Kenapa?
Kenapa dia begini?
Gila kerja maraton begitu apa ga capek?
Gw sadar waktu Papa makin kesini makin kesita.
Bahkan Papa harus bikin gym di kantornya karena ga sempet pergi keluar gym. Dia jadi harus mandi di kantor.
Gw pernah intip di tangga pas dia pulang.
Dengan lemas dia merebahkan badannya di sofa.
Mama bakal dateng bawain dia teh yang bisa sedikit ngebangkitin tenaganya.
Entah chamomille, earl grey, english breakfast, atau ceylon tea dicampur madu.
Papa selalu suka minum teh.
Mungkin dari dia menurun ke gw.
"Zac...kamu kebanyakan kerja...ambil cuti deh", bujuk Mama yang duduk disebelah Papa. Papa tersenyum tipis, menganggap itu lucu, "Sarah...", panggil Papa.
"Kamu tau kan aku ga bisa berhenti?"
Kaya orang ketagihan kerja.
Apa dia gatau itu bisa berpengaruh ke kesehatannya?
Buat beberapa waktu semua kembali normal.
Ngga deh
Gw jadi sering adu mulut sama Mama.
Kalo ke Papa rasanya adu mulut ke tembok, dia bakal diem sambil senyum.
Gw sendiri gapaham penyebabnya. Tapi temper gw akhir-akhir ini naik. Gw jadi gampeng marah. Gampang kesel. Mama Papa buka mulut udah bikin gw mau ngegas.
Gw sekolah
Main sama Alex sama Wilson
"Ahhh the Beast is coming out...", ledek Alex
"Yeah, dude. That's creepy", tambah Wilson
Yes gw ceritain ke mereka semuanya.
Tapi yang suka ngerusak hidup orang sih engga.
Mereka orang yang bisa paham sama gw. Dan mereka ga nyangkal gw atau apapun. Mereka orang-orang yang supportif.
"Gw dulu selalu mikir bapak lu orang yah... Wow? But now I hear about him from his son, he's terrible", komentar Alex setuju.
"Yeah, he's killing himself", tambah Wilson lagi.
"I KNOW!", seru gw.
"Kerja maraton itu ga sehat dan dia kaya. 'Kamu tau kan aku ga bisa berhenti?'. It pissed me off!", lanjut gw emosi.
Mereka manggut-manggut.
"Kita semua punya masalah sama orang tua kan?", kata Alex, melirik Wilson.
"Kaya weird mom, ignorant father, and divorce"
Buat beberapa detik, gw dan Wilson melongo.
Tapi kata-kata dia bener. Kita punya masalah keluarga, makanya kita deket. Hahh gw seneng punya sahabat gini
Tapi gataunya mereka bakal dipisah dari gw
Seperti biasa, sepulang sekolah gw minum s**u pisang dari korea di dapur. Setelah menenggak habis sebotol dan dibuang, gw pergi ke ruang tamu.
Rupanya ada Papa Mama duduk di sofa.
Papa tumben ada di rumah?
"Ray! Kamu ganti baju dulu ya, kita mau ngomong sama kamu", seru Mama riang. Disebelahnya, ada Papa yang seperti biasa tersenyum.
Di atas meja kaca itu gw bisa liat beberapa kertas. Paling kerjaan Papa.
Gw naik untuk mengganti baju dan turun lagi.
"Duduk", suruh Mama.
Nurut, gw duduk di karpet, menghadap mereka.
Mama menatap Papa ragu. Tapi Papa hanya diam melirik kembali.
"Begini Ray...", kata Mama
"Kita berencana pindahin kamu ngekos di suatu daerah"
Hah?
______________________________________
Dunia serasa jauh dari gw saat Mama mengatakan itu. Semua terlihat buram.
Apa Papa yang ngerencanain ini semua?
Tapi kenapa?
"Ray? Ray?", panggil Mama.
Suara lembutnya menyadarkan gw.
Gw mengerjapkan mata kemudian menatap Mama.
"Kita mau kamu pindah ke desa jauh dari perkotaan. Sifat kamu belakangan ini...bikin kita khawatir", kata Mama perlahan.
"Apa? Kenapa?", tanya gw. Gw mulai ngerasa kesel, gw frustasi karena gw ga paham.
"Ray, turunin nada kamu", perintah Papa tenang.
Gw sempat ngelirik Papa.
Senyumnya masih ada.
Astaga orang ini bener-bener mengerikan.
Gw terdiam.
"Kamu akhir-akhir ini mulai ngebangkang, ngebentak, susah diomongin dan pergaulan kamu mulai dipertanyakan. Kita melihat Wilson dan terutama Alex ini sebagai salah satu faktor perubahan kamu", lanjut Mama.
Gw mengernyitkan dahi bingung
"Apa salah mereka?", tanya gw kesel.
Mama menghela nafas, "Mereka temen yang profokatif. Itu gabaik, Ray. Kita berpikir buat mindahin kamu ke lingkungan baru. Ngga itu doang, kita berpikir agar kamu bisa mandiri", pintanya.
"M-Maksudnya aku pindah? Aku keluar dari rumah ini? Keluar perkotaan?! Tempat yang kumuh?! Berapa banyak lagi yang bakal diambil?!", seru gw marah, nyaris memukul meja.
"Ray", tegur Papa.
"Kenapa tiba-tiba sih?! Kenapa ga bahas dulu sama aku?!", lanjut gw ga mengindahkan Papa.
"Ray...", tegur Papa sedikit lebih keras.
"Kenapa kalian seenaknya aja milih jalan keluar?!", seru gw menggebrak meja.
"RAYLEIGHT VANE!", bentak Papa dengan suara yang lantang. Suaranya menggema ke seisi rumah.
Suara gw terasa ditelan, ga bisa keluar.
Papa menatap gw dengan tatapan dingin, tapi ga semengerikan waktu itu.
Rasanya seperti...
Merendahkan
"Kamu udah kelewatan dan baru aja kamu nunjukin kalo kamu memang seperti yang kita sebut tadi. Papa ga suka sifat itu Ray", katanya serius dicampur marah. Lalu ia melanjutkan,
"Kita bermaksud ngirim kamu buat tinggal di desa, kamu bakal Papa kasih 5 juta setiap bulan-"
"APA?!"
"JANGAN potong Papa! 5 juta itu bakal kamu pake buat ngebiayain sekolah kamu, peralatan yang kamu perluin, biaya asrama, kehidupan sehari-hari, sekaligus uang jajan kamu"
Gw menganga ga bisa ngeluarin suara dan Papa keliatan serius banget.
"W-What?! Apa hubungannya sifat 'jelek' aku sama uang?!", bantah gw mengutip 'uang'.
"Di kehidupan kapitalis gini uang adalah kuasa. Kamu populer, disukai orang dan, dituruti nyaris siapapun. Papa benci ini tapi ditambah status Papa, kamu makin dihormatin orang-orang. Seakan-akan kamu raja atau semacam penguasa di mata mereka. Papa liat kamu terlalu nikmatin jadi orang kaya sampe kamu jadi kurang ajar begini.
Kamu lahir di keluarga kaya, tapi pertanyaannya, apa kamu tau cara jadi kaya?", tanya Papa rendah.
Gw sendiri ga bisa omong apa-apa.
Tapi hal yang mendadak gini-
Wah ini parah banget!
"Makanya Papa Mama kirim kamu ke daerah dimana uang bukan segalanya, engga kaya di kota gini", lanjut Papa kesal.
"Ray. Sifat kamu mengkhawatirkan kita. Kita mau kamu kenal lebih banyak orang dari berbagai kalangan. Kamu harus kenal berbagai macam orang, kenal perbedaan, kenal penderitaan dan kebahagiaan orang lain juga", tambah Mama dengan lembut, berharap gw paham.
"Setiap nyawa itu berharga Ray. Gunakan seluruh kemampuanmu buat bantu mereka yang membutuhkan...", lanjutnya kemudian.
Kalimat itu membangkitkan ingatan gw.
Saat gw berumur 4 tahun, kita jalan-jalan di pinggir danau di salah satu taman di Amerika. Pas kita disana lagi musim salju.
"Ma. Itu?", tanya gw menghentikan Mama dan menunjuk ke anak bebek di pinggir danau.
Anak bebek itu keliatan susah dan takut turun ke air, padahal induknya dan kawanannya sudah berenang.
Mama menengok dan mengangkat bebek itu ke tangannya, kemudian berjongkok dan perlahan memasukan bebek itu ke air.
Anak bebek itu langsung berenang mengejar induknya.
"Ray, inget ya. Setiap nyawa itu berharga, dan mereka pasti punya kesusahan. Makanya, kamu harus bisa ngerahin seluruh kemampuan kamu buat bantu mereka", kata Mama menarik gw ke dekapannya.
Gw terus memandang sekumpulan bebek itu berenang. Kemudian nengok ke Papa, yang berjarak sedikit lebih jauh dari kita.
Wajahnya muram dan pandangannya tidak terfokus.
Gw yakin kalimat itu adalah kalimat yang dia ga bisa paham.
"Kalian bilang setiap nyawa itu berharga, tapi kenapa kalian buang aku?!", amuk gw berdiri.
"Ray kita ga buang kamu. Kita cuma mau-", Mama berusaha berkata dengan lembut. Tapi gw ga mau dengerin.
"Sama aja kan?! Itu cuma alasan lain-"
"4 juta", potong Papa tiba-tiba.
Papa menatap gw dengan serius.
"Pa?! 5 juta aja su-"
"3 juta!", potongnya lagi menunjuk gw.
"Semakin banyak kamu komplain semakin dikurangin uang itu. Kembali ke kamar kamu, mulai packing, atau angkanya bakal terus nurun", ancammya sambil menunjuk ke kamar.
Ini pertama kalinya Papa ngancem gw.
Gw ga bisa percaya ini.
Papa makin mengerikan, udah bisa ngancem, dan ngasih hukuman.
Mama juga. Dia ga bantu gw lagi sekarang, dia ngebela Papa.
Sumpah gw merasa kaya dibuang.
Dan ini semua pasti rencana Papa