Barang Bukti

1568 Kata
Bukan karena cuma nasi dengan lauk tempe dan sayur saja yang membuat Risma tidak memiliki selera makan. Ia hanya terlalu banyak pikiran dan suasana hati tidak karuan. Sehingga seandainya menu sarapan di sel tahanan adalah makanan favoritnya pun, ia tetap tidak akan berselera menyantapnya. Yanti melirik lauk punya Risma. Biasanya ia menyerobot lauk punya tahanan lain. Mulai pagi ini, ia tidak berani melakukannya, karena takut berurusan lagi dengan Risma. Risma tahu Yanti melirik lauknya. Ia menatap preman terminal itu. "Kamu mau?" Buru-buru Yanti menggeleng. Wajahnya memerah karena ketahuan melirik lauk Risma. Risma menyodorkan piring kepada Yanti. "Nggak papa, ambilah kalau kamu mau!" Yanti kembali menggeleng. Ia takut itu hanya pancingan saja. Risma melirik dua tahanan lain yang duduk berdekatan. Seorang perempuan setengah baya baru saja menghabiskan makanannya tanpa menyisakan sebutir nasi pun. Sementara di sebelahnya, seorang perempuan remaja tampak memandangi piringnya saja tanpa menyentuh sedikit pun sejak diberi jatah sarapan. "Kenapa nggak kamu makan?" tanya Risma kepada perempuan remaja. Ia menebak anak itu masih berusia di bawah dua puluh tahun. "Nama kamu siapa?" Perempuan remaja itu menoleh Risma dengan sorot takut. Ia sudah menyaksikan sendiri dua kali Risma menghajar Yanti. Ia juga masih terngiang ucapan Risma yang mengaku masuk tahanan karena kasus kematian empat orang. Sungguh ia merasa ngeri mendengarnya. Dengan membawa piring, Risma mendekati perempuan remaja tersebut. "Aku juga nggak berselera makan, tapi aku punya ide bagus." Perempuan remaja beringsut, menjauhi Risma. Wajahnya pucat, ketakutan. "Nggak usah takut," ujar Risma. "Aku nggak akan mencekikmu hanya gara-gara kamu tidak mau menyebutkan namamu. Hehehe!" "Ni-nian!" ucap perempuan remaja terbata. Ia melirik takut pada Risma. "Nama kamu Nian?" Risma memastikan. Perempuan remaja bernama Nian mengangguk. "Nama yang unik," ujar Risma sambil tersenyum. Ia tahu Nian ketakutan. "Ayo kita balapan makan. Yang kalah harus mijitin yang menang. Bagaimana?" Mendengar itu, Nian langsung menyantap nasinya dengan lahap. Ia memakannya seperti orang kelaparan, hingga pipinya belepotan. Ia tidak mau kalah balapan karena jika kalah ia harus memijat Risma. Berdekatan dengan Risma saja sudah membuatnya ketakutan setengah mati, apalagi jika nanti harus menyentuh badan Risma. Risma tidak tahu kenapa ia menjadi berselera makan melihat Nian menyantap makanannya dengan lahap. Maka ia menyuapkan nasi ke mulutnya sedikit demi sedikit. Piring Nian sudah kosong ketika Risma baru makan lima suapan. Ia merasa lega karena tidak harus memijat Risma. "Kamu menang!" teriak Risma riang. Ada kepuasan tersendiri dalam hatinya setelah berhasil membuat orang lain berselera makan. Ia pun merasa senang karena selera makannya mulai membaik. "Kalau begitu nanti aku pijitin kamu!" Nian tersedak air minum. "Uuhhukk!" Ia mengelapi air yang tumpah pada baju dan lantai. Risma memungut satu butir nasi pada pipi Nian. Sikapnya itu justru membuat jantung Nian serasa mau copot. "Jangan takut!" Risma menepuk bahu Nian pelan. "Sekarang kita temen. Atau anggap saja aku sebagai kakakmu." Meskipun Risma bersikap baik, namun rasa takut Nian belum hilang. Ia beringsut, semakin menjauhi Risma. Risma sadar, Nian masih dikuasai ketakutan. Maka ia memutuskan untuk segera menghabiskan jatah sarapannya kemudian kembali ke pojok, tempat favoritnya. Risma melirik perempuan setengah baya yang belum pernah ia lihat berbicara sepatah kata pun, sejak ia mendekam di sini. "Nama ibu siapa?" tanya Risma kepada perempuan setengah baya yang duduk tidak jauh dari Nian. "Siti, Siti Badriyah!" jawabnya dengan mimik datar. Risma mengerjap. "Wah, namanya mirip dengan penyanyi dangdut. Hehehe!" Siti tersenyum samar. "Sudah berapa hari ibu di sini?" tanya Risma basa-basi. "Sebelas hari," jawab Siti. "Boleh tahu, kasusnya apa?" Risma penasaran. Siti berhijab dan tampak pendiam. Maka itu heran kenapa ibu-ibu itu sampai ditahan. Siti menunduk. "Penipuan!" Risma tersentak, tidak mempercayainya. "Serius, Bu?" Sepasang mata Siti sembab. Saat ia berkedip, air matanya mengalir, membasahi pipi. Tidak lama kemudian ia terisak. "Maaf, saya nggak bermaksud...." Risma menyesal telah bertanya. "Nggak papa." Siti menyeka air matanya. "Saya memang khilaf, membawa kabur uang arisan. Ia kembali terisak. Suasana ruang tahanan menjadi hening. Risma masih tidak enak hati telah meyebabkan Siti menangis. Sementara Yanti yang biasa beringas kini hanya bisa diam. Risma memandang Nian yang tampak lebih tenang dari sebelumnya. Nian menunduk tidak berani membalas pandangan Risma. "Kalau kamu kasus apa?" tanya Risma pada Nian. Setelahnya ia menyesal, khawatir Nian akan menangis seperti Siti. Kekhawatiran Risma tidak terjadi. Nian tersenyum pedih sambil melirik segan kepada Risma, meskipun sudah tidak setakut tadi. "Aku kena fitnah." "Fitnah?" Nian mengangguk. "Fitnah kenapa?" Nian menunduk. "Ponsel bosku hilang." Risma menjadi bingung karena penjelasan Nian hanya sepotong-sepotong. "Lalu apa kaitannya denganmu?" "Ponsel itu ada di dalam tasku." Nian menunduk semakin dalam. Ia tampak geram. "Kamu mengambilnya enggak?" Nian menggeleng kuat-kuat. "Di kantor kamu ada CCTV?" Nian menggeleng. "Di rumah." Risma semakin bingung. "Maksudnya kamu kerja di dalam rumah bos kamu?" Nian mengangguk. "Sebagai apa?" "Pembantu." "Asisten rumah tangga maksudnya?" Nian kembali mengangguk. "Istri bosnya cemburu," ujar Siti bantu menjelaskan. "Lalu Nian difitnah agar suaminya mau memecatnya. Kemaren Nian menceritakannya sama ibu." Sekarang Risma mulai paham duduk permasalahannya. Ia memandangi Nian. Gadis itu memang cantik dan berbadan bagus. Menurutnya wajar kalau bosnya menyukai gadis itu. "Tapi beneran kamu nggak mengambilnya?" Risma memastikan. "Enggak, aku nggak mengambilnya." Nian menjawab tegas. Risma mempercayai pengakuan Nian. Ia pun bersimpati padanya. "Kamu punya pengacara?" Nian menatap Risma bingung sekaligus pedih. Orang miskin sepertinya jelas tidak akan mampu membayar pengacara. "Kalau begitu nanti aku carikan pengacara!" ucap Risma. "Siang ini pengacaraku akan datang. Kalau kamu mau, biar nanti aku bilang padanya." Wajah Nian seketika semringah antara bahagia dan rasa tidak percaya. Namun itu hanya berlangsung sebentar karena tiba-tiba wajahnya sedih. "Kamu mau kan?" tanya Risma memastikan. "Tapi aku nggak punya uang," keluh Nian. "Tenang aja!" ujar Risma meyakinkan. "Biar aku yang bayar!" Wajah Nian kembali cerah. Matanya berkaca-kaca. "Mbak serius?" "Aku nggak pernah main-main dengan ucapanku!" Risma menegaskan agar Nian percaya. Serta merta Nian menangis tanpa suara. Ia sangat terharu. Tanpa diduga ia beringsut, mendekati Risma. Ia menarik tangan Risma lalu menciumnya. "Terima kasih, Mbak, terima kasih." Risma segera menarik tangannya. Ia memeluk Nian, ikut terharu. Bantuan itu baginya hal kecil, tetapi sangat berarti bagi Nian. "Kamu sudah berapa hari di sini?" tanya Risma sambil melepaskan pelukannya. Nian mengusap air mata pada pipinya. "Lima hari, Mbak." "Sabar ya?" hibur Risma. "Kasusku lebih berat, jadi jangan lagi bersedih. Oke?" Nian mengangguk bahagia. *** Arya sudah bersiap untuk berangkat ke kantor polisi. Ia harus menjalani pemeriksaan karena namanya disebut Risma. Ia memang tidak mengenal ataupun pernah bertemu dengan Risma, hanya saja ia yakin tersangka itu tidak bersalah. Keyakinan Arya bukan tanpa alasan. Adanya Faizin di tempat kejadian perkara kasus tewasnya empat orang, membuatnya memiliki keyakinan bahwa Faizinlah pelakunya. Ia sadar Faizin sudah mati, tapi menurutnya keadilan harus ditegakkan. Dalam hati Arya mengakui, alasan utama dirinya bersemangat untuk memenuhi panggilan polisi adalah karena ingin membuktikan bahwa Faizin berbahaya semasa hidupnya. Betapa selama belasan tahun terakhir ini peringatan kepada keluarganya agar menjauhi Faizin tidak diindahkan. Kini, ia ingin keluarganya sadar, bahwa mereka salah besar telah mengabaikan peringatannya. Cukup Nando saja yang menjadi korban kekejian Faizin, begitu tekadnya dalam hati. Setelah nanti terbukti bahwa Faizin adalah psikopat dan nyata-nyata sebagai pelaku kasus di vila, maka ia akan merasa tenang dalam menikmati sisa hidupnya. "Bapak sudah siap?" tanya asisten pribadi. Arya mengangguk. Sang asisten mendorong tuannya keluar kamar. Sampai di ruang tengah, ia melihat tas plastik yang semalam dibawa Math masih teronggok di atas meja. "Kenapa tas itu belum dibuang?" tanya Arya kepada asisten pribadinya. "Pak Math tadi malam menelepon, katanya biarkan tas plastiknya ada di situ. Tidak boleh ada yang menyentuhnya, karena mau beliau ambil kembali," jawab asisten pribadi. "Kalau akhirnya mau diambil lagi, kenapa semalam dibawa pulang?" gerutu Arya. "Pak Math bilang, semalan setelah tas plastik itu dibawa pulang, polisi menanyakannya, karena itu adalah barang bukti." Arya mengerjap paham. Tiba-tiba ia penasaran pada isi tas itu. "Bawa ke sini tas itu!" Asisten pribadi segera mengambil tas itu lalu menyerahkannya pada Arya. Arya meremas tas plastik ditangannya dengan perasaan pedih. Tanpa harus membukanya, ia sudah bisa menebak isinya baju dan celana yang dikenakan Nando saat terjadi tragedi itu. Namun ada sesuatu yang menarik hatinya. Jari-jarinya merasakan ada benda lain selain pakaian Nando. "Kamu bukalah!" suruhnya kepada sang asisten. Asisten pribadi menerima tas itu ragu-ragu. Begitu membukanya, bau anyir langsung menyengat hidungnya. Perutnya langsung mual, namun demi menjalankan tuannya, mau tidak mau ia membukanya. "Ambil benda padat yang ada di dalamnya!" suruh Arya. Sambil menahan napas, asisten merogoh isi tas dan mengambil benda padat seperti yang dimaksudkan tuannya. Itu adalah spy camera Pak Jenggot yang dikantongi Nando. "Ini, Pak!" Asisten menyerahkan spy camera kepada Arya. Arya memperhatikan dengan seksama benda tersebut. Ia tahu fungsinya karena pernah memilikinya. "Tolong simpan benda ini ke dalam lemari saya di kamar. Jangan bilang kepada siapa pun kalau saya mengambilnya!" Ia menyerahkannya kepada asistennya. Asisten mengangguk. "Baik, Pak!" Ia menutup kembali tas kresek dan meletakannya di tempat semula. Selanjutnya ia bergegas ke kamar tuannya untuk menyimpan spy camera ke dalam lemari. Saat sedang menunggu asistennya kembali dari kamar, Arya mendapatkan panggilan telepon dari Math. "Ada apa, Math?" "Opa, tas plastik biru yang aku letakkan di atas meja ruang tengah masih ada?" tanya Math cemas. "Masih, kenapa?" Arya balik bertanya. "Tas itu ternyata barang bukti. Polisi menanyakannya." Arya mengeluh dalam hati karena ia paling terakhir diberitahu. "Tolong amankan, Opa. Nanti sore aku akan pulang bersama salah satu petugas dari kepolisian." "Kenapa kamu baru bilang?" tegur Arya. "Kamu bahkan lebih dulu memberitahukannya kepada orang lain ketimbang opa kamu sendiri!" "Maaf, semalam aku berusaha menelepon opa tapi sibuk." Arya menjadi maklum dan berhenti kesal karena semalam ia memang menelepon seseorang cukup lama. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN