Chapter 3

1407 Kata
Detak jantung nya teratur tapi ada cidera di pergelangan tangan nya, dia bilang daerah ibu jari nya terasa sakit. Tulang nya patah, sirkulasi darah nya baik tapi saraf median nya rusak. Lo bisa ngatasin yang ini?” Gilang bertanya pada perawat di samping nya. “Apa lagi?” Ayu –Perawat- bertanya. “Bebat tangan nya dan lakuin pengobatan serangkaian pergelangan tangan. Ambil juga x-ray di bagian lengan nya.” Ayu mengangguk, Gilang yang melihat nya berjalan menuju pasien nya yang lain. Langkah Gilang terhenti saat melihat balutan luka pasien di samping nya, berbalik dan memeriksa balutan perban yang bahkan hampir tidak menutupi semua luka nya. Mata Gilang melihat sekeliling, mencari satu anak magang yang selalu membuat kekacauan seperti ini. “Magang.” Gilang memanggil pelan pada dokter yang masih berkaca memeriksa riasan mata nya. “Dokter magang!” Gilang sedikit berteriak, semua dokter magang yang berada di sana sontak menoleh pada nya merasa terpanggil, kecuali dia. Dia bahkan masih membenarkan riasan mata nya tanpa menoleh sedikitpun pada Gilang. “Vira!” Gilang berteriak lagi, berdecak kesal saat Vira –Dokter magang itu- berjalan dengan ogah ogah-an ke arah nya. Rian yang mengatasi pasien di samping Gilang bahkan ikut berdecak keras. “Apa?” Vira bertanya, kedua tangan nya dia masukkan ke saku jas dokter nya. Sedikit mendongak menatap Gilang yang memang jauh lebih tinggi dari nya. Gilang menghela napas nya sambil menoleh ke samping, hampir mengumpat jika dia terlalu lama menatap wajah Vira. Gilang menarik sisi jas Vira, dia berputar pelan ke belakang dan menarik sisi jas lain nya membuat jas nya langsung terlepas dari tubuh Vira. Vira yang terkejut memekik pelan. “Apa yang lo lakuin?!” “-Lo-?” Gilang menekan apa yang dia ucapkan, jas Vira yang dia pegang dia serahkan pada perawat yang berjalan di samping nya sambil bergumam ‘taruh di ruangan gue’. Gilang mendorong pundak Vira kasar maju mendekat pasien, “Bebat yang benar! Bahkan anak SMP bisa nglakuin lebih rapi daripada lo!” “Ini bahkan cuman luka biasa.” Vira bergumam pelan, hampir berbisik, tidak mau jika Gilang mendengar nya dan akan mengomeli habis habisan nanti. Vira mendekat, mengambil perban yang baru dan mulai menggunting perban yang lama. Kembali membebat luka pasien dengan sedikit lebih rapi, mengabaikan Gilang yang sudah mencak-mencak di belakang nya. Rian yang berada di samping Gilang memberi kode jika dia saja yang akan menangani pasien yang lain, membiarkan Gilang menguras emosi nya dengan berhadapan dengan Vira. “Abis istirahat lo ke ruangan gue!” Gilang berujar kesal, meninggalkan Vira yang sekira nya sudah melakukan pekerjaan nya dengan benar. *** “Mana jas gue.” Vira menengadahkan tangan nya, meminta kembali jas nya yang Gilang simpan di belakang kursi. Dagu nya terangkat, tangan nya yang lain menyelipkan rambut nya ke belakang telinga. Kembali menantang mata Gilang yang menatap nya tajam. Tidak peduli bahkan jika senior nya itu akan semakin memarahi nya nanti. “Lo harus nya bisa jaga sikap di sini.” Gilang berujar sambil bersandar di kursi nya, memijat pelipis pelan. Dia sudah lelah dengan kelakuan Vira. Adik dari teman nya itu terlalu bersikap seenak nya, tidak memperhatikan kenyamanan pasien dan selalu mengobati dengan asal-asalan. “Gue udah jaga sikap gue!” Vira menurunkan tangan nya, menarik kursi di depan Gilang dan menduduki nya. “Lo malah benerin make-up lo padahal lo tau UGD lagi kacau, lo bahkan dengan asal asalan bebat luka pasien. Mau lo apa?” Vira menunduk, sedikit bersalah saat Gilang sudah menurunkan nada bicara nya, tanda jika kesabaran Gilang sudah di ujung batas. “Bisa nggak sih lo ngehargain gue?” Gilang berujar lagi, melempar pelan tissue basah di hadapan Vira, menyuruh nya menghapus semua make-up nya. Vira hanya menurut, mengambil beberapa lembar dan mulai membersihkan wajah nya. “Boleh gue bilang kalau gue malu ngerekomendasiin lo sama rumah sakit di sini?” Vira mulai terisak pelan mendengar gumaman Gilang. “Jangan gegara gue kenal dekat sama abang lo, lo malah jadi semena-mena sama gue.” Isakan Vira semakin keras. “Gunain otak lo, lo pinter tapi enggak lo gunain trus buat apa? Buat pajangan doang?” “Maaf.” Vira bergumam pelan, masih sambil menunduk. “Cuma magang sikap lo aja udah kayak gini, gimana mau kerja nanti?” “Ma-“ “Ah, gue bahkan nggak yakin lo bisa dapet kerjaan kalau sikap lo kayak gini.” Isakan Vira semakin keras, Gilang yang ada di hadapan nya  hanya menyandarkan punggung nya, tidak berminat untuk menenangkan perempuan di depan nya. “Gilang, maafin gue.” Vira berujar sambil terisak. “Intropeksi diri. Kalau lo nggak bisa jaga sikap lo, gue bakalan bilang ke abang lo kalau gue nggak mau ngawasin lo lagi.” Gilang berdiri, keluar ruangan, mengabaikan Vira yang masih menangis sesegukan di dalam ruangan nya. *** “Lo apain dia?” Rian bertanya, mengambil tempat duduk di hadapan Gilang yang sudah selesai dengan makanan nya. Sesekali melirik Vira yang terduduk lungkai di ranjang kosong. “Cuman gue suruh jaga sikap aja.” Gilang menjawab, memainkan game di ponsel nya menunggu jam istirahat milik nya berakhir. Rian tertawa, tau jika bukan itu saja yang Gilang lakukan, “Gue iya-in aja biar lo seneng.” Panggilan masuk di ponsel Gilang membuat nya mau tidak mau mengangkat nya. “Halo?” Rian yang mendengar suara Gilang mendongak, menatap Gilang seolah menanyakan itu panggilan dari siapa. “UGD.” Gilang berbisik pelan, memberitahukan apa yang Rian ingin ketahui tadi. “Ada yang butuhin lo disini.” “Dimana?” Gilang berdiri, mengetuk meja di depan Rian meminta Rian untuk mengikuti nya. “Udah di pindahin ke bangsal umum.” “Ha?” Gilang berhenti, memastikan pendengaran nya. Berbalik menatap Rian yang masih tetap makan di tempat nya tadi sambil sesekali melirik Gilang. “Dia minta lo yang ngurus.” “Kenapa harus gue yang ngurus?” “Gue nggak tau. Dia bilang dia kenalan lo, nama nya Nanda.” “Nanda?” “Iya, bisa lo kesini sekarang?” “Oke.” Gilang menaruh ponsel nya di saku jas, menatap Rian yang balik menatap nya. “Lo di sini aja, gue kira masalah besar tadi.” Rian hanya mengangguk menyanggupi. *** Nanda yang mulai melihat Gilang berjalan ke arah nya mulai bernafas lega. Dia berlari ke arah Gilang dan menyeret nya ke tempat tidur yang di tutupi tirai. “Teman gue.” “Ini cuman patah tulang.” Gilang mendekat setelah memeriksa hasil ronsen nya tadi, setelah nya memeriksa lengan teman Nanda. “Bukan itu, sebelum jatuh dia ngeluh sakit perut di bagian kanan bawah, dia bilang susah buang angin sejak kemarin.” Gilang diam. Tangan nya mulai membuka perut pasien, mengetuk pelan perut kanan bagian bawah nya. “Bukan nya ini usus buntu?” Nanda bertanya khawatir. “Gejala susah buang angin bukan berarti itu usus buntu.” “Bukan nya emang gitu biasa nya?” “Kalau emang benar, itu udah di tahap bahaya. Sulit buang angin berarti sudah terjadi penyumbatan pada usus nya.” Gilang bergumam, dia membuka tirai nya dan memanggil salah satu perawat. Menyuruh nya menyiapkan operasi dadakan untuk nya. Rian yang sudah selesai makan menghampiri nya. dia tidak bisa merasa tenang saat Gilang harus menangani pasien sendiri. Dia bertanya. “Ada apa?” “Lo siapin buat operasi apendektomi terbuka.” Gilang berujar cepat, tangan nya mendorong tempat tidur pasien dengan bantuan Rian di samping nya dan Nanda di belakang nya. “Kenapa nggak pakai scope aja?” Rian bertanya, sedikit keberatan saat harus melakukan apendektomi terbuka hanya di karenakan usus buntu yang dia kira masih bisa di atasi dengan operasi biasa. “Kemungkinan usus buntu nya sudah pecah, infeksi nya mungkin udah nyebar.” Gilang menjelaskan, Rian yang mendengar nya hanya mengangguk mengerti. Vira yang kebetulan lewat di samping mereka ikut membantu, memindahkan pasien ke meja operasi dan menyiapkan alat-alat nya. Nanda yang sudah mengerti posisi nya hanya menunggu di luar ruangan saja. “Lo yang mimpin, lo yang bantu, biar gue yang ngurus data nya.” Gilang menunjuk Rian lalu menunjuk Vira yang berada di samping nya. “Gue cuman anak magang!” Vira protes, enggan mendapat masalah hanya karena anak magang belum di perbolehkan membantu proses operasi. “Gue ngurus data cuman lima menit, abis itu gue yang gantiin posisi lo.” Gilang berjalan keluar setelah berujar. Mengabaikan Rian, Vira dan beberapa perawat yang membantu mereka kelimpungan. *** “Teman lo udah gak pa-pa, usus buntu nya udah di tangani tadi. Untuk patah tulang nya, temen lo akan di operasi besok.” Vira menjelaskan pada Nanda. Gilang yang berjalan di belakang nya memukul belakang kepala Vira pelan. “Pakai bahasa formal.” Gilang berbisik pelan. Menginterupsi Vira yang terus-terusan berbicara menggunakan bahasa informal dengan wali pasien –walau Nanda tidak bisa di sebut wali-. “Kamu udah hubungin orang tua nya?” Tanya Gilang. Nanda menganggu. “Tapi kata nya pihak sekolah dulu yang nanggung biaya nya.” Nanda menatap beberapa kali Gilang yang mengenakan jas dokter nya, terlihat keren apalagi dengan rambut rapi bergelombang nya. Mata nya beralih pada dokter perempuan di samping Gilang. “Makasih.” Nanda membungkuk terima kasih pada Vira dan Gilang. Gilang hanya mengangguk pelan sedangkan Vira tersenyum heboh, baru kali ini dia mendapat ucapan makasih dari kerabat pasien alih alih mendapat makian. “Sama sama, manis banget sih… Nama nya siapa?” Vira bertanya heboh, tangan nya dengan enteng dia rangkulkan ke pundak kecil Nanda yang memang lebih pendek beberapa centi dari Vira. “Nanda.” “Kenalin, gue Savira, just Savira, panggil aja Vira.” Vira berbisik pelan, takut jika Gilang akan memukul nya lagi. Nanda hanya mengangguk pelan sambil sesekali menatap Vira dan Gilang bergantian. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN