Maika menarik napasnya berulang kali. Gadis itu mengeletuk es batu yang tadi dia ambil dari kulkas. Nara baru saja mengabari kalau mereka sudah berangkat menuju rumahnya. Hal tersebut kontan membuat Maika meraba dadanya, dia bisa merasakan kalau jantungnya berdetak sangat cepat. Rasanya tidak bisa dijelaskan pakai kata-kata. Antara senang dan gugup melebur jadi satu. Yaampun, ini Rafan seriusan mau melamarnya? Bukan mimpi seperti waktu itu kan?
“Teteh, disuruh turun sama Mama.” Tiba-tiba saja Jihan membuka pintu kamarnya.
“Udah sampe, Dek?” Jihan mengangguk, lalu menarik tangan Maika.
Dengan perasaan campur aduk Maika keluar kamarnya untuk menemui Rafan dan keluarganya. Saat sampai di ruang tamu, nampak Rafan duduk bersisian dengan Papanya—Raeden. Lalu Nara duduk bersisian dengan Bundanya—Rana. Maika langsung menyalami Bundanya Nara lalu duduk di sebelah Mamanya—Nala. Gadis itu menundukkan kepalanya. Rasanya jantung dia seperti akan meledak. Gak sanggup mengangkat kepalanya.
“Alhamdulillah sudah kumpul semua. Kita mulai saja, ya. Bismillaahirahman nirrahim. Assalamu’alaikum warahmatullaah wabarakatuh,” buka Papanya Nara.
“Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.”
“Kedatangan kami ke sini, untuk membahas pernikahan antara putra kami dengan Maika. Sebelum kita membahas lebih jauh, dari masing-masing calon. Apa ada syarat yang ingin diajukan?”
Mereka semua menatap Rafan dan Maika secara bergantian. Rafan dan Maika mengangguk dengan kompak.
“Dari Maika, syarat apa yang ingin kamu ajukkan pada Rafan?”
Maika menarik napasnya. Gadis itu mengucap bismillah lalu mulai menyuarakan apa yang jadi keinginannya.
“Maika mau mengajukan syarat, Maika tidak sanggup kalau harus dipoligami,” ucap Maika tegas.
Semua yang ada di sana terperangah, merasa tidak menyangka kalau pemikiran Maika akan sampai ke sana. Mereka pikir, Maika akan memikirkan hal-hal yang dipikirkan anak seusianya. Misalnya seperti masih diberikan kebebasan untuk bergaul mengikuti usianya yang masih muda.
“Baik, Rafan bagaimana?” Rafan menatap Maika yang tertunduk, hanya sebentar. Sebab cowok itu langsung memutuskan tatapannya dan beristigfar dalam hati.
“Insyaallah, saya siap menyanggupi syarat dari mempelai wanita.”
Nara, Mamanya Maika dan Bundanya saling melempar senyum. Awal yang bagus untuk hubungan mereka.
“Alhamdulillah, kalau untuk mahar bagaimana?” tanya Papanya Nara.
“Saya memudahkan untuk mahar, seikhlas dan semampunya pihak pria saja, tapi saya kembalikan pada putri saya. Mahar ini tujuannya untuk menghalalkan hubungan mereka nantinya. Jadi bagaimana Maika saja, ” jawab Papanya Maika.
"Maika?"
"Seikhlasnya Kak Rafan saja," lirih Maika.
Hati Rafan bergemuruh mendengarnya. Di saat Perempuan lain ingin diberikan mahar yang fantastis bahkan ada yang seharga 1 rumah. Gadis ini bahkan tidak menyebutkan nominal apapun.
“Kalau dari Rafan. Apa ada syarat yang ingin kamu ajukkan pada Maika?” tanya Papanya Nara. Rafan menarik napasnya.
“Saya ingin mengajukan syarat, nantinya posisi ibu saya jauh lebih tinggi dari posisi istri saya. Jadi saya harap dia tidak melarang saya untuk berbakti kepada ibu saya,” jawaban Rafan membuat pipi Maika bersemu.
“Bagaimana Maika?”
“Tentu saja saya tidak keberatan. Memang seharusnya begitu, saya akan sangat mendukung nantinya. Bagaimanapun, kewajiban anak laki-laki untuk berbakti pada ibu maupun ayahnya tak berbatas. Artinya sampai akhir khayat,” jawab Maika.
Memang benar, jika nantinya kewajiban berbaktinya beralih pada suaminya nanti. Maka hal itu tidak berlaku untuk seorang suami, mereka punya kewajiban berbakti pada kedua orang tua mereka hingga akhir hayat.
Beruntungnya Maika mendapatkan ibu mertua yang baik. Tidak seperti di film-film, yang galak dan culas. Setelah selesai membahas syarat yang masing-masing calon mempelai ajukan. Saat ini mereka membahas tanggal pernikahan yang tepat. Lalu berlanjut membahas persiapan pernikahan lainnya. Termasuk susunan acara dan berapa banyak tamu yang akan diundang.
“Tanggalnya sudah pasti tanggal 19 September?” tanya Papanya Maika.
“Iya, saya rasa itu tanggal yang pas. Lebih cepat lebih baik.” Mendengar ucapan Papanya. Nara tersenyum lebar. Senangnya dalam hati. Bakal dapat Iphone kamera tiga.
“Kalau untuk tamunya. Perempuan dan laki-laki dipisah atau disatukan?” tanya Papanya Maika.
“Dipisah,”jawab Rafan dan Maika bersamaan. Keduanya sama-sama salah tingkah. Maika menundukkan kepalanya, dan Rafan berdeham memalingkan pandangannya.
Hal itu mengundang dehaman dari Mamanya Maika dan Bundanya Nara.
“ Oke, untuk tamunya kita pisah. Semuanya sudah clear. Nara sudah catat?” Nara menganggukkan kepalanya. Gadis itu menyerahkan catatan yang sudah dia buat pada Papanya.
Catatan itu berisi syarat yang masing-masing mempelai ajukan, lalu tanggal pernikahan, tempat pernikahan akan diselenggarakan, banyaknya tamu yang diundang, sistem tamu perempuan dan laki-laki yang dipisah, juga ustadz yang akan diundang untuk mengisi khutbah nikah. Untuk masalah dekorasi, catering dan riasan menjadi urusan para wanita. Yang artinya, ada Mamanya Maika dan Bundanya Nara yang mengambil alih.Lalu untuk souvenir, jadi urusan Nara dan Maika.
Rafan? Laki-laki itu punya tugas sendiri. Dia sedang mempersiapkan sesuatu untuk istrinya nanti.
“Berhubung udah gak ada lagi yang mau dibahas, sekarang waktunya kita makan. Mari, Bang,” ajak Papanya Maika. Mereka semua berjalan menuju ruang makan.
“Wah banyak juga masakannya, ada banyak dessert juga,”ucap bundanya Nara ketika melihat banyak makanan yang tersaji.
Mamanya Maika tersenyum, lalu menatap penuh arti pada bundanya Nara.
“Ih ada puding mangga juga,”kata Nara dengan mata berbinar.
“Kamu masak sediri, Nal?” tanya Bundanya Nara.
Mamanya Maika menggelengkan kepalanya. “Enggak, aku dibantu Maika mbak. Dia yang buat dessert, “ jawab Mama Maika apa adanya.
“Masyaallaah, nanti ajarin Bunda lah buat kue sus sama onde-onde.” Maika tersenyum.
“Siap tante,”ucap Maika ramah.
Melihat Rafan yang berekspresi biasa saja, membuat Nara gatal untuk menggoda kakaknya. Dia ingin sekali membuat kericuhan. Misalnya dengan memanas-manasi kakaknya. Tapi dia urungkan, nanti takutnya HP Iphonenya tidak jadi dibelikan. Jadi cari aman saja.
“Apa?” sinis Rafan ketika melihat Nara tersenyum penuh arti ke arahnya. Laki-laki itu sebenarnya masih tidak ikhlas karena harus mengeluarkan uang tabungannya yang ada dicelengan harimaunya demi membelikkan Nara HP Iphone. Mengingat uang gajinya selama 2 tahun ini dia tabung, dan tidak mungkin dia membongkar tabungan masa depannya. Jadi dia terpaksa memecahkan celengannya.
Untung Rafan suka mencari pekerjaan tambahan, seperti membantu pekerjaan papanya di bidang IT. Setidaknya dia jadi punya pemasukkan tambahan yang kalau disisihkan lumayan juga.
“Jih cuman senyum doang masa gak boleh, senyum ‘kan ibadah.” Rafan hanya mendengkus.
Acara makan malam berjalan hingga pukul 9 lewat. Rafan dan keluarganya pun memutuskan untuk pulang karena hari sudah semakin larut.
“Nanti kita omongin di grup lagi aja ya, Nal,” ucap bundanya Nara pada Mama Maika.
“Siap mbak. Oh iya ini ada sedikit makanan,” balas Mama Maika dengan wajah ramah.
“Masyaallah, jazaakillaahu khayr ya, Nal. Kami pamit, Assalamu’alaikum.”
“Wa jazaakillaahu khayr, Mbak. Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.”
***