fatimah meninggalkanku sendiri, aku buka apa yang di bawakan Bu Fatimah untukku. Disana ada Al-Qur'an, Iqro', Jus Amma, Mukena, dan Tasbih. Tak lupa juga ia menyelipkan uang 5 juta di dalamnya. Aku tak tahu lagi harus bagaimana membalas kebaikan Bu Fatimah ini. Dengan uang ini, aku tak mau menyia-nyiakannya lagi. Aku buat untuk modal jualan gorengan. Setiap hari, aku berjalan dengan kursi roda mengelilingi desa untuk menjual daganganku. Sering kali kursi rodaku nyangkut di bebatuan, bahkan kadang aku terjatuh dan daganganku tumpah semua. Berat sekali rasanya menjadi manusia yang baik. Dulu, hanya sejam saja aku sudah dapat uang berjuta-juta. Entah mengapa dengan hasil yang sedikit membuat aku lebih menghargai uang. Dan para tetanggaku juga sangat baik padaku, sebelumnya aku tak pernah mendapatkan perhatian seperti ini. Sesekali Bu Fatimah datang ke kontrakanku, dia mengajakku untuk terapi kaki. Kini aku sudah bisa berjalan menggunakan kedua kakiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN