PART 7 AMARA DAN RAVIN

1026 Kata
Saat ini, Amara sudah dibuat panik, pasalnya sedari tadi wanita itu tak henti-hentinya berlari ke kamar mandi. Rasa mual diperutnya membuat ia tersiksa. Mira mengetuk pintu kamarnya dan masuk, ia membawa segelas teh hangat untuknya. "Masih sakit perutnya?" tanya Mira meletakkan teh hangat tersebut di atas nakas, ia duduk di sebelah ranjang Amara. Tanpa menjawab Amara mengangguk lemas. Lalu, ia meraih teh hangat yang sempat ibunya bawa itu. "Mau diperiksa ke dokter?" Untung saja ia tak tersedak oleh minumannya. Amara menggeleng kuat dan menenggakkan tubuhnya. "Nggak usah, Bund. Amara cuman nggak enak badan aja, bentar lagi juga sembuh," Amara menolak ajakan Mira, jika ia pergi ke dokter, bisa-bisa ia ketahuan oleh Ibunya bahwa dirinya tengah mengandung. Mira mengangguk. "Yaudah kamu istirahat ya," Amara berbaring. Mira menyelimuti tubuh Amara dan mengecup keningnya lembut. "Bunda mau keluar dulu," Amara mengangguk dan memejamkan matanya. Meskipun saat ini ia tengah diserang oleh kepanikan, tapi ia segera menepisnya, ia berusaha memikirkan cara agar menghilangkan bayi yang ia kandung. Sepertinya esok hari ia harus menemui kekasihnya, dan meminta pertanggung jawaban darinya. *** Keesokan harinya, Amara bersiap-siap untuk pergi ke sekolahnya dan tak sabar menemui kekasihnya. Saat melewati meja makan, Rico menghentikan langkahnya. "Mara, sarapan dulu," Amara membalik, ia tersenyum dan mendekat Ayahnya. "Amara lupa, Ayah kalo Mara belum ngerjain tugas, Mara berangkat dulu, Ya, Ayah " Tanpa menunggu balasan dari Rico, wanita yang tengah mengandung itu bergegas meninggalkan keluarganya yang tengah melakukan sarapan pagi. Rico dibuat kebingungan oleh sikap anaknya, lalu ia menatap istirahat, Mira. "Akhir-akhir ini sikap Mara aneh," Mira yang mengerti pun lantas berucap tanpa melihat kearah suaminya. Ravendra hanya diam, laki-laki itu masih asik dengan makanannya. Lalu, ia berdiri seraya meraih tas nya. Tanpa sepatah kata, laki-laki itu berlenggang pergi. "Reven, makanan kamu belum habis!" teriak Rico kesal, anaknya yang satu itu sering sekali pergi tanpa berpamitan. Sejak kejadian mereka menjauhi Grizella, Ravendra jarang sekali mengobrol dengannya, hanya seputar mengenai sekolahnya pun selalu laki-laki itu mengabaikannya. Sedangkan di lain tempat. Amara terus berlari menuju salah satu tempat yang sering ia kunjungi bersama temannya dan juga pacarnya. Kala ia sampai di depan para temannya dan juga pacarnya, ia terdiam, nafasnya terengah-engah. "Kenapa, Ra?" tanya salah satu perempuan yang duduk disamping pacarnya. "Gue mau ngomong sama, Ravin," Ravin menaikan satu alisnya, laki-laki yang tengah merokok itu lantas berdiri dan menghampiri Amara. "Why? Kangen, hm?" bisik Raven seraya menyelipkan helaian rambut Amara ke belakang telinganya. Amara menepis tangan Ravin, lalu menatapnya tajam. "Ikut gue," Amara terdahulu berjalan menuju salah satu kamar, dan diikuti oleh Ravin. "Masih pagi, Ra. Lo mau kita main?" tanya Ravin. Laki-laki itu melemparkan tubuhnya keatas ranjang. "Gue mau ngomong serius," "Gue hamil. Dan itu anak Lo," sontak saja Ravin yang mendengarnya seketika terduduk dan menatap Amara terkejut. "Nggak mungkin! Lo becanda?" Amara terkekeh, ia berjalan mendekati Ravin. "Gue nggak mungkin becanda di situasi seperti ini, gue serius, Ravin!" Seketika laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya, ia belum siap menerima anak yang di kandung oleh Amara. Apalagi diposisi mereka masih sama-sama sekolah. "Lo harus tanggung jawab," Amara duduk di sampingnya, tangannya terangkat untuk mengelus pundak Ravin. Namun sebelum itu, Ravin menolaknya dengan menjauhkan dirinya dari Amara. "Gue nggak bisa Nerima anak yang Lo kandung," sebelumnya Amara yakin bahwa pacarnya akan bertanggung jawab atas kehamilannya. Namun jawaban Ravin sangat diluar nalar. "Ini anak Lo, Lo harus tanggung jawab," Ravin terus menggeleng. Laki-laki itu berdiri dan menatap tajam Amara. "Lo sendiri yang nyerahin tubuh Lo ke gue. Inget Amara, kalo bukan Lo yang murahan, gue nggak akan ngelakuinnya!" sentakan dari Ravin membuat Amara terkejut. Lantas wanita itu berdiri dan meraih tangan Ravin, namun sialnya selalu ditepis oleh laki-laki itu. "Lo harus tanggung jawab, Ravin! Ini semua gara-gara Lo, kalo bukan karna gue sayang sama Lo, gue nggak akan pernah nyerahin tubuh gue begitu aja, Lo nggak inget perjuangan gue dapetin Lo? Gue rela murahan di hadapan Lo," air mata wanita itu mengalir, tak kuasa ia menahannya. Ia menatap Ravin dengan memohon, agar laki-laki itu bertanggung jawab atas perbuatannya. Ia tak mau melahirkan seorang anak tanpa ayah. "Gugurin kandungan Lo," Amara melotot tak percaya, bisa-bisanya ayah dari janin yang ia kandung berkata seperti itu? Dimana hati nuraninya? "Lo g****k! Lo nyuruh gue gugurin kandungan ini? Sedangkan janin yang gue kandungan anak Lo! Lo bener-bener laki-laki b******k!" Setelah mengatakan itu, Amara berlari keluar meninggalkan Ravin yang diam tak bergeming. Ravin menoleh kearah pintu, ia tersenyum nanar, dan menjatuhkan dirinya diatas kasur. "gue nggak g****k, Lo yang murahan," gumamnya. *** Grizella menguap lebar, ia melirik kearah kedua tangannya yang masih terikat. "Lepasin gue," gumam gadis itu tak kuasa menahan rasa kantuk yang menyerangnya. Semalaman ia tak bisa tertidur alhasil ia begadang, sampai saat ini juga belum tidur. Ia melirik kearah Reno dan anteknya, sepertinya para lelaki itu tengah tertidur. Pikirnya. Lantas gadis itu memikirkan ide yang membuat ia harus segera melarikan diri dari ruangan yang pengap ini. Pandangannya tak sengaja melirik kearah Gama, yang malah ikut tertidur. Ia mendengus dan memukul pantas Gama menggunakan kakinya. "Bangun s****n," ucapnya pelan. Gama terbangun, ia sedikit mengerjapkan kedua matanya, dan melirik kearah Grizella. "Cepetan, Lo cari ide biar kita bisa keluar dari sini," Gama mengangguk setuju, ia berpikir lama membuat Grizella mendengus kesal. Lalu tak lama, gadis itu menemukan dibelakangnya terdapat berbagai alat besi, seperti tang, paku dan temannya. Ia tersenyum lebar, dan meraih alat-alat besi tersebut dengan kesusahan. Gama yang melihatnya lantas terbengong dan menyaksikan apa yang akan dilakukan oleh Grizella. Dan, dapat! Grizella mengembangkan senyumnya, ia melirik kearah kakinya yang tidak memakai alas apapun, lalu kakinya terangkat dan terselip salah satu besi yang bisa untuk menyelamatkan hidupnya, kakinya ia arahkan kearah tangan kanannya. Sangat lama kain yang membuat tangannya terikat sobek, meskipun begitu, ia tetap berhasil merobek kain yang mengikat tangannya. Hal itu membuat Gama terkagum-kagum. Lantas, Grizella beralih kepada tangan kirinya, kini ia berusaha melepaskan menggunakan tangan kanannya. Dan, berhasil! Gadis itu meregangkan otot-ototnya. Lalu melirik kearah Gama yang hanya terdiam dan tersenyum kearahnya. Ia menghela nafasnya, sebelum akhirnya ia membuka ikatan tangan Gama. "Lo kalo punya nyali letoy gak usah cari masalah," Grizella menasehati Gama, hal itu membuat laki-laki yang berada dibawahnya tersenyum lebar. "Gue aslinya kuat," Grizella hanya berdecak dan mengembalikan alat tersebut ketempatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN