Jam 8 malam, Dewa baru sampai di rumahnya setelah menghabiskan waktunya di rumah Rendra bersama Tama. Ia memakirkan mobil putihnya di garasi lalu masuk ke dalam rumah dalam keadaan wajah yang dingin dan tatapannya yang tajam. Apa yang ingin ia lakukan hari ini pada Singgih gagal karena ulah gadis bernama Cinta. Singgih juga langsung dibawa ke rumah sakit dan masuk ke UGD karena luka yang cukup parah diterimanya.
"Uhh ... anak kesayangan Mama Ina baru pulang rupanya."
Mendengar suara yang sangat ia kenali itu, Dewa langsung berhenti tepat sebelum ia menaiki anak tangga. Dewa menoleh perlahan. Saat tahu yang berdiri tak jauh darinya adalah Bastian, Dewa mencoba untuk bersikap tenang walau sebenarnya sulit rasanya.
Bastian masih bersidekap menatap Dewa penuh tatapan remeh. Beberapa detik kemudian ia tersenyum dan melangkah maju mendekat.
"Mau apa lo ke sini?" tanya Dewa.
Mendengar Dewa menanyakan itu padanya, Bastian sontak tertawa sinis. "Bukannya ini rumah gue juga? Jangan gitu lah, Wa. Kita itu kan saudara, jadi jangan selalu tatap gue dengan tatapan sinis lo itu."
"Gue nggak pernah punya saudara b******k kayak lo. Sejak awal juga gue nggak pernah merasa punya saudara kayak lo."
Bastian kembali tertawa singkat. Senyumnya hilang dan tatapannya berubah menjadi serius menatap Dewa. "Gimanapun lo anggap gue, gue tetep kakak yang sayang sama adiknya," ucapnya sambil menyentuh kedua bahu Dewa.
Tangan Dewa langsung mendorong sebelah bahu Bastian ke belakang. Dewa melirik bahunya lalu mengusap jaket hitamnya yang seolah tertempel debu karena sentuhan Bastian tadi. "Banyak bacot. Mending lo pergi, gue capek mau istirahat."
Dewa menaiki satu persatu anak tangga, namun baru sampai di anak ketiga, Dewa mendengar suara papanya yang memanggil namanya.
"Mulai malam ini, Bastian akan lebih sering menginap di sini."
Dewa langsung memutar tubuhnya dengan cepat. "Apa?" tanyanya. Berharap apa yang ia dengar barusan hanyalah salah dengar.
"Karena Papa nggak bisa ninggalin kamu lebih lama lagi, maka Papa minta Bastian untuk tinggal di sini menemani kamu."
Dewa menarik satu sudut bibirnya, menatap sang papa dengan tatapan geli dari atas tangga. "Kenapa Papa nggak usir Dewa aja sekalian? Kenapa Papa harus siksa Dewa terus-menerus begini?"
"Apa maksud kamu? Harusnya kamu terima kasih sama Papa, bagaimanapun juga Bastian itu saudara kamu."
Dewa mendengus geli. Benar-benar menggelikan sampai rasanya Dewa ingin muntah. "Saudara? Sampai detik ini dan sampai kapan pun, aku nggak pernah punya saudara kayak dia!" bentak Dewa sambil menunjuk kasar ke arah Bastian yang saat ini hanya tersenyum seolah menikmati perdebatan antara ayah dan anak di depannya.
"Jaga nada bicara kamu, Dewa!"
"Kalau Papa izinin dia tinggal di sini, maka biar aku yang pergi!" kesal Dewa yang langsung pergi begitu saja masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintunya.
Bastian yang sejak tadi diam memperhatikan, tetap mempertahankan senyum puasnya saat melihat Dewa yang menghilang masuk ke dalam kamarnya.
"Bastian, maafin Dewa, ya. Dewa memang semakin lama sudah susah sekali diatur."
"Nggak papa, Pa. Aku yang justru minta maaf karena udah bikin Papa dan Dewa berantem."
Adrian menghela napas panjang. "Tanpa ada kamu juga cara kita bicara pasti selalu seperti ini. Papa sudah tidak lagi bisa bicara dengan nada pelan dengan Dewa."
Bastian tersenyum, mengusap bahu papanya perlahan. "Papa yang sabar, ya. Aku yakin kok, kalau suatu saat Dewa pasti bisa berubah jadi lebih baik. Dan sepertinya untuk malam ini, lebih aku tidak menginap dulu di sini, Pa. Aku juga harus kasih kesempatan untuk Dewa mulai beradaptasi dengan kedatangan aku ke sini."
Adrian tersenyum menatap putranya. "Baiklah kalau begitu, kamu hati-hati di jalan, ya. Papa titip salam untuk Mama, besok Papa akan pulang ke sana."
Bastian menganggukkan kepala. "Kalau gitu aku pulang sekarang ya, Pa. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Adrian lantas menghela napas panjang begitu kedua putranya sudah sama-sama menghilang dari pandangannya. Ia memijat pelipisnya yang sakit dan memilih untuk masuk ke dalam kamar pribadinya.
☘️☘️☘️
Cinta masih menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Selimutnya sudah menutupi hingga bagian leher tubuhnya. Cinta ingin segera tertidur, tapi matanya belum mau terpejam. Kepalanya juga malah sibuk memikirkan kejadian sore tadi.
Cinta menyentuh bagian lehernya. Tangannya tiba-tiba bergetar saat mengingat bagaimana kencangnya tangan Dewa menarik dan mencengkeram kerah seragamnya hingga ia ikut merasa tercekik.
"Aku akan baik-baik saja, bukan?" lirih Cinta dalam hati.
"Aku masih bisa bersekolah dengan tenang, bukan?"
Mata tajam Dewa, tatapan laki-laki itu yang begitu dingin saat menatapnya dan juga tatapan penuh kebencian itu, Cinta masih bisa mengingatnya dengan jelas. Cinta langsung menarik selimutnya hingga menutupi seluruh kepalanya saat ia merasakan air matanya mengalir dalam senyap.
☘️☘️☘️
Cinta menghela napas lega saat ia sudah sampai di pintu masuk kelasnya. Sejak berangkat sekolah sampai ia memasuki gerbang, Cinta terus saja berpegangan pada jaket milik Vino karena ketakutannya sendiri yang selalu membayangkan Dewa akan muncul di hadapannya.
Suasana kelas yang luar biasa riuh dan beriisk membuat Cinta sedikit merasa tidak nyaman dan tidak tenang. Apalagi ketika melihat beberapa siswa berlarian membuat kepalanya merasa pusing.
"Cinta!"
Cinta menoleh dan menemukan Ajeng yang tadi memanggilnya dengan tidak bersemangat. Cinta mengangkat sebelah alisnya sebagai bentuk pertanyaan.
"Kita harus cari kursi dan meja baru untuk kamu."
Tatapan Cinta semakin mengerut bingung atas perkataan dari Ajeng.
"Meja dan kursi kamu ...." Ajeng tak jadi melanjutkan kalimatnya begitu Cinta menggeser tubuhnya dan memutuskan untuk masuk ke dalam kelas.
Bibir Cinta mulai menganga lebar, matanya membulat, menyaksikan kondisi meja dan kursi miliknya. Oli hitam yang basah, lengket, dan kental melumuri meja dan kursi belajar Cinta. Bahkan beberapa meja yang ada di dekat meja Cinta sontak menjauh agar mereka tidak ada yang ikut terkena oli.
"Saat aku dateng tadi, kondisinya udah begini. Pasti ada yang jail sama kamu, deh. Lebih baik kita laporin ini ke guru, Cinta."
Cinta menepis pelan tangan Ajeng. Tatapan Cinta mulai menatap satu-persatu teman sekelasnya yang seolah tak acuh, dan sama sekali tidak menujukkan belas kasih pada Cinta. Mereka bahkan menertawakan nasib meja dan kursi Cinta yang sama menyedihkannya dengan sang pemilik.
"Selamat pagi anak-anak!"
"Pagi, Ibu!" balas semua siswa tanpa terkecuali yang sudah kembali duduk ke kursinya masing-masing, kecuali Cinta dan Ajeng yang masih berdiri diam.
"Kalian berdua kenapa masih berdiri di sana dan tidak duduk di kursi masing-masing?"
Ajeng menoleh dan menatap Bu Siti. "Ada yang isengin meja dan kursinya Cinta pakai oli, Bu. Jadi Cinta nggak bisa duduk ataupun belajar."
"Apa? Oli?" Bu Siti langsung maju mendekat dan membulatkan matanya kaget. "Astaghfirullah! Siapa yang melakukan ini pada teman kalian?! ayo ngaku!" hardik Bu Siti dengan menatap satu-persatu wajah siswanya.
"Kalau di antara kalian tidak ada yang mau mengaku, Ibu akan laporin ini ke kepala sekolah!"
"Dari saya pertama dateng juga kondisinya udah begitu, Bu." Jelas Angga pada Bu Siti yang masih terus mengomel.
"Iya, Bu. Dari awal mejanya dia emang udah kotor kena oli begitu. Kita semua nggak ada yang tau," timpal siswa yang lain.
Bu Siti menghela napas panjang. "Cinta, maafin Ibu, ya. Sepertinya kamu harus ke bagian umum untuk minta meja dan kursi baru," ujar Bu Siti pada Cinta yang masih diam menunduk.
"Cinta ...," panggil Bu Siti sekali lagi dengan menggucang pelan bahu Cinta.
Cinta mengangkat pandangannya, menemukan Bu Siti yang menatapnya kasihan. Cinta tersenyum kecil kemudian keluar dari kelas. Cinta mengikuti saran Bu Siti yang menyuruhnya ke bagian umum untuk meminta meja dan kursi baru.
Sambil menunggu Pak Arip yang mengambilkan kebutuhannya dari gudang sekolah, Cinta menunggu dengan satu kaki yang ia mainkan maju-mundur. Dalam pikirannya, Cinta sedang pusing memikirkan siapa orang yang menjailinya seperti itu.
"Ya elah, Wa. Lo ngeremehin gue banget nih ceritanya? Bisa gue kalau emang mau naklukin cewek cakep di satu sekolah ini, mah." Ujar Rendra yang tak tanggung kepercayaan dirinya. Membuat Dewa yang melangkah di sampingnya hanya bisa mendengus geli.
Langkah ringan Dewa dan Rendra hendak berhenti kala melihat sosok gadis yang berdiri menatap mereka berdua dengan serius. Mata Rendra membulat kaget, sedangkan Dewa bersikap tak acuh, seolah tak ada apa pun yang terjadi. Dewa memilih melanjutkan langkahnya, sedangkan Rendra dengan ragu mengikuti Dewa dari belakang.
"Ini Neng, meja dan kursinya. Bapak bantu bawa masuk ke kelas, ya?"
Mata Dewa dan Rendra sempat menangkap Pak Arip yang menarik keluar meja dan kursi untuk Cinta, namun berikutnya keduanya berpura-pura tak peduli.
Setelah mengangguk singkat pada Pak Arip, Cinta kembali menatap ke depan, ke arah Dewa dan Rendra yang semakin mendekat ke arahnya. Begitu Dewa melangkah tepat di sampingnya, saat itulah Cinta sadar bibir Dewa mengeluarkan sebuah senyum miring. Cinta seakan tersadar jika yang melakukan tindakan konyol pada meja dan kursinya adalah Dewa.
*****