“Ias Putri Rahayu, sangat ke-jawa-an. Umur 7 tahun, dia bahkan baru masuk sekolah dasar dan sudah mengalami ini. Kenapa saya belum melihat orang tua nya di sini?” Gilang bertanya, mata nya menoleh pada Nanda yang berdiri kikuk di samping nya.
“Mereka datang dua jam lagi.” Nanda menjelaskan.
Dia bergerak risih. Nanda menunggu operasi adik nya lebih dari empat jam. Tidak memiliki waktu untuk istirahat ataupun membersihkan tubuh nya. Baju yang sudah ternoda darah masih dia pakai, menarik perhatian pengunjung lain yang ingin membesuk kenalan nya. Belum lagi celana pendek selutut yang dia kenakan, membuat dia harus bergedik karena angin dingin yang melewati kaki nya.
“Ini sudah 5 jam setelah kamu menelepon mereka kan?” Gilang menaikkan sebelah alis nya heran.
“Ayah gue ada keperluan di Jepang dan bunda gue nggak suka di tinggal, jadi dia ikut sama ayah. Mereka langsung memesan tiket setelah gue bilang adik gue kecelakaan.”
“Adik mu baik-baik saja, kondisi nya sudah membaik walaupun dia belum membuka mata nya. Tanda vital nya semakin membaik, kamu hanya perlu menunggu saja.” Nanda mengangguk, mendongak menatap Gilang yang masih membaca data milik adik nya.
“Dingin?”
“Eh?”
Menurunkan pandangan nya dari data medis, Gilang menoleh sepenuhnya pada Nanda. “Kamu kedinginan? Ini sudah jam 11 malam. Kamu nggak istirahat?”
Nanda meringis. “Dikit, tapi nunggu bunda dateng dulu. Kalau gue tinggal, kasihan nanti adek gue sendirian.”
Melirik kaki Nanda, Gilang melepas jaket yang dia kenakan. Menyerahkan pada Nanda. “Kamu pake dulu.”
“Nggak usah. Gue nggak mau-“
“Pakai aja.” Gilang memaksa. “Nggak malu pakai baju kayak gitu?”
Pasrah. Nanda menurut. Memakai cepat jaket denim Gilang dan menutup resleting jaket nya sampai ke leher. Gilang yang melihat nya tersenyum tipis, walau wajah Nanda sudah kucel, dia tetap manis dengan jaket kebesaran yang Nanda pakai.
“Kamu terlalu banyak tau mengenai medis, mahasiswi jurusan medis?” Gilang bertanya, mengembalikan data kepada perawat di depan nya dan berjalan ke ruangan Ias. Baju nya yang tadi penuh darah kini sudah berganti dengan kaos kedodoran warna putih yang bagian depan nya dia masukkan ke dalam celana nya.
“Gue masih SMA.” Nanda menjawab, mengikuti Gilang dan berjalan di samping nya.
“Cita cita dokter?”
“Gue nggak seberani itu bertanggung jawab sama nyawa nya orang lain.”
“Perawat?”
“No.”
“Kamu anggota PMR?”
“Yap.” Gilang menghentikan langkah nya, menatap Nanda yang berada di depan nya dan berbalik menghadap nya.
“Really? Bukan nya PMR nggak bahas tentang aliran darah?”
“Gue anak IPA.”
“Bagaimana dengan pneumothorax?”
“Film, gue suka nonton film medis.” Gilang hanya mengangguk, kembali berjalan dan membuka pintu ruangan Ias. “Nggak banyak orang yang suka nonton film medis, apalagi banyak istilah medis yang sulit nya minta ampun. Saya aja nggak suka nonton film begituan.”
“Film medis bagus, kok. Banyak pengetahuan medis yang nggak gue tau disana. Cara pertolongan pertama yang tepat juga di jelasin, jadi gue bisa ngerasa bisa waktu nolongin anak sekolah yang luka.”
Gilang mendengus. “Tetep aja film itu nggak ada manfaat nya.”
“Ada kok!” Nanda menyela dengan nada tidak terima. “Gara-gara nonton film gue jadi punya wawasan, terus gue jadi punya keberanian buat donorin darah gue.”
“Donor darah kan suatu kesadaran sendiri. Nggak ada hubungan nya sama-“
“Ada! Gue sadar kalau gue harus donor darah itu dari film. Mereka ngajarin gue buat peduli sama orang lain yang bahkan nggak gue kenal. Harus di ambil sisi positif nya dong! Kalau ngambil sisi negatif nya kapan mau terus maju?!” Gilang diam. Tidak menyahut. Dia lebih memilih mendekati Ias dan membenarkan selang infus nya.
“Makasih.” Nanda bergumam pelan, mengambil ponsel dan charge untuk mengisi daya ponsel nya di sana. Tadi dia menggunakan telepon milik rumah sakit saat menghubungi orang tua nya.
“Sama sama.” Gilang menjawab dengan gumaman pelan.
“Dokter umur nya berapa?”
“Kenapa tanya?”
“Dokter keliatan masih muda.”
Gilang tertawa pelan. “Jangan suka sama saya.”
Gilang duduk di sofa, Nanda yang melihat nya ikut duduk di samping nya. Tidak terlalu jauh, tapi mereka masih bisa berbicara pelan tanpa menganggu istirahat adik nya.
“Dokter umur nya berapa?” Nanda kembali bertanya, mengabaikan candaan garing yang Gilang lontarkan.
“23 tahun.”
“Masih baru ya di sini?”
“Udah tiga tahun.”
“Kuliah nya berapa tahun?”
“Empat tahun.”
“Lah, trus lulus SMA nya?”
“Saya lulus SMA umur 16 tahun tahun, kuliah 4 tahun langsung kerja disini. Koas 2 tahun, dapetin lisensi sudah setahun.”
“Loh? Bukan nya sekarang kalau mau kuliah harus cukup umur dulu?”
Gilang menggeleng. “Nggak semua universitas gitu. Emang peluang saya buat masuk disana sedikit, tapi syukur kalau saya bisa keterima.” Nanda hanya menganggukkan kepala nya saat Gilang menjelaskan.
“Makasih.” Nanda bergumam lagi, tapi kini dia menatap mata Gilang.
“Saya kan udah bilang sama sama.”
“Tetep aja makasih.” Gilang hanya mengangguk.
“Umur gue masih 18 tahun loh, jadi dokter lebih tua 5 tahun dari gue.”
“Wajar sih, kamu kan emang masih SMA.” Gilang menyahut santai gurauan Nanda. Gilang sesekali bertukar pesan dengan ibu nya melalui ponsel nya.
“Om, kenapa-“
“Jangan panggil saya om, saya nggak setua itu.” Gilang menyahut cepat, sedikit enggan saat ada yang memanggil nya ‘om’ saat dia bahkan tidak setua itu.
“Ya udah.” Nanda diam selama beberapa menit, tidak melanjutkan apa yang ingin dia tanyakan tadi.
“Mau tanya apa tadi?” Gilang bertanya, menyenderkan punggung nya dengan kepala menoleh ke samping menatap Nanda.
“Kenapa dokter kaku banget? Biasanya orang makai ‘gue-lo’ tapi dokter pakai nya ‘saya-kamu’.” Nanda kembali bertanya, menyilangkan kaki nya dan menghadap Gilang. Gilang yang melihat pergerakan Nanda melemparkan bantal sofa pelan ke pangkuan Nanda, Nanda yang mengerti maksudnya hanya menurut saja.
“Kamu keluarga dari salah satu pasien di rumah sakit ini, saya hanya menggunakan bahasa formal saja.” Gilang menjelaskan.
***
Mata nya menatap jam yang melingkar di tangan kiri nya, masih kurang tiga puluh menit lagi sebelum orang tua Nanda datang. Gilang harus menjelaskan keadaan pasien kepada orang tua Nanda, Rian –dokter yang membantu mengoperasi Ias- beralasan tidak bisa lama di rumah sakit karna dia harus segera pulang ke rumah sebelum kakak nya kembali mengamuk. Gilang hanya bermain game di ponsel nya dan sesekali melihat Nanda yang sudah tidur dengan posisi duduk bersila, menyandarkan tubuh nya di sofa.
Panggilan masuk mengejutkan Gilang saat sedang bermain game dan reflek Gilang menolak panggilan nya. Dia keluar dari aplikasi game, kembali menelepon ibu yang tadi sempat dia tolak panggilan nya.
“Halo,bu?”
“Dimana kamu? kok jam segini belum pulang?”
“aku masih di rumah sakit bu, mungkin sejam lagi aku baru bisa pulang.”
“Ada masalah di rumah sakit?”
“Ada pasien dadakan tadi.”
“Yakin? Kamu nggak lagi jajan di luar terus nggak mau beliin orang rumah kan?”
Gilang tertawa pelan. “Bilang saja ibu ingin aku bawakan martabak telur di tempat biasa.”
“Tau aja kamu. Dua ya, yang satu banyakin telur nya.”
“Iya, nanti aku bawakan buat ibu.”
“Ya udah. Nanti hati-hati pulang nya. Nggak boleh ngebut, martabak buat ibu harus tetap utuh soal nya.”
Gilang tertawa sebelum menutup panggilan nya, mengabaikan Nanda yang sudah terbangun dan melihat interaksi Gilang dengan ibu nya.
“Om ganteng kalau ketawa lepas.” Gilang menoleh, menatap Nanda yang masih tetap dengan wajah tidur nya, mata nya sesekali terpejam lama dan kembali terbuka.
“Saya diem juga udah ganteng.” Gilang tersenyum.
Nanda menicbir. “PD gila!”
“PD lebih baik daripada kurang rasa percaya diri.” Gilang membela diri. Dia menaikkan sudut bibir kanan nya sedikit.
“Terlalu percaya diri itu juga nggak baik.”
“Jelas nggak baik kalau kamu ngambil dari sisi negatif nya.” Gilang membela diri lagi. Mata nya menatap pintu yang terbuka, pasangan paruh baya ada di depan pintu, mata mereka sedikit berkaca-kaca saat melihat anak bungsu mereka yang masih terbaring lemas di tempat tidur.
Gilang menghampiri mereka dan menuntun mereka menuju tempat informasi. Dia meminta data pasien pada perawat dan membacakan nya pada orang tua Nanda. Mengatakan jika pasien mengalami beberapa kendala dalam pengoperasian nya dan mengatakan jika sekarang dia baik baik saja.
Gilang berpamitan kembali ke ruangan, menyadari jika ponsel nya tertinggal di sana, Gilang berbalik, berjalan dengan senyuman tertahan ke ruangan dimana Nanda berada. Membiarkan orang tua Nanda mengurus administrasi nya terlebih dahulu. Nanda menoleh pada Gilang yang baru saja membuka pintu ruangan, ingin mengatakan sesuatu tapi lidah nya terasa kelu. Mata nya masih terasa berat. Ini sudah tengah malam, dia lelah, dan ini sudah waktu nya untuk beristirahat.
“Ponsel saya ketinggalan.” Gilang berucap, mendekat dan mengambil ponsel nya. Nanda hanya mengangguk canggung. Membiarkan Gilang melewati nya. Dia mengambil napas panjang, menikmati bau antibiotik dari tubuh Gilang.
“Jaket nya saya bawa.” Nanda menoleh. Mendapati Gilang yang sudah berdiri di samping nya dengan jaket yang sudah tersampir di pundak nya. Nanda mengangguk, tidak menanggapi lebih lanjut.
“Ya udah, saya pulang dulu.” Gilang berdiri, hendak meraih gagang pintu tapi dia urungkan, dia berbalik menghadap Nanda yang masih duduk di sofa.
“Nama kamu siapa?” Gilang bertanya. Nanda yang tadi nya menyandar dengan mata tertutup kini menegakkan punggung nya sambil tertawa pelan.
“Bukan nya udah terlalu terlambat nanya nama gue?” Nanda menatap Gilang jenaka, Gilang yang mendengar nya tersenyum kecil.
“Nama kamu siapa?” Gilang bertanya lagi.
“Gue Gira Nanda Triandra.”
***