Renaldi memandangi wajah Wawan yang belum juga siuman, terbaring lemah dengan alat-alat medis yang terpasang pada tubuh kurusnya. Wajah pucat, bibir kering, dan tubuh yang makin tipis. Renaldi tidak sadar kalau selama ini Wawan mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya. Jarang datang menjenguk atau pun, menelepon adiknya itu untuk menanyakan kabar. Benar-benar menghilang, bagai ditelan bumi. Sibuk mengurus bisnis dan berbagai macam hal, namun adiknya sendiri dilepehkan tanpa pengawasan. Ia kira Wawan akan tegar menghadapi cara kedua orangtuanya yang membesarkan mereka dengan cara yang tidak biasa. Tapi, ternyata Wawanlah yang paling rapuh selama ini sampai memilih mau mengakhiri hidup. “Cepat bangun, betah aja kamu tiduran di ranjang.” Renaldi tersenyum samar, mengobrol dengan adiknya

