___________________
Setelah seharian berkutat dengan buku tebal serta rasa kantuk yang menyiksa akibat ulah dosen botak yang berbicara seperti berdongeng. Aku memutus kan untuk singgah di kedai es krim dekat kampus. Bukan untuk memesan es krim tapi hanya memesan air mineral serta duduk sambil melamun. Sebenarnya aku ingin sekali makan es krim ketika suasana hati ku sedang kacau seperti ini, tapi apalah daya uang ku sama sekali tidak cukup.
Dikala seperti ini aku merasa bahwa aku sangat butuh pekerjaan setidak nya untuk jaga-jaga kalau-kalau aku harus angkat kaki dari rumah itu. Mengingat akan ucapan Tante Lisa mengenai Abel yang akan segera pulang membuat ku yakin memikirkan masalah pekerjaan.
Pekerjaan sangat aku butuh kan untuk menyambung kehidupan selanjut nya setelah nanti nya aku berpisah dengan Eza. Tidak ada perjanjian antara aku dan Tante Lisa mengenai apa pun karena memang aku sudah di beli seutuh nya oleh Tante Lisa, meminta uang padanya pun rasanya tidak bisa karena beliau sudah mengeluarkan banyak uang untuk ini semua.
"Hey melamun saja."
Aku menatap Ayu yang baru saja datang dengan membawa semangkuk ukuran sedang Es krim yang Ayu letakan di atas meja. Ayu duduk di salah satu kursi yang berada di hadapan ku, senyuman ceria tidak pernah lepas dari wajah nya.
"Kamu mau An?" Tawar Ayu yang ku jawab dengan gelengan kepala.
"Ay."
"Hm.. Iya." Gumam Ayu seraya menyuapkan sesendok es krim kedalam mulut nya.
Aku kembali diam memperhatikan Ayu yang dengan tenang nya menyuapi sendok demi sendok es krim kedalam mulut nya. Aku tidak tau harus memulai semua nya dari mana, ingin bercerita pada Ayu namun aku masih ragu, ragu karena mungkin ini semua sangat memalukan menceritakan nasib ku yang di jual oleh kakak kandung sendiri kepada keluarga yang hanya memanfaatkan ku untuk kepentingan mereka.
"Iya Raina. Kenapa?" Tanya Ayu.
Ayu seperti bisa menebak apa yang tengah aku rasakan saat ini. Wajah Ayu menghadap ke arah ku dengan kedua mata nya menatap ku dengan tatapan keingintahuan nya. Di letakan nya sendok es krim yang sejak tadi ia pegang di atas meja begitu saja.
"An.." Panggil nya seraya mengusap punggung tangan ku yang ada di atas meja.
Aku menghela nafas gusar, melihat Ayu dengan tatapan ragu. Aku ragu ingin bercerita namun di lain sisi aku sangat ingin berbagi, mencari solusi untuk masalah ku ini. Aku tidak bisa menanggung nya sendirian tanpa ada yang membantu atau pun memberikan dukungan kepada ku.
"Ada masalah, An?" Tanya Ayu.
"Tenang An. Aku nggak bakal bocorin rahasia kamu kita kan sahabat. Kalau mau cerita, cerita saja An aku akan dengerin ko tapi kalau ngga juga ngga apa- apa." Lanjut nya lagi
Aku berfikir sejenak mungkin kalau aku berbagi masalah ini dengan Ayu ku rasa beban ku akan sedikit berkurang. Aku mulai menceritakannya semuanya dari awal hingga akhir, mengenai nasib ku yang dijual oleh Kakak ku dan sekarang aku harus menikah dengan anak Tante Lisa dan menjadi cadangan di usia ku yang muda.
Ayu menatap nanar ke arah ku wajah nya yang semula ceria kini tidak ada lagi. Ayu seperti tersentuh mendengar cerita ku, aku bisa melihat ada guratan kesedihan yang sama ku rasakan saat ini di wajah Ayu.
"Ay kamu kenapa?" Tanyaku dengan suara terbata-bata menahan tangis.
Ayu bangkit dari duduk nya menarik tubuh ku lantas memeluk tubuh ku erat. Ku usap-usap pelan bahu Ayu mencoba menenangkan Ayu yang masih memeluk ku erat-erat.
"An sabar. An aku salut sama kamu, di usia mu yang masih muda kamu bisa tabah menghadapi semuanya, An maaf aku nggak bisa bantu banyak." lirih Ayu suaranya terbata-bata menahan isakkan yang keluar dari mulut nya.
Aku mengapit ke dua pipi Ayu menghapus semua air matanya. Aku tau Ayu ikut sedih atas nasib ku yang kurang baik ini.
"Jagan menangis, Ay. Lihat aku, Aku nggak apa-apa ko kamu nggak usah khawatir." Ujar ku berusaha membuat Ayu tenang.
"Kamu yakin?"
"Yakin. Aku baik-baik saja Ay." Sahut ku yakin.
Ayu mengangguk-anggukan kepala nya seraya menghapus air matanya kemudian Ayu kembali duduk dengan senyuman ceria nya.
"An apa kamu butuh informasi dari aku? Mungkin mengenai keluarga Handoyo. Aku sedikit tahu tentang mereka karena perusahaan Ayah ku bekerjasama dengan perusahan keluarga itu." Jelas Ayu penuh semangat, aku hanya mengangguk saja mendengarkan Ayu yang mulai bercerita.
"Mahreza Putra Handoyo pria muda berkarisma degan berjuta-juta persona, usia nya 28 tahun. Di usia yang masih muda dia sudah menjadi CEO besar yang terkenal di asia bahkan perusahaannya sudah melingkup ke ..........." Jelas Ayu panjang lebar.
Aku hanya mangut-mangut saja mendengarkan penjelasan Ayu mengenai keluarga itu, entah lah aku sama sekali tidak tertarik mengenai seluk beluk keluarga itu.
"Aku butuh kerjaan Ay. Mungkin kerja paruh waktu" Potong ku.
"Apa?"
"Pekerjaan Ayu. Aku butuh itu." Kata ku memperjelas.
"Ada An tapi hanya sebagai pelayan. Kamu mau ngga?"
"Aku mau." Jawab ku yakin.
"Kamu serius? Ini cuma cafe kecil An. Biasa lah tongkrongan anak SMA. letak nya dekat sekolah dan itu cafe milik aku An." Jelas Ayu yang langsung aku setujui.
Aku menatap Ayu dengan penuh rasa takjub, pasalnya di usia dia yang masih muda ia sudah mempunyai cafe, darah pebisnis keluarga nya benar-benar mengalir di dalam darah Ayu.
"Kamu hebat Ay sudah punya usaha sendiri " Pujiku.
"Bisa aja kamu. Oh yah kerjanya dari jam 12 siang sampe jam 7 malam. Soalnya cafe aku hanya untuk kalangan anak SMA jadi paling juga jam segitu udah tutup."Kata Ayu sambil melahap kembali es krim nya.
"Apa sekarang aku bisa mulai bekerja?" Tanya ku penuh semangat.
"Bisa."
__
AUTHOR
"Kakak Ipar kemana Bang?" Tanya Alina pada Eza di sela-sela makan malam.
Eza hanya mengerdikkan bahu nya saja, ia seakan acuh dengan pertanyaan adik nya Alina. Bagi Eza kemana Raina pergi itu bukan urusan nya.
"Ih Bang. Kak Ana itu istri Abang masa istri nggak ikut makan nggak di cariin." Sewot Alina seraya mencubit lengan Eza.
"Aw..sakit."
Eza memekik kaget karena ulah Alina yang seenak hati mencubit lengan nya hanya karena pertanyaan konyol mengenai Raina. Eza tidak perduli dengan Raina karena bagi nya Raina hanya sebatas cadangan saja.
"Untuk apa perduli dengan nya, Alina. Dia hanya cadangan untuk menggantikan Abel." Ucap Eza kesal.
Lisa, Handoyo dan Alina berbarengan menatap ke arah Eza yang bisa berbicara seperti itu. Selama ini Eza bukan lah tipikal orang yang mudah mengatakan sesuatu dengan enteng nya.
"Za. Tidak baik seperti itu." Tegur Handoyo pada putra nya --- Eza.
Handoyo kurang suka mendengar Raina si panggil dengan sebutan semacam itu. Handoyo tau Lisa istri nya yang membeli Raina di salah satu wisma yang menyediakan wanita untuk di beli, di sewa dan di tiduri -- salah satu nya Raina.
Sejak awal Handoyo kurang setuju dengan saran Lisa yang meminta Eza menikahi Raina sebagai ganti Abel. Namun bukan Lisa namanya kalau saran dia tidak bisa di terima maka ia akan melakukan apa pun agar saran nya bisa di setujui. Handoyo menyetujui nya dengan syarat tidak memutus kebahagiaan wanita yang nanti nya akan menjadi pengganti Abel dan tidak memaksakan bila nanti nya Eza lebih memilih wanita itu dari pada Abel.
"Dia istri mu, Za. Sudah sewajarnya kamu menghawatirkan nya." Ujar Handoyo mencoba menasihati Putra kesayangan nya.
"Dengar tuh Bang. Coba Abang bayangin kalau Alina di posisi kak Ana pasti Alina udah bunuh diri.
Tapi kak Ana dia menurut aja, kadang Alina ingin marah pada kehidupan kenapa gadis sepolos dan selugu kakak Ipar nasib nya bisa seburuk itu. Kalau ngga ada kakak Ipar mungkin keluarga kita sudah tidak punya muka akibat ulah si nenek lampir Label sialan itu." ketus Alina.
"Papah setuju sama kamu Lin. Kalau nggak ada Raina pasti keluarga kita sudah malu dan terlebih lagi kita sudah tidak punya muka untuk berhadapan dengan rekan bisnis." Ujar Handoyo mendukung penuh putri bungsu nya.
"Mama setuju mengenai Raina yang mau menjadi pengganti Abel. Namun tetap saja dia harus pergi bila Abel datang, lagi pula Abel masih berusaha menyelesaikan skripsi nya dan Mama yakin dia akan segera pulang." Jelas Lisa.
Semua orang memilih untuk diam, Handoyo menyudahi makan nya lantas pergi ke ruang tengah. Alina pun begitu meletakan sendok nya dan masuk ke dalam kamar, hanya ada Lisa dan Eza yang masih duduk tanpa ada percakapan lagi.
Sementara itu Raina melirik jam yang ada di tangannya jam 9 malam. Di hari pertama ia kerja ia justru di hadiahi lembur karena cafe masih ramai sampai jam 7 malam alhasil ia dan pegawai lainya harus membereskan cafe hinga jam 8 sementara perjalanan dari cafe ke rumah membutuhkan waktu 1 jam karena jalanan macet parah.
Raina menghembuskan nafas leleh nya ketika ia sudah turun dari angkutan umun dan berjalan memasuki area rumah keluarga Handoyo. Ada rasa gelisah yang menyelimuti perasaan Raina ketika ia masuk kedalam rumah. Raina takut ada yang akan memarahi nya karena ia pulang terlambat.
"Non. Raina" Panggil Bu Darmi.
Raina memutar tubuh melihat Bu Darmi yang sedang menyapu lantai ruang makan. Raina tersenyum ke arah Bu Darmi lantas mendekat dan menyalami tangan Bu Darmi.
"Non sudah makan? Tumben pulang telat, Non" tanya Bu Darmi lembut.
Rian menggelengkan kepala nya karena memang benar sejak siang Raina belum makan sama sekali karena sibuk bekerja. Rina tidak bisa telat datang ke tempat kerja di hari pertamanya apa lagi bila ia terlalu banyak beristirahat Raina merasa tidak enak dengan pegawai lainnnya.
"Iya Bu. Banyak tugas tadi," Jawab Raina.
"Bu Raina mau mandi, tapi mandinya di kamar yang dulu Ana tempati jadi Ana minta tolong yah sama ibu tolong ambilkan baju Ana di dalam kamar kak Eza."
Bu Darmi mengangguk Paham, mengerti maksud dari Raina istri tuan muda nya. Bu Darmi sangat menyayangi Raina seperti anak nya sendiri, Raina gadis yang baik ramah dan sopan santun nya sangat Bu Darmi sukai. Hanya saja Bu Darmi kurang mengerti dengan nasib Raina yang kurang beruntung, Bu Darmi hanya tau Raina di jual kakak nya lalu di beli oleh Lisa-- majikan nya.
Bu Darmi sudah ke kamar Eza berniat untuk mengambilkan keperluan yang Raina minta. Namun Eza tidak mengijinkan Bu Darmi untuk mengambil barang apa pun milik Raina.
Bu Darmi memutuskan kembali ke kamar yang sempat Raina tempati berniat untuk memberitahukan semua nya pada Raina.
"Maaf Non tuan Muda bilang non di suruh ambil pakaiannya sendiri." Jelas Bu Darmi yang berbicara dari balik pintu kamar Raina.
Raina diam mendengarkan semua penjelasan Bu Darmi. Rina merasa kesal sendiri dengan sikap Eza yang seenak hati tidak mengijinkan Bu Darmi untuk mengambilkan pakaian nya.
"Aduh gimana yah Bu. Raina masih malu apa lagi Raina hanya memakai handuk" Ujar Raina frustasi.
Raina benar-benar kesal pada Eza, ia hanya meminta pakaian nya yang ada di lemari kamar Eza kenapa mesti Rina sendiri yang mengambil. Raina tidak mungkin keluar kamar hanya memakai handuk saja apa lagi harus masuk ke dalam kamar Eza dengan penampilan seperti ini.
"Baiklah Bu. Terimakasih." Putus Raina.
Raina menyerah, Raina tidak mungkin dalam kondisi seperti ini hingga pagi. Dengan langkah berat Raina memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar besar yang di penuhi oleh warna hitam dan silver itu. Kedua kaki Raina ia hentak-hentakan di lantai sebelum masuk kedalam kamar Eza.
Raina mengetuk pintu berulang kali namun sama sekali tidak ada jawaban dari Eza. Di putar nya knop pintu yang dengan mudah nya terbuka karema memang kamar Eza tidak terkunci, kedua mata Raina melirik ke kanan dan kiri melihat Eza yang duduk dengan tenang nya di atas ranjang dengan pandangan yang masih terkunci di layar laptop nya.
Raina masuk dengan aman tanpa melihat tatapan Eza. Raina berharap Eza tidak akan menanyakan apa pun, di buka nya lemari lantas mengambil pakaian tidur yang akan Raina kenakan.
"Em. Dari mana?" tanya Eza dingin.
Raina membalikan tubuh nya yang semula masih menghadap ke arah lemari. Membalikan tubuh nya ke arah Eza dengan kedua tangan memegang kuat-kuat pakaian nya.
"Dari kampus." jawab Raina singkat.
Raina memilih untuk segera masuk kedalam kamar mandi menggunakan pakaian nya. Raina tidak mau terlalu lama berdebat dengan Eza yang nanti nya hanya akan membuat dirinya merasa tidak sanggup berada di rumah ini.
Rina membuka pintu kamar mandi setelah ia selesai menggunakan pakaian nya lengkap. Rasanya tenang bila ia sudah memakai pakaian lengkap seperti ini, berbeda dengan tadi yang perasaan nya merasa was-was sendiri.
"Berhenti jadi pelayan rendahan seperti itu, Raina!"
Rina terjingkat kaget mendengar suara Eza yang benar-benar membuat tubuh nya meremang karena suara Eza yang tegas dan penuh penekanan. Raina tidak tau bagaimana Eza bisa mengetahui bahwa dirinya menjadi seorang pelayan.
"Pelayan?" Gumam Raina merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar.
Eza bangkit dari duduk nya menatap ke arah Raina dengan tatapan yang sulit di artikan. Eza tidak suka melihat Raina bekerja sebagai pelayan sepulang kuliah.
"Berhenti!" Tegas Eza dengan penuh penekanan.
"Nggak!" Tolak Raina.
"Saya suami kamu, Raina. Dengarkan dan turuti perintah saya."
"Saya tau semua apa yang kamu lakukan di luaran sana!"