Chapter 01
Nanda menangis, memegang lengan adik nya yang masih tergeletak di trotoar dengan mata terpejam, mengabaikan panggilan Nanda yang menyuruh nya untuk segera bangun. Ias –adik nya- mengalami luka di leher, bagian perut nya ada beberapa serpihan kaca yang masih menancap di sana. Nanda masih memanggil nama nya, sesekali meminta bantuan seseorang yang mengerubuni nya tanpa memiliki niat untuk mendekat. “Panggilin ambulan! Lo ngapain ngeluarin hp cuman mau foto adik gue! Panggil ambulan, cepat!”
Nanda semakin berteriak emosi, tidak ada yang mau menolong, mereka malah gencar mengambil foto adik nya. Nanda dengan cepat mengambil sapu tangan di tas, tangan nya dengan gemetar menutupi luka di leher adik nya yang masih mengeluarkan darah.
“Tolongin adik gue, please!” Nanda menyerah berteriak, nada suara nya menurun, sudah putus asa meminta bantuan.
“Ada apa?” Nanda menoleh, menatap laki-laki yang duduk di samping nya dengan mata nya yang berair. Mengabaikan pertanyaan laki-laki itu, Nanda mengamati dia yang memeriksa tubuh adik nya, membuka baju di bagian perut Ias dengan perlahan dan mulai menekan luka di sekitar perut.
“Saya tanya ada apa?” Dia sedikit meninggikan suara nya –tapi masih dalam batas wajar-, menyadarkan Nanda yang masih menatap pergerakan laki-laki itu yang mulai memeriksa luka di sekitar leher Ias dengan perlahan.
“Adik gue, dia nggak sengaja nabrak kaca. Gue nggak tau gimana, waktu gue sampairin dia udah kayak gini.” Nanda menjelaskan, meremas pelan sapu tangan yang ada di tangan nya, berharap rasa takut nya akan berkurang jika dia melakukan itu. Laki-laki itu sedikit membuka luka Ias, lalu menutup nya kembali dengan sedikit memberi tekanan di leher Ias bagian atas.
“Vena di lengan kiri nya pecah, tekanan intrathoracic.” Dia bergumam pelan, tangan nya mulai mencari ponsel di tas nya, berniat memanggil ambulans sebelum kondisi Ias semakin parah.
“Tapi d**a nya naik, dia bernafas ini.” Laki-laki itu berhenti bergerak, menatap Nanda yang menyeruakan pendapat nya. “Kamu dokter?”
Nanda menggeleng. “Gue cuman pernah dengar.”
“d**a nya bergerak secara paradoks, paru paru kiri nya dalam kesulitan, saya harus membuat irisan di bawah dua rusuk nya. Boleh saya melakukan nya?” Laki-laki itu menatap tubuh Ias, memeriksa apa ada luka lain yang dia lewat kan dengan tangan kanan nya yang memegang ponsel, berbicara sedikit menginformasikan ada kecelakaan dan menyebutkan lokasi kejadian.
Dia menutup panggilan, menoleh pada Nanda yang menatap nya ragu. Mendengus, dia menatap Nanda dengan sorot menenangkan. “Saya dokter. Memang belum cukup pengalaman, tapi saya tau apa yang saya lakukan. Bisa kamu percaya sama saya?”
Mata Nanda berair. “Gue cuman takut adik gue kenapa-napa.”
“Saya bisa jamin, saya nggak akan memperburuk kondisi nya.” Ragu, Nanda mengangguk. Membiarkan laki-laki yang ada di samping nya melakukan pemeriksaan pada adik nya.
Tangan laki-laki itu bergerak, melepaskan tas yang sedari tadi ada di punggung dan menaruh tepat di samping nya. Dengan cekatan dia membuka resleting tas nya dan mengambil kotak kecil disana, mencari pisau lipat yang selalu dia bawa. Mata nya melihat sekeliling, berhenti pada apotik kecil di seberang jalan. “Bisa kamu ke apotik itu beli tiga alkohol?”
Nanda mengangguk, mengambil dompet dan berlari pelan menuju seberang dengan tangan yang terangkat menghentikan beberapa pengendara yang lewat. Tidak peduli dengan gerutuan dan sumpah serapah pengendara lain yang tertuju pada nya. Pikiran nya sudah kalap, tidak ada hal lain di pikiran nya selain membantu menyelamatkan adik nya. Sedangkan laki-laki itu berlari menuju warung di samping nya, mengambil sedotan besar setelah mendapat ijin dari pemilik. Saat dia kembali, dia sudah melihat Nanda yang membawa lebih dari lima botol alkohol di samping tubuh Ias.
“Kenapa banyak sekali?” Laki-laki itu berjongkok, mengecek kondisi Ias sambil sesekali melirik Nanda.
“Ada nya botol yang kecil, gue takut nggak cukup nanti.” Nanda memberi alasan. Sesekali mengatur napas nya yang tidak beraturan, efek berlarian di jalan tadi.
“Kamu bisa buat nafas buatan? Saya harus mulai membuat irisan nya.” Nanda hanya menurut, mengambil alih kantung ambu yang sudah laki-laki itu pasang di mulut adik nya, sesekali melihat laki-laki itu yang membuat katub satu arah buatan nya.
“Irisan apa maksud lo?” Nanda bertanya, tangan nya menekan kantung ambu nya secara teratur, menghitung di pikiran nya berapa detik sebelum dia menekan nya kembali.
“Saya sudah bilang tadi.” Jawab laki-laki itu, tangan nya menuangkan satu botol alkohol ke tubuh Ias dan satu botol lagi ke bolpen yang sudah di buang isi nya dan pisau nya.
“Pneumothorax.” Nanda bergumam pelan, dia kembali menangis saat menyadari sudah seberapa parah kondisi adik nya.
Mata nya reflek terpejam erat saat laki-laki itu mulai mengiris pelan, darah merah pekat mulai mengalir dan segera dia seka dengan sapu tangan milik Nanda. Dia mengambil bolpen dan mulai memasukkan nya ke dalam tubuh Ias. Beberapa orang yang melihat nya hanya meringis ngeri, tidak sanggup melihat nya. Bolpen itu tersambung pada sedotan besar yang sudah dia solasi dan mengarah pada botol minuman yang masih terisi setengah air nya.
Kerutan di alis laki-laki itu menghilang saat gelembung udara di botol minuman itu sudah keluar. Dia berdecak pelan saat menyadari ambulans yang dia tunggu belum datang. Tangan laki-laki itu mengambil ponsel yang tergeletak di samping nya, memanggil 119 kembali. Tangan kiri nya memberi tekanan pada luka di leher Ias, menggantikan Nanda yang sudah tertunduk lemas di samping nya. Dia mematikan panggilan nya saat mendengar beberapa orang meneriakkan ‘permisi’ dan ‘medis’ beberapa kali.
“Hati hati, jangan sampai botol nya jatuh.” Laki-laki itu memberi peringatan, dia berdiri setelah membereskan barang barang nya, hendak kembali berjalan menjauh sebelum Nanda menarik lengan nya, memaksa nya ikut masuk ke Ambulans.
“Ke RS. Ni Medical Center saja.” Laki-laki itu berkata pada petugas, sesekali menatap Nanda yang menghembuskan nafas sambil sesekali meremas tangan nya.
“Adik kamu baik baik saja.” Nanda mendongak, wajah nya kacau dengan bekas air mata, dia mengangguk berkali-kali, berharap apa yang di katakan laki-laki itu benar.
***
“Terkena pecahan kaca, beberapa masih menancap di perut nya, kaca nya memotong vena jugular, dia juga mengalami pneumothorax tadi. Lakukan pemeriksaan pembuluh darah penuh dan pan-scan.” Ujar laki-laki itu pada dokter yang sudah menunggu di depan pintu rumah sakit, Nanda masih mengikuti di belakang nya dengan tangan saling bertautan.
“Lakukan echo juga.”
Dokter itu menyerngit, menatap laki-laki itu dengan raut wajah bertanya. “Echocardiogram?”
“Untuk jaga jaga.” Dokter itu mengangguk pasrah, melakukan perintah laki-laki itu sambil menyuruh beberapa dokter untuk melakukan operasi dadakan.
“Ada keluarga nya di sini?” Perawat menghampiri laki-laki itu dan Nanda, bertanya siapa yang akan menjadi wali pasien untuk mengurus data data nya. Laki-laki itu menunjuk Nanda, membiarkan perawat itu menggiring Nanda menuju meja informasi untuk melengkapi data sedangkan dia mulai masuk ruang operasi, ikut memperhatikan hasil echo pasien.
“Ada kecacatan cekung di atrium kanan. Lo bisa mulai operasi sekarang, minta dokter spesialis buat mimpin operasi.”
“Kenapa nggak lo aja?” Dokter bertanya pada laki-laki itu, menghentikan jalan laki-laki itu yang akan keluar menemui Nanda yang dia yakin masih kebingungan di sana.
“Kita kan udah pergantian shift, pekerjaan gue udah abis sejam yang lalu, lagian juga ada lo kan?” Laki-laki itu menjawab dan kembali berjalan keluar ruangan dengan sebotol minuman di tangan nya. Mata nya menatap sekeliling, menyapa beberapa kali pada staf rumah sakit di sini. Langkah nya berhenti di depan Nanda yang duduk di ruang tunggu, berjongkok untuk melihat wajah Nanda.
“Nggak pa-pa?” Dia bertanya. Memperhatikan wajah pucat Nanda. Tangan nya hendak terulur, menghapus air mata yang terus mengalir di pipi nya. Tapi segera dia urungkan saat tau apa yang dia lakukan saat ini termasuk perlakuan yang tidak sopan.
“Adek gue.” Nanda berbisik lirih. Suara nya terdengar serak, belum lagi isakan kecil yang terus menghambat pernapasan nya. Gilang menyerahkan botol minuman nya. Membuka tutup botol nya dan memaksa Nanda untuk meminum nya. “Minum.”
“Nggak mau, gue enggak haus.”
“Biar kamu lebih tenang. Minum.” Menurut. Nanda mengambil alih botol minuman nya, meneguk nya sekali lalu menggenggam botol dengan kedua tangan nya erat.
“Dokter yang menangani adik kamu itu salah satu dokter terbaik, jangan terlalu khawatir pada adik mu. Kamu sudah menghubungi orang tua kamu?”
Nanda mengangguk, menatap laki-laki itu yang masih berjongkok di hadapan nya. Tangan nya terangkat, menghapus air mata nya. “Makasih udah nolongin adik gue.”
“Udah kewajiban saya.” Dia tersenyum.
“Lo siapa?” Nanda bertanya.
“Bukankah sudah terlalu terlambat menanyakan saya siapa?” Laki-laki itu tertawa pelan, berdiri dan duduk di samping Nanda dengan sedikit menjaga jarak. “Lo siapa?” Nanda bertanya lagi, menatap laki-laki itu yang kini balas menatap nya.
“Saya Gilang Mahendra, salah satu dokter di sini.”
***