4
“Kenapa saya sering ketemu kamu di rumah sakit?” Gilang bertanya tanpa menatap Nanda, mata nya masih terpejam lelah. Shift nya sudah selesai beberapa jam yang lalu, tapi entah kenapa dia lebih memilih menemani Nanda daripada tidur di rumah nya. Rasa malas menghantui nya, membayangkan bagaimana cerewet nya ibu saat beliau tau anak nya pulang terlambat lagi.
“baru dua kali loh.” Nanda berucap membela diri, tangan nya sesekali memainkan ponsel Gilang yang tadi dia pinjam.
“Udah ngabarin orang rumah?” Gilang bertanya lagi. Kaki nya dia selonjorkan pelan, kursi kecil yang dia duduki membuat nya merasa tidak nyaman.
“Udah, kata nya mau jemput bentar lagi.” Gilang hanya mengangguk. Mata nya mulai terpejam. Vira yang tadi nya menemani mereka harus pulang karena dia hanya dokter magang di sini.
“Dokter ahli ortopedi, ahli jantung, ahli bedah atau-“ Nanda menggantungkan kalimat nya, tidak tau apalagi tentang masalah dokter.
Gilang tertawa pelan sebelum menjawab. “Saya ahli bedah umum.”
Nanda mengangguk, dia keluar dari aplikasi game nya dan menoleh menatap Gilang yang masih bersender memejamkan mata nya. “Kalau lelah dokter bisa pulang duluan, gue ga pa-pa nunggu jemputan sendirian.”
Gilang hanya menggeleng, menandakan jika dia tidak apa-apa ikut menunggu bersama Nanda.
“Kalau manggil dokter kepanjangan, enak nya manggil nya gimana?” Nanda bertanya, mencoba mengusir keheningan yang ada di sekeliling mereka. Gilang membuka mata nya, menaikkan kaki nya di kursi dan duduk menyamping menatap Nanda. “Kamu bisa panggil saya Gilang saja.”
“Bukan nya agak kurang ajar kalau gue manggil nama sama orang yang punya umur beda jauh sama gue?”
“Kita cuman beda 5 tahun.”
“Kan tetep aja beda nya jauh.” Gilang hanya tersenyum, masih memandang Nanda dari samping.
“Kak, bisa nggak kalau lo make nya ‘lo-gue’ aja? Biar nggak usah formal formal banget gitu.” Nanda berceletuk. Sedikit menurunkan nada nya saat dia memanggil Gilang ‘kak’. Gilang hanya tertawa, tangan kanan nya dia jadikan tumpuan kepala belakang nya. “Oke kalau itu mau lo…”
Nanda mengecek ponsel Gilang saat mendengar notifikasi muncul, abang nya itu baru mengirim pesan jika dia sudah berada di depan rumah sakit. Nanda berdiri, berjalan mendekati Gilang yang mengikuti pergerakan Nanda. Nanda memberikan ponsel Gilang pada pemilik nya. Mengucapkan kata terimakasih dan mengatakan jika abang nya sudah berada di depan rumah sakit. Nanda hendak berjalan keluar sebelum Gilang memanggil nama nya.
“Ada apa?” Nanda bertanya. Dia mendongak saat Gilang menghampiri dan berdiri di depan nya. Nanda melihat Gilang yang menyodorkan ponsel kepada nya.
“Boleh minta nomor WA lo?” Gilang bertanya pelan. Sedikit salah tingkah saat Nanda tak bereaksi apapun, malah menatap Gilang lama.
“Boleh.” Nanda mengambil ponsel Gilang, mengetikkan nomor WA nya dan mengembalikan nya pada Gilang yang masih tidak mau menatap mata Nanda, tangan kiri nya bahkan mengelus belakang leher nya karena mendadak merinding. “Thanks.” Gilang bergumam pelan, lalu berjalan bersisihan dengan Nanda, bermaksud mengantar nya sampai depan pintu rumah sakit.
***
Gilang dilema, ingin mengirim pesan pada Nanda tapi takut dikira yang aneh-aneh dan membuat perempuan SMA itu salah paham. Ibu nya yang melihat kelakuan putra sulung nya hanya menatap nya lamat. Dia menghembuskan nafas, berniat mengetikkan pesan nya sebelum ibu nya mengetuk pelan pintu kamar nya yang terbuka, membuat nya terlonjak kaget.
“Ngapain?” Ibu bertanya pelan, masih tetap di tempat nya, tidak menghampiri Gilang dan tidak menjauh dari kamar nya. Beliau bersandar di kusen pintu, menatap anak nya curiga saat Gilang salah tingkah.
“Ibu ngagetin aja.” Gilang berdiri, mengantongi ponsel nya di saku belakang dan menghampiri ibu nya. Memberikan ciuman di pipi nya sebelum beranjak ke dapur. Menghampiri ayah dan Vero –adik nya- yang sudah duduk di kursi nya masing masing.
“Kenapa harus nungguin abang terus sih?” Vero mengomel, kesal saat ibu nya selalu menghampiri kakak nya dulu sebelum makan malam. Mata nya menatap tidak suka pada Gilang. Ibu yang berjalan di belakang Gilang hanya menanggapi nya dengan senyuman, sudah paham jika omelan anak bungsu nya itu hanya bertahan sebentar. Gilang yang mendengar gerutuan adik nya hanya nyengir sambil mengacak rambut sebahu Vero. Duduk di samping adik nya mengabaikan decakan keras yang terus di dengar nya. “Doa dulu.” Ayah berucap, dia memimpin doa di antara mereka.
“Bu, aku mau ceker ayam.” Vero menagih bagian nya yang sudah sedari tadi di pesan nya. Ibu hanya tersenyum dan mengambil ceker ayam di piring untuk Vero, Gilang yang melihat nya tersenyum jahil.
“Makan ceker ayam nggak baik loh.” Gilang memulai. Ayah dan Ibu yang sudah paham tabiat anak sulung nya hanya diam, menunggu perdebatan seperti apa yang akan dilakukan nya. “bisa buat kamu kena penyakit endoriosis.”
“Bohong.” Vero tetap memakan ceker ayam, walau sesekali masih melirik Gilang takut dan menatap ayah ibu nya meminta penjelasan.
“Orang kalau buat ayam jadi gemuk kan nyuntik nya dari kaki. Obat obat an nya mesti masih ada yang tertinggal di sana.”
“Ayah! Abang nakal.” Vero mengadu dengan raut wajah memelas. Satu hal dari sekian banyak alasan yang Vero punya saat harus makan di satu meja yang sama dengan kakak nya, Gilang selalu mengatakan hal buruk tentang makanan yang tersaji. Memberikan pengarahan yang membuat ibu balik mengomeli nya dan mendapatkan pelototan dari ayah karena berani mengganggu acara makan mereka.
Gilang tertawa melihat nya. Dia kembali melanjutkan makan nya dan mengabaikan tatapan meminta penjelasan dari adik nya. Gilang mengalah, dia paling tidak suka saat seseorang terus menatap lamat diri nya. “Itu cuman buat ayam potong, ayam ini kan dari ibu yang beli ayam nya tetangga kemarin.”
Vero hanya mengangguk patuh, sesekali melirik kakak nya meminta penjelasan lebih lanjut. Gilang yang merasa di perhatikan hanya menghela nafas nya, lebih baik mengabaikan saja.
“Kamu akhir akhir ini sering pulang magrib, kadang malah enggak pulang kalau kejatah shift sore. Ada masalah di rumah sakit?” Ayah bertanya, Gilang hanya menggeleng sambil tersenyum.
“Abang juga udah jarang main sama aku.” Gilang mengacak rambut Vero lagi saat mendengar gumaman pelan dari adik nya. “Nanti kita main PS di kamar abang.” Vero mengangguk sambil nyengir.
“Nggak boleh! Vero harus nya belajar dulu, abis itu terserah kalian mau ngapain!” Tapi cengiran nya hilang saat Ibu tidak memperbolehkan nya, beralasan jika mereka akan lupa waktu kalau main game setelah magrib.
“Jadi kalau aku sudah selesai belajar boleh main PS?” Vero bertanya dengan semangat. Menatap Ibu dengan mata berbinar. Lalu mendengus saat ibu menggeleng, menolak nya. “Nggak ada PS buat malem ini!”
Gilang mendekat, berbisik pelan di telinga Vero. “Entar abis ini kita ke pasar malem.” Vero mengangguk, mengabaikan tatapan ibu yang entah kenapa terasa menakutkan sekarang.
***
Gilang masih menunggu di ruang tamu, dia hanya memakai celana pendek selutut warna coklat dengan kaos putih, Gilang juga memakai jaket denim biru nya –jaket yang dulu pernah dia pinjamkan pada Nanda-. Tangan nya masih memegang ponsel nya, sudah mengetikkan pesan singkat ‘hai’ dan menunggu jari nya menyentuh ikon kirim.
“Bang?” Vero memanggil. Gilang tak bergeming, masih menimang nimang ingin mengirim nya sekarang atau nanti saja.
“Abang?” Vero memanggil lagi. Gilang sudah pasrah, dia menekan ikon kirim lalu menyimpan ponsel nya di saku jaket nya dan menggenggam tangan adik nya keluar rumah. Menuju garasi mengambil mobil yang jarang di gunakan nya.
“Bang?” Vero memanggil, perempuan 15 tahun itu hanya mengenakan celana panjang hitam dan kaos kedodoran warna putih, rambut sebahu nya dia kuncir tinggi tinggi. Gilang menoleh, berdeham pelan menandakan dia mendengar apa yang akan Vero katakan.
“Ponsel abang kedip kedip tuh.” Gilang hanya melirik ponsel yang dia taruh di atas dasbor nya. Enggan membuka pesan nya saat dia tengah mengendarai kendaraan. Takut hal-hal buruk akan terjadi yang berakibat mencelakai diri nya dan adik nya.
“Biarin aja, di buka entar kalau udah sampai.” Gilang berucap. Vero hanya mengangguk paham, kaki nya dia naikkan di atas kursi, menikmati angin malam yang menerpa wajah nya. Gilang yang melihat nya menaikkan kaca nya hingga setengah nya, menghindari adik nya dari angin malam saat berkendara. Vero tidak memprotes, kelakuan Gilang sudah bisa dia tolerir walau hanya sedikit.
“Abang gimana sama mbak Vira?” Gilang hendak memarkirkan mobil nya saat Vero bertanya begitu.
“Dia cuman dokter magang di tempat abang kerja doang.” Gilang menjawab santai. Mengambil ponsel nya dan membuka pintu, di ikuti Vero di samping nya. Tangan nya membuka notifikasi chat WA nya, langkah nya berhenti, berkali kali membaca ulang pesan yang dia terima.
G.Nanda.T
Hai juga,… ini kak gilang bukan?
***