Memberikan Keterangan

1530 Kata
Berkall-kali Arya melirik arloji. Sudah lima belas menit ia menunggu dipanggil untuk diperiksa penyidik. Ia akui dirinya memang datang lebih cepat setengah jam dari yang dijadwalkan. "Ambilkan air minum!" suruh Arya kepada asisten. Sang asisten sigap. Ia mengambil air mineral kemasan botol dari dalam tas lalu menyerahkannya kepada Arya. Arya meneguk sedikit air minumnya. Ia menutup kembali tutup botolnya lalu menyerahkannya kepada sang asisten. Sayup-sayup Arya mendengar nama Risma disebut. Ia menoleh kepada dua orang yang tampak sedang ngobrol tidak jauh darinya. Dua orang itu adalah Zulkifli dan rekan setimnya, Mark. Arya memasang telinga baik-baik, penasaran dengan percakapan mereka. "Jadi nanti kamu saja yang menemui Risma ya? Aku tunggu di sini aja!" ujar Zulkifli pada Mark. Mark terkekeh meledek. "Bukannya ini kesempatan kamu biar makin deket sama Risma ya?" Zulkifli menggeleng pelan. "Risma tidak nyaman kalau aku berada di dekatnya." "Lalu kamu akan menyerah begitu saja?" gugat Mark. "Situasinya enggak tepat. Aku mengkhawatirkan kondisi psikis Risma. Ia membutuhkan kenyamanan. Lagi pula aku juga sudah terikat perjanjian dengan Pak Satria." "Perjanjian?" Mark penasaran. Zulkifli mendengus. "Aku nggak boleh mencampuradukan urusan perjodohan dengan pembelaan hukum Risma." Zulkifli mendesah panjang. "Ya memang kita biasanya profesional kan?" Mark bingung. "Lalu apa yang salah kalau kamu nenemui Risma. Toh, kamu juga nggak akan membahas selain kasus kan?" "Iya, tapi Risma tidak memahami itu!" keluh Zulkifli. "Berat juga ya kasus ini. Hehehe?" ledek Mark. Zulkifli melengos ke samping, ke arah di mana Arya dan asistennya sedang duduk tidak jauh dari mereka. Kepergok sedang memperhatikan kedua pengacara itu, Arya buru-buru memalingkan perhatiannya ke tempat lain. Namun ia punya ide. Ia memberi gestur pada asisten pribadinya untuk membawanya kepada dua orang itu. Asisten mendorong kursi roda Arya menuju kedua orang pengacara itu. "Selamat pagi!" sapa Arya kepada Zulkifli dan Mark. Zulkifli dan Mark serempak menoleh dan menjawab. "Selamat pagi!" "Maaf mengganggu." Arya melempar senyum. "Kalau boleh tahu, apa bapak-bapak ini pengacara?" Zulkifli mengerjap, mencoba mengingat sesuatu, siapa tahu ia mengenal lelaki renta di depannya. Namun ia merasa belum pernah bertemu dengan lelaki itu sebelumnya. "Iya benar," jawab Mark. "Mohon maaf, ada apa ya?" Wajah Arya seketika cerah. "Maaf, bukannya ingin tahu urusan orang. Apa bapak yang menangani kasus di vila?" Mark mengernyit. Arya buru-buru menyodorkan tangan. "Saya Arya, datang ke sini karena dipanggil untuk dimintai keterangan atas kasus vila." "Oh?" Mark buru-buru tersenyum. Ia menjabat tangan Arya. "Saya Mark, salah satu penasehat hukum tersangka." Zulkifli ikut bersalaman dengan Arya. "Saya Zulkifli, satu tim dengan Mark." Arya tersenyum senang. "Kebetulan kalau begitu. Saya juga bersaksi untuk meringankan tersangka." "Luar biasa!" puji Zulkifli. "Bapak hebat, saya sangat respek kepada Pak Arya." Arya tersenyum dikulum. "Saya hanya mematuhi prosedur hukum." Mark penasaran. "Maaf, kalau boleh tahu kenapa Pak Arya akan dimintai keterangan?" Arya mengedikkan bahu. "Saya juga belum tahu, tapi saya menduga itu karena nama saya disebut tersangka." "Apa bapak ada hubungannya dengan vila?" tanya Mark. Arya menggeleng. "Enggak ada, bahkan saya tidak tahu di mana vila itu." Zulkifli dan Mark saling tatap. "Nanti kalau sudah dimintai keterangan, kita baru tahu." Arya berujar. Ia merasa belum waktunya menjelaskan hal yang sebenarnya. "Iya, Pak, terima kasih atas kesediaan Pak Arya meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan keterangan atas kasus yang sedang dihadapi klien kami." Zulkifli mengangguk sebagai bentuk penghargaan. "Semoga keterangan saya nanti akan meringankan tersangka," ucap Arya. "Aamiin!" ucap Zulkifli. "Boleh saya minta kartu nama bapak-bapak?" Arya menatap Zulkifli dan Mark secara bergantian. "Barangkali nanti kita bisa bekerjasama." "Dengan senang hati!" Zulkifli mengambil kartu nama dari dalam tasnya, kemudian memberikannya kepada Arya. "Terima kasih!" Arya memasukkan kartu nama ke dalam saku kemejanya. Zulkifli mengangguk. "Sama-sama, Pak Arya." "Kalau begitu saya permisi, mau mempersiapkan diri." Arya melirik arloji pada pergelangan tangannya. "Sebentar lagi mungkin saya akan dipanggil." "Senang bertemu dengan Anda, Pak Arya!' Zulkifli bersalaman dengan Arya. Mark menyusul bersalaman. *** "Selamat pagi menjelang siang, Pak Arya. Perkenalkan saya Faisal." Faisal bersalaman dengan Arya. "Apakah Anda dalam keadaan sehat dan siap memberikan keterangan?" "Pagi, Pak Faisal," balas Arya. "Saya sehat dan siap memberikan keterangan." "Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Pak Arya yang berkenan hadir." Faisal tersenyum ramah kepada Arya. "Ini sudah kewajiban saya sebagai warga negara." Arya diplomatis. "Bisa kita mulai sekarang, Pak Arya?" Faisal memastikan. "Silakan, Pak Faisal." "Baik." Faisal menatap layar komputer selama hampir satu menit. Selepasnya ia menatap Arya. "Kami memanggil bapak karena nama bapak disebut tersangka yang bernama Risma Devita. Apakah bapak mengenalnya?" "Tidak," jawab Arya. Faisal mengangguk-angguk. Ia sudah menduganya. "Saudari Risma memberikan keterangan bahwa ia mendengar cerita dari Saudara Nando dan korban bernama Desi, bahwa Pak Arya pernah memberikan pernyataan kepada Nando kalau korban bernama Faizin diduga psikopat. Apa benar demikian?" "Benar sekali, Pak," jawab Arya tegas. "Saya sering sekali mengingatkan keluarga saya agar menjauhi Faizin karena orang itu psikopat." "Atas dasar apa Anda bisa mengatakan kepada keluarga Anda bahwa Faizin psikopat?' selidik Faisal. "Muna, anak saya, ibunya Nando, adalah sahabat dekat dari Rumania istri Faizin," kenang Arya. "Rumania pernah menceritakan kepada Muna kalau ibunya mendesak Faizin untuk menceraikan anaknya setelah tahu Faizin psikopat." Faisal menatap Arya lekat-lekat. Cerita saksi di depannya sama persis dengan keterangan Risma. "Setelah itu, Muna meminta Reynaldi, suaminya agar tidak lagi akrab dengan Faizin. Muna juga memberitahukan perihal itu kepada saya. Sejak itu saya tidak lelah untuk memperingatkan kepada anak, mantu, cucu saya agar menjauhi Faizin." "Jadi Anda mendapatkan informasi bahwa Faizin psikopat dari putri Anda yang bernama Muna?" "Benar?" "Lalu Anda meyakininya?" "Iya." Faisal terdiam sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan. "Apa yang membuat Anda begitu yakin dan mempercayai cerita putri Anda?" Arya tersenyum penuh arti. "Saya sangat mengenal Muna sejak kecil. Ia tidak pandai berbohong, apalagi mengarang cerita perihal lelaki yang merupakan sahabat dekat suaminya, juga suami dari sahabat dekatnya." "Jadi karena merasa Muna tidak mungkin berbohong yang membuat Anda yakin dan percaya?" tanya Faisal memastikan. "Iya." "Pernahkah Anda mencoba menyelidiki kebenaran itu?' Arya mengangguk. Ia menyerahkan map biru yang dibawanya kepada Faisal. "Itu adalah fotokopi dokumen tentang riwayat kondisi kejiwaan Faizin." Faisal membuka map. Terdapat beberapa lembar kertas fotokopian yang kondisinya sudah lusuh dan mulai berwarna kecokelatan. Ia memeriksanya secara teliti lembar demi lembar. Arya diam, memberi kesempatan Faisal untuk memeriksa fotokopi dokumen yang ia serahkan. "Dari mana dan kapan Anda mendapatkan data ini?" tanya Faisal. "Itu berasal dari Rumania. Ia menitipkan data itu kepada Muna karena takut jatuh ke tangan ibunya. Kemudian data itu diberkan kepada saya," jawab Arya. "Perlu saya informasikan bahwa Rumania dulunya adalah seorang psikiater. Faizin salah satu pasiennya. Keduanya kemudian menikah. Perihal kondisi kejiwaan Faizin, Rumania menutupinya." "Anda yakin data ini valid?" Arya menghela napas, lantas menghembuskannya perlahan. "Saya mencoba meminta konfirmasi kevalidan data itu ke instansi yang mengeluarkannya. Sayangnya mereka tidak mau memberi jawaban, alasannya data riwayat pasien tidak bisa diinformasikan ke publik dan bersifat rahasia." Faisal menutup map. "Boleh kami meminjamnya sebagai bahan penyelidikan sampai kasus ini berkekuatan hukum tetap?' "Silakan, Pak!' jawab Arya. "Baik, ini kami simpan." Faisal memasukkan map ke dalam laci. Arya mengangguk puas. Ia berharap penyidik akan meminta konfirmasi ke instansi yang mengeluarkan data tersebut. "Baik, pemeriksaan ini sudah selesai. Suatu waktu kami bisa memanggil Anda kembali jika diperlukan," ucap Faisal. Ia menyodorkan tangan. "Terima kasih, Pak Arya, atas keterangannya." Arya menjabat tangan Faisal. "Sama-sama, Pak Faisal." *** Begitu masuk ke ruangan kunjungan, Risma bingung ketika tidak mendapati Zulkifli di sana. Ia berjalan ke sebuah meja didampingi seorang petugas polwan. Melihat kedatangan Risma, Mark berdiri. Ia mengulas senyum. Ia menyodorkan tangan. "Saya Mark, salah satu tim penasehat hukum Anda." Risma menjabat tangan Mark, bingung kenapa bukan Zulkifli yang datang. Namun justru karena itu ia merasa lega. "Silakan duduk!" ucap Risma. Ia pun duduk di depan Mark. Di antara mereka terpisahkan sebuah meja. Mark menyiapkan recorder dan meletakkannya ke atas meja. "Zulkifli meminta maaf karena tidak masuk ke sini. Beliau menunggu di luar. Alasan beliau adalah demi menjaga kenyamanan Anda." Risma mengernyit, meskipun hatinya lega. "Waktu kita tidak banyak dan kemungkinan ini akan membutuhkan beberapa kali pertemuan," ujar Mark. Risma mengangguk. "Semalam Zul bilang kalau keluarga saya akan datang." "Benar, Mbak Risma," timpal Mark. "Beberapa menit lalu Pak Satria sudah mengonfirmasi sedang dalam perjalanan." Risma merasa senang. "Sama siapa saja?" Mimik Mark menyiratkan penyesalan. "Mohon maaf, saya tidak tahu persis Pak Satria datang bersama siapa saja." Risma mendengus, namun ia tetap senang, paling tidak akan bertemu papinya. "Oh iya, saya mau tanya," ujar Risma. "Silakan!" "Tim Anda bisa membantu temen saya?" tanya Risma. "Membantu gimana maksudnya?" "Jadi begini." Risma memajukan kepala. "Saya punya temen setahanan, namanya Nian. Ia menjadi korban fitnah majikan perempuannya karena cemburu suaminya sering menggoda Nian, pembantunya." Mark mengerjap. "Bantuan hukum maksudnya?" "Iya." "Bisa," ujar Mark tegas. "Tenang saja, nanti saya yang bayar." Mark tersenyum penuh arti. "Itu soal nanti. Tapi saya harus bertemu dengan ... Siapa tadi namanya?" "Nian!" "Iya, Nian. Saya harus bertemu dengannya." Risma merasa lega. Mark mengambil recorder dari atas meja. "Sekarang bagaimana kalau kita fokus dulu pada kasus Anda." "Iya, tapi Nian juga harus segera dibantu!" Mark mengangguk mantap. "Saya harus bicarakan itu kepada tim. Mungkin baru mulai besok kami akan bergerak menangani kasus Nian." "Oke, saya paham." Mark tersenyum. "Bisa kita mulai sekarang?' Risma mengangguk. Mark menekan tombol play pada recorder-nya. "Silakan Mbak Risma, ceritakan kronologi peristiwa kasus di vila." Risma bercerita mulai dari misi yang dijalankannya pada bengkel Reyncar. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN