Part 4

1060 Kata
Dokter Faruk membuang semua pakaian dan barang-barangku keluar rumah. Ia mendorongku hingga aku terjatuh. " Sungguh, aku tak sudi memelihara wanita ja**ng sepertimu! pergi ! Aku sudah tak ingin melihat wajah mu itu!" ucapnya dengan nada tinggi. Aku hanya bisa menangis melihat diriku di perlakukan seperti ini. Aku memang berdosa, aku memang salah, tapi apakah manusia tak ada yang memiliki masa lalu ? Aku mencoba untuk meminta maaf pada Bu Fatimah yang kala itu berdiri diambang pintu, menyaksikan bagaimana diriku di usir oleh anak semata wayangnya itu. Dokter Faruk segera menyeretku menjauh dari bundanya itu. " Bu Fatimah !" teriakku waktu itu. Terasa badanku diguncang seseorang. Yaa itu Bu Fatimah yang berdiri di samping ranjangku. " Kamu mimpi,Nak ? minum dulu ya!" ucapnya sambil menyodorkan segelas air putih padaku. Nafasku. tersengal-sengal bagai habis lari maraton. " Sepertinya mimpi buruk, mimpi apa,Nak ? sampai memanggil nama Ibu ?" tanya Bu Fatimah seraya meletakkan segelas air putih yang kuminum tadi ke meja dekat ranjang. " Maaf, Bu. Saya yerbawa mimpi kalo akhirnya dokter Faruk mengusir saya dari rumah dan membenci saya." Nampak guratan senyum di bibir Bu Fatimah. Ia mengelus-elus pundakku. " Faruk memahami itu semua, Nak. Manusia pasti ada mas lalunya. Yang terpenting, sekarang kamu sudah ada di jalan yang benar. Jangan bingung lagi ya, Nak." kata Bu Fatimah yang menenangkanku kala itu. Kini aku benar-benar dalam hijrah. Semua adab, akhlaq dan sikapku, berubah seiring bertambahnya ilmuku. Karena benar, semakin padi berisi semakin ia akan menunduk. Sudah setengah tahun aku menumpang hidup di rumah Bu Fatimah. Aku sudah tidak memakai kursi roda lagi, kakiku sudah sembuh. Hari itu aku dan Bu Fatimah pergi ke pasar. Kami belanja sayur-sayuran dan ikan gurame. Selepas penuh tas sayur yang kami bawa, kami pulang dengan berjalan kaki. Jarak rumah ke pasar memang dekat sekitar 300 meter dari rumah. " Aduh Bu, saya lupa beli rempah. Saya balik ke pasar dulu ya Bu!" ucapku saat di tengah perjalanan. Setelah Bu Fatimah meng-iyakan aku untuk ke pasar lagi, aku segera kembali ke pasar. Bu Fatimah menunggu ku di tempat tadi. Di sebuah perempatan, tanpa sengaja ku lihat seraut wajah yang membuatku bergidik merinding. Yaa, itu adalah Kim Jie. Dia sedang sendirian saat itu sambil merokok. Saat matanya bertemu dengan mataku, dia langsung berlari ke arahku. Aku juga lari karena teringat kejadian dulu itu. Aku merasa jijik jika mengingat kembali itu semua. Kim Jie terus saja mengejarku, hingga kakiku tak lagi mampu melangkah karena Kim Jie berhasil menarik tanganku. " Delin! Kemana saja kamu selama ini, ha ? Kamu lupa, kamu sudah saya beli dengan mahal. Saya tidak mau tahu, sekarang kamu ikut saya, kamu bayar semua hutangmu itu. Ayo!" Ucap Kim Jie sambil menarik tanganku. " Lepaskan! aku sudah tidak berada di jalan itu. Aku mohon lepaskan!" Aku meronta-ronta berharap akan di lepaskan oleh lelaki itu. Plak Sebuah tamparan mendarat di pipiku. Rasanya sakit sekali, Kim Jie kembali menggunakan kekuatannya untuk menyiksaku. Aku hanya bisa menangis dan terus meronta. Sedangkan ia terus saja menarikku hingga aku terseret. Namun kulihat Bu Fatimah memukul Kim Jie menggunakan sebuah kayu besar. Itu membuat tangan Kim Jie reflek melepas tanganku. di kesempatan itu, aku dan Bu Fatimah berlari. Hingga pada akhirnya, aku melihat sebuah angkot menubruk Ibu Fatimah. Bu Fatimah tergeletak tak berdaya di tengah jalan dengan darah yang membasahi jilbabnya. Dengan di bantu para warga setempat, aku membawa Bu Fatimah ke rumah sakit. Dimana Dokter Faruk bertugas. Terlihat Para suster mulai memasuki ruang UGD bersamaan dengan Bu Fatimah. Aku sangat cemas, aku hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Kulihat Dokter Faruk masuk ke UGD dengan panik. Ia bahkan tak menoleh ke arahku sama sekali. Beberapa saat kemudian, pintu UGD terbuka bersamaan Bu Fatimah yang di dorong dengan ranjangnya. Aku mengekor di belakang para suster dan dokter Faruk. Mereka masuk ke sebuah ruangan yang bertuliskan Mawar 04. Aku menunggu di luar dengan harapan agar semua baik-baik saja. Dokter Faruk dan para suster keluar dari ruangan. " Dokter, bagaimana keadaan Ibu ?" tanyaku. " Bunda masih belum sadar kan diri. Kami masih harus CT scan dan Ronsen untuk melihat apakah ada luka dalam. Kita lanjutkan nanti ya, saya harus segera siapkan alat-alat." kata Dokter Faruk seraya berlalu dariku. Rasa cemas membayangiku, tak pernah sebelumnya aku merasakan seperti ini. Seperti seorang anak yang takut kehilangan Ibunya. Bahkan pada orang tuaku sendiri, aku rela meninggalkan mereka demi hidup bebas. " Ya Allah,.. Kau maha pengasih lagi maha penyayang. Izinkanlah kesembuhan menyertai Bu Fatimah Ya Allah. Berikan ia panjang umur agar bisa menuntunku ke jalan-Mu Ya Allah." Pinta ku dalam doa yang tiba-tiba ku ucapkan dengan penuh harap. Matahari semakin bersinar terang, jam menunjukkan pukul 12.02. Aku beranjak menuju mushola rumah sakit untuk menunaikan kewajibanku serta merintih pada Allah untuk kesembuhan Bu Fatimah. " Ya Allah.. hamba mohon, sembuhkanlah Bu Fatimah. Hampa sayang padanya Ya Allah. Jangan pendekkan umurnya, biarkan ia mendampingi hampa hingga menjadi manusia yang lebih bertaqwa pada-Mu. Angkatlah sakitnya Ya Allah." sebait doa yang kupanjatkan setelah menunaikan sholat dzuhur. Tak terasa, air mata membasahi kedua pipiku. Aku kembali ke ruang tunggu depan ruangan mawar 04. Terlihat dokter Faruk dan tim membawa Bu Fatimah keluar kamar. Aku berlari mengejar segerombolan tim medis itu. " Dokter!" panggilku pada dokter Faruk, yang membuatnya menyelinguk dan berhenti sejenak. " Bagaimana,Dok keadaan Ibu ?" tanyaku dengan penuh rasa cemas. " Doakan yang terbaik untuk Bunda ya. Saat ini tim medis akan melakukan tindakan operasi, karena ada pendarahan di kepala Bunda. " ucap Dokter Faruk dengan sedih. " Ya sudah ayo, kamu mau tunggu disini apa ikut kesana ?" tanyanya lagi. Kuputuskan untuk ikut dan menunggu di depan ruang operasi bersama dokter Faruk. Dia tidak ikut masuk, karena dia bukan dokter bedah. Terlihat kecemasan menyelimuti wajahnya. Matanya terpejam dan bibirnya tak ada hentinya berdecap. Mungkin ia sedang berdoa atau mungkin berdzikir untuk menenagkan diri. " Dok, mbak Anah sudah tau ?" tanyaku yang seketika itu memecah keheningan. " Astaugfirullah, saya lupa kasih kabar ke Anah. Saya telfon dulu ya!" ucapnya yang seketika mengambil ponselnya. Nampak ia sedang menelfon istrinya itu. Tapi dokter Faruk tidak meminta mbak Anah untuk segera datang, ia meminta untuk mempersiapkan apa saja yang di butuhkan selama Bu Fatimah di rawat. Setelah menelfon istrinya, dokter Faruk bertanya tentang apa yang terjadi sebenarnya. Ku jelaskan dengan sejujurnya, apa yang terjadi. Dokter itu tak membalas sepatah kata pun. Dia hanya mendengarkan dengan baik apa yang aku ceritakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN