Luka

1161 Kata
Kita pergi naik kereta ekonomi Ya, mereka udah urus semuanya jadi kita tinggal pergi. Artinya, MEREKA RENCANAIN SEMUA DARI AWAL. F@#$ Gw memandang keluar jendela, awalnya gedung-gedung, tapi kelamaan jadi pepohonan atau persawahan. Gila ini pasti jauh banget. Gw menoleh ke Papa Mama. Mama terlelap di bahu Papa, dan Papa liat HPnya lagi KERJA TEROOOS "Papa kerja mulu?", tanya gw mancing keheningan, sekalian nyindir dia. "Hm? Maaf", katanya mengembalikan handphonenya ke kantong celananya, kemudian menatap gw. "Jadi simplenya...aku harus selamat sebulan dengan uang 3 juta?", tanya gw memelankan suara. Papa mengangguk. Gw menghela nafas kesal. Udah tinggal di tempat kecil, duit juga dikit. Makin parah aja. Kemudian Papa menopang dagu dengan tangan kanannya ke jendela. Menatap pemandangan luar. Gw salfok ke tangannya Di telapak tangan itu sampai ke beberapa bagian lengannya ada luka bakar, menyembul dari pergelangan lengan bajunya. Itu gara-gara gw. Saat gw berumur 3 tahun, Mama masak di dapur, gw juga ada di sana main pancing-pancingan ikan. Tapi pancingan itu tergolong panjang buat anak kecil seumur gw. "Papa pulang!", seru Papa dari pintu dapur. "Papaa!", jerit gw seneng. Gw pengen datengin Papa, tapi kail pancingan gw nyangkut. Gw gatau kalo kail itu nyangkut di panci bubur, jadi dengan kenaifan anak kecil, gw malah tarik pancingan itu sekuat tenaga, membuat panci itu tertarik dan gw terjatuh ke lantai. Papa yang tadi ada di pintu dapur langsung lari dan mendorong panci panas itu dengan tangan kosongnya. Setelah mendorong panci kembali ke kompor, Papa berlutut dan ngecek gw. "Kamu gapapa Ray? Ga ada bubur yang kena kamu kan? Apa ada yang sakit? Ada yang panas?", tanya Papa menghujani gw dengan pertanyaan, wajahnya penuh rasa khawatir dan takut. Gw melongo, tadi rasanya cepet banget, gw gatau apa-apa "Eiy gapapa kok", jawab gw sambil senyum-senyum polos. Papa menghembuskan nafas lega dan menarik gw, bermaksud memeluk. Gerakannya terhenti saat melihat tangan kanannya sendiri. Tapi tangan kirinya udah mendekap gw ke dadanya. Mama menghampiri kita, matanya membulat kaget dan ketakutan. "Z-Zac, tanganmu...", Penasaran, gw menengok dan melihat tangan Papa. Tangan itu dilumuri bubur yang melepuh, kepulan asapnya masih keliatan. Gw tau itu sakit banget. Tau itu salah gw, gw mulai menangis. "HUAAAA! MAAPIN EIY!", tangis gw ngejerit. Tapi Papa malah tertawa, dia mengusap punggung gw dengan tangan satu lagi. "Apa salah Ray? Udahhh Papa gapapa kok", katanya menenangkan. Pastilah itu ninggalin luka, apalagi itu ga ditanganin langsung. Pas Papa di perban pun, gw nangis terus di gendongan Mama. Tapi Papa berhasil ngakalin gw. Setelah perban, dia bakal minta gw hias dengan spidol lalu menciumnya. Biar sembuh. Hal itu menjadi hal yang gw tunggu sampai-sampai Papa ga perlu perban lagi. "Makasih ya Ray! Papa udah sembuh!", senyumnya waktu itu. Tapi... Sekarang setiap liat, gw merasa bersalah. d**a gw langsung sesek. Tapi gw jarang liat sekarang-sekarang. Bukan dengan alasan Papa jarang pulang doang, Papa juga selalu pake baju lengan panjang, menutupinya. Gw buang muka pas Papa nengok. Papa menaikan alis, melepas pangkuan tangannya dan melihat ke lukanya sendiri. Dia tersenyum. "What a troublemaker", katanya ke gw, kemudian dia tertawa kecil. 'Pemberhentian terakhir,' Gw berdiri untuk menarik koper dan tas. Sementara Papa mencoba membangunkan Mama. Setelah dari kereta, kita naik mobil buat ke desa. Jalan aspal perlahan jadi jalan berbatu, mengguncang gw yang ada di mobil. Setelah itu, gw menyeret koper ke gang. Biar ga ketinggalan, Mama menarik gw dengan tangan lembutnya. Jalan mulai menurun, disini gw megangin Mama biar ga kepeleset atau jatoh. Setelah beberapa lama, kita sampai di gedung 2 lantai, bangunan ini jelas udah tua diliat dari cat yang mengelupas dan warna kusamnya. Perlantai ada 5 kosan yang berjejer, dan rupanya gw tinggal di kos-an lantai 2. Papa berhenti di kamar nomor 9, kemudian mengetuknya. "Permisi!", panggil Papa. "Iya! Sebentarrr", sahut seseorang dari dalam, suara laki-laki. Pintu dibuka, Pemuda yang kayaknya seumur gue, berbadan tinggi dan besar, kontras dengan wajahnya yang terbilang imut bagi pria. Rambutnya di side-cute tampak modern. "Masuk, masuk, maaf kalau sempit", katanya sopan juga memberi jalan. Bener kata dia, tempat ini sempit. Ada 2 ruang, yang sekarang gw dudukin ini 'Ruang tamu'-nya, setelah itu ada 'kamar tidur'-nya, dan di paling belakang ada dapur sama kamar mandi. Kita duduk di karpet berwarna biru donker dengan pola garis. Rada sempit karena penuh perabotan, tapi cukup buat bertiga. Anak tadi datang lagi membawa teh manis. "Maaf kita cuma punya ini", katanya menyuguhi kami. "Ah gapapa, gausah repot-repot", Mama melambaikan tangannya rendah. Gw meminum teh itu. Teh jasmine, Ga terlalu manis dan pas "Bentar aku ambilin cemilan dulu", katanya beranjak lagi, tapi Papa menahan pergelangan tangannya dengan cepat. "Gausah repot-repooot! Kita bentar lagi juga pulang!", "Kalo gitu aku ambilin makanan buat di jalan!", lawannya. "Ngga! Ngga! Kamu gausah repot-repot!", bales Papa ngeyel. Anak itu akhirnya nyerah dan duduk. "Namanya Ray, dia yang kita omongin", kata Mama menepuk bahu gw, memperkenalkan. "Halo, nama gw Jimmy. Panggil aja Jim", senyumnya ke gw ramah. Gw menangguk sambil memaksakan senyum. "Oya, satu lagi mana?", tanya Mama mengintip ke ruangan lain. "Ohh dia lagi keluar sebentar. Mau aku telpon biar cepet pulang?", tanya Jimmy hendak mengambil handphonenya "Gausah, tolong sampein salam aja ya", tolak Mama cepat-cepat sambil tersenyum. Setelah beristirahat dan berbincang sebentar, Papa dan Mama pamit. "Jangan bandel ya", kata Mama memeluk gw. Saat kita melepas pelukan, mata Mama sembab. Gw memeluk Mama lagi lebih erat dan Mama menangis di pelukan gw. Gw melepas pelukan Mama dan menghadap Papa. Papa hanya mendengus, kemudian mengusap kepala gw. "Buktiin ke Papa kalo kamu bisa ngatur diri sendiri ya?", lanjutnya dengan senyuman. Tapi pas gw menatap ke matanya, mata itu keliatan kosong, seakan-akan ia memberi senyuman palsu. Setelah itu Papa dan Mama pamit dan pulang, meninggalkan gw dan Jimmy sendiri di kosan. Awalnya hening "Jadi Ray...umh...lu bisa taro baju lu disini", kata Jimmy membuka lemari, kemudian menunjuk ke rak tengah dalam lemari itu. "Ahh kayanya gw jahat suruh lu beresin baju sekarang, lu istirahat aja dulu", tawar Jimmy menunjuk ruang sebelah. "Ngga, gw beresin biar cepet selesai", bales gw. Gw membereskan baju-baju gw dan menyusunnya berdasar warna, jenisnya, dan seberapa sering gw bakal pake baju itu. "Woow lu rapih juga", puji Jimmy dibelakang gw. "Heh, thanks", dengus gw. Kemudian kita ke kamar. Awalnya gw kira kita bakal tidur dempetan ber-3, tapi rupanya ada kasur tingkat dan kasur tarik di bawahnya. "Lu tidur di sini", tunjuk Jimmy ke kasur bawah tingkat. "Dan gw tidur disini", kata Jimmy merebahkan badannya di kasur lantai. "Gw ga boleh di atas?", tanya gw menunjuk. "Emh...ga boleh", jawab Jimmy singkat. "Serius ga boleh?", tanya gw lagi penasaran. "Ga!", katanya membungkam gw. Pintu depan di buka Masuklah remaja yang sedikit lebih pendek dari gw. Rambutnya rada gondrong dengan poni yang menutupi alis, matanya terkesan malas. Jalannya pincang. "Ey, V! Ini Ray!", kata Jimmy begitu 'V' lewat. V menatap gw sekilas, mengangguk, dan masuk ke dapur dengan belanjaan di kedua tangannya. Aish...kayanya dia beneran ga ramah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN