Gilang keluar dari ruang ICU setelah memastikan kondisi pasien yang tadi dia dan pak Imam operasi, dia sudah menghembuskan napas lelah. Ruang UGD bahkan semakin kacau setelah dia sampai disana, Rian yang tadi nya ada di sini mengawasi Vira sudah menuju ke ruang operasi, meninggalkan Vira yang kelimpungan sendiri. Dia bahkan bisa melihat mata Vira yang berkaca kaca saat mereka melakukan kontak mata. “Bantu gue.” Vira berucap pelan, hampir merasa putus asa dengan pasien yang ada di depan nya, meminta Gilang untuk segera datang dan membantu nya.
Gilang mendekat, membaca data di tablet yang Vira sodorkan pada nya. “Apnea membuat gagal tes batang otak dan reflek tes apnea.”
Dia menggeser data nya, sampai pada hasil CT scan di kepala nya. “Apa ini?” Gilang bergumam, memperbesar hasil CT scan untuk menajamkan penglihatan nya.
“Peluru?” Gilang bersuara, menatap tidak percaya pada Vira yang menggigit jari di samping nya.
“Peluru nya tersangkut di medula, gue butuh lo buat mendiagnosa kematian otak nya, ada yang salah di sini tapi gue nggak tau apa.” Vira berucap lirih.
“Peluru nya membeku karena bercampur timah dan antimon dan itu langsung kena ke cairan tulang belakang nya.”
“Mempercepat penghentian pusat sistem saraf.” Vira bergumam menambahkan. Dia memanggil perawat, menyuruh nya memanggil Rian untuk segera kemari membantu. “Bisa cariin Rian?”
“Dia di ruang operasi, kalian tau dia nggak bisa di ganggu kalau lagi kerja.” Perawat itu mendekat, mengatakan jika Rian sedang melakukan operasi dan sedang tidak bisa di ganggu. Gilang berdecak, berlari menuju telepon di meja. Menunggu panggilan nya di angkat. “Halo?”
“….”
“Berikan ke Rian.”
“….”
“Bisa lo bantu gue?”
“….”
“Pasien belum mati, dia nggak ngalamin mati otak seperti yang lo kira.”
“….”
“Peluru nya membeku, dan itu mengenai cairan tulang belakang nya.”
“….”
“Dia belum mati, dia hanya sekarat.”
“….”
“Gue tunggu di ruang operasi 4.” Gilang menutup telepon nya. Membawa pasien ke ruang operasi bersama Vira dan beberapa perawat yang ikut membantu. Sesampai nya di ruang operasi, Gilang mendekat pada Rian yang sudah mengenakan pakaian operasi nya. “Kalau pun dia cuman sekarat dia bakalan mati pas lo bedah kepala nya.” Gilang diam, mulai membersihkan tangan nya.
“Lo dengar gue kan?”
“Keluarga nya udah nandatanganin surat persetujuan operasi nya.” Gilang berbalik, memakai sarung tangan setelah me-lap tangan nya. Rian yang ada di depan nya berdecak kesal. “Lo tau bukan itu maksud gue. Dia bakalan tetap mati, lo nggak sehebat itu buat ngembaliin orang yang udah di ambang kematian.”
“Kita semua di ambang kematian, Yan.” Gilang memasuki ruang operasi, Rian yang di belakang nya hanya mengikuti, sudah tidak mau berdebat dengan Gilang lagi. Gilang mulai membuka bagian kepala nya membentuk lingkaran kecil, menyuruh Rian merendam bagian kepala nya yang terlepas dengan saline.
“Tampilkan layar pemandu.” Rian memerintah.
Gilang menggeleng. “Nggak ada waktu lagi.”
“Dia memang sudah tidak memiliki waktu lagi.” Rian berucap, menggerakkan mata nya cepat menyuruh dokter lain untuk menyiapkan tampilan layar pemandu.
“Dia bisa mati.” Bunyi beraturan dari mesin menandakan detak jantung nya mengalami penurunan.
“Kontraksi bawah jantung, pompa d**a nya.” Rian menurut, mengikuti perintah Gilang, mulai memompa d**a pasien.
“Siapkan defribillator.”
Gilang memberi krim pada permukaan paddle, menyuruh Rian untuk menyingkir dari pasien, menempelkan paddle pada pasien di posisi apeks dan sternum. “isi 200 joule.” Gilang menekan paddle ke tulang rusuk pasien melakukan pengosongan dengan menekan kedua tombol pada paddle secara bersamaan.
“Lagi.” Gilang meminta lagi setelah tidak terjadi perubahan pada layar monitor. Merasa percuma, Gilang menyerahkan defribillator pada Rian, lebih memilih memompa d**a pasien. Rian yang melihat nya mendengus, menarik pelan tangan Gilang yang masih melakukan CPR pada pasien.
“Dia masih bisa hidup.” Gilang bebal, masih memompa d**a pasien sambil sesekali memeriksa ritme denyut jantung nya. Rian masih menarik lengan Gilang, menyuruh nya untuk berhenti. “Sekarang jam 16.13.”
“Dia belum mati!”
“Ini sudah lima menit sejak lo ngelakuin defribillator, umum kan jam kematian nya!” Gilang berhenti setelah Rian berteriak pada nya. Mundur selangkah, tatapan mata nya kosong.
“Waktu kematian 16.13.” Gilang berucap lirih, berjalan pelan keluar dari ruang operasi dengan tatapan mata yang kosong. Rian masih di dalam, menutup luka di kepala pasien sebelum membereskan meja operasi.
***
Nanda masih di sana, mengenakan seragam SMA dengan tas di punggung nya. Dia melihat Gilang berjalan keluar dari ruang operasi, berjalan berlawanan arah dengan nya. Nanda mengikuti, berjalan pelan di belakang Gilang. Gilang bersandar pada tembok di belakang nya, duduk perlahan di lantai. Kaki nya tertekuk, jas dokter nya dia taruh di samping nya, wajah nya ia tenggelamkan di lipatan lengan. Nanda yang melihat nya berjalan mendekat, duduk berhadapan dengan Gilang. Menyentuh pundak Gilang pelan, Gilang mendongak, kembali tertunduk saat tau Nanda yang ada di samping nya.
“Gue bunuh dia.” Nanda berhenti mengusap pundak Gilang saat dia bergumam pelan pada nya.
“Harus nya gue bisa bertindak lebih cepat.” Nanda mendekat, duduk bersimpuh dan memeluk Gilang dari samping yang masih tertunduk dengan suara bergetar.
“Harus nya gue langsung ke UGD setelah bantu pak Imam.” Suara Gilang bergetar lirih, Nanda yang mendengar nya semakin mengeratkan pelukan nya.
Gilang mendongak, menatap Nanda dengan mata yang memerah, wajah nya berantakan dengan bekas air mata dimana mana. “Harus nya dia masih hidup.”
Gilang mendekat, menelusupkan wajah nya di leher Nanda dengan tangan yang memeluk pinggang Nanda erat. Nanda diam, sesekali mengelus punggung Gilang.
“Gue bunuh dia.”
“Dia mati di tangan gue.”
“Gue yang ngumumin waktu kematian nya.”
“Gue bahkan baru buka lapisan kulit di kepala nya.”
“Gue bunuh dia, Nan.” Gilang berbicara, Nanda terdiam.
“Gue nggak tau apa yang lo omongin. Gue cuman paham garis besar nya, dan gue bisa bilang kalau itu bukan salah lo.”
“Udah takdir dia meninggal waktu lo yang ngoperasi.” Nanda berbicara pelan, bermaksud menenangkan Gilang yang masih memeluk nya. “Jangan salahin diri lo, lo malah bermaksud nyelametin dia kan?”
“Lo udah berbaik hati berjuang di meja operasi, tuhan cuman bermaksud lain dengan nggak biarin pasien lo membuka mata nya lagi.”
“Bukan salah lo.” Gilang mulai mengatur nafas nya, dia memejamkan mata nya, ingin beristirahat sebentar. Pikiran nya sudah sedikit tenang saat Nanda terus menepuk punggung nya, belum lagi Nanda terus berbisik lirih di telinga nya, mengatakan semua nya baik baik saja
.
Vira yang tadi nya ingin menyusul Gilang setelah mendengar kabar dari Rian kini terdiam. Tidak beranjak dari tempat nya berdiri, masih menatap Nanda yang menepuk punggung Gilang pelan. Rian menyusul di belakang nya, menatap Vira dan Gilang secara bergantian.
“Ada pasien lain yang harus ditangani.” Rian menutup mata Vira dengan tangan nya, membalik tubuh Vira dan berjalan menjauhi Gilang, sesekali tangan nya menghapus air mata Vira sebelum jatuh.
***
Nanda meneguk minuman kaleng yang Gilang berikan sambil duduk, sesekali melirik Gilang berdiri di depan nya yang melakukan hal yang sama. Mata gilang masih memerah walau wajah nya sudah tidak seberantakan tadi, jas dokter sudah dia pakai dengan kartu staf di leher nya.
“Lo udah ngabarin orang tua lo?” Suara Gilang terdengar serak, Nanda hanya mengangguk menjawab nya.
“Kenapa bisa sekacau tadi?” Nanda bertanya, membiarkan Gilang duduk di samping nya. Ruang UGD kembali stabil, beberapa perawat dan dokter berjalan santai, tidak berlarian seperti siang tadi.
“Ada kecelakaan di konstruksi bangunan, kalau masalah luka tembak gue nggak tau.” Nanda mengangguk, tidak mau bertanya lebih lanjut. Kedua nya terdiam. Gilang memejamkan mata, sesekali tangan nya memijit daerah mata nya yang terasa sakit pelan, efek menangis tadi. Gilang duduk di samping Nanda dengan kepala menunduk.
“Kenapa kesini?” Gilang bertanya, Nanda yang tadi nya memperhatikan Vira yang sedang mengobati pasien kini menatap Gilang yang juga menatap nya.
“Ponsel lo mana?” Nanda balik bertanya, Gilang menyerngit. Dengan malas dia berdiri, berjalan menuju meja informasi mengambil ponsel nya yang dia titipkan disana. Gilang kembali duduk di samping Nanda, memberikan ponsel nya pada nya. Nanda menekan tombol power beberapa kali, tapi layar ponsel nya masih gelap, tidak mau menyala. “Ponsel lo mati, gue hubungin lo tadi.”
Nanda menyodorkan ponsel Gilang pada pemilik nya, Gilang mencoba menekan tombol power nya, tapi menyerah dalam dua kali percobaan dan lebih memilih menyimpan di saku kemeja nya.
“Lo bisa nunggu gue sebentar?” Nanda mengangguk saat Gilang berdiri dan berjalan meninggalkan nya.
Nanda diam, sesekali tersenyum saat Vira melambaikan tangan pada nya. Saat Vira hendak menghampiri nya, jas dokter belakang nya di tarik oleh Rian, menyuruh nya untuk segera pulang karena aturan ‘anak magang tidak boleh pulang lebih dari jam yang di tentukan’ walaupun ini masih jam lima sore.
“Ayo.” Nanda berdiri, menatap Gilang yang ada di depan nya, jas dokter nya sudah tidak dia pakai, kartu staf yang tadi nya terlihat di leher nya sekarang entah dia simpan dimana.
“Kemana?” Nanda bertanya, mensejajarkan langkah mereka saat Gilang menarik tangan nya pelan, menyuruh nya bergegas.
“Pulang… Atau mau makan dulu?” Mereka sampai di parkiran. Gilang membawa mobil hari ini, dia berangkat jam enam pagi tadi saat mendapat telepon darurat, terlalu dingin untuk mengendarai motor dan lebih memilih memakai mobil yang masih bisa berkendara lancar tanpa macet karna hari masih terlalu pagi.
“Pulang aja.” Nanda menjawab, duduk di samping kursi kemudi. Gilang duduk di samping nya setelah meremparkan ponsel nya di dasbor.
“Yakin nggak mau makan dulu?” Nanda mengggeleng, menolak ajakan makan Gilang.
“Makan di rumah aja.”
“Padahal gue yang laper loh.” Nanda tertawa mendengar gurauan Gilang.
“Lo bisa makan di rumah gue, tadi kata nya bunda mau masak banyak.”
“Wihh, berasa mau makan di rumah camer ini.” Sekarang Gilang yang tertawa, tidak memperdulikan Nanda yang menatap ke jendela dengan menahan senyuman di bibir nya.
***