Zulkifli menatap Satria dengan perasaan campur aduk. Selama menjadi pengacara, sudah puluhan kali ia mengajukan permohonan penahanan kliennya. Tidak semua dikabulkan, dan biasanya ia mudah saja menyampaikannya pada klien atau keluarganya. Kali ini situasinya lain. Ia bukan hanya sedang mempertaruhkan reputasi sebagai penasehat hukum, tapi juga sebagai calon menantu.
Zulkifli tidak ingin mengecewakan Satria dan keluarganya, namun tidak ada pilihan lain, ia harus menyampaikan berita buruk ini.
Zulkifli berdiri di depan Satria dengan mimik penuh penyesalan. "Mohon maaf, Pak, permohonan penangguhan penahanan Risma ditolak."
Satria mematung. Matanya nyaris tidak berkedip, menatap Zulkifli yang tampak serba salah. Memang ia sudah menata hati, mendengar kabar terburuk, namun tetap saja ia kecewa.
"Alasan penyidik adalah karena Risma tertangkap tangan dan karena tuntutan hukumnya lebih dari lima tahun," jelas Zulkifli. Perasaannya campur aduk.
"Maksudnya tertangkap tangan itu apa?" Satria tidak kuasa menahan perasaan pedih.
"Ketika para polisi datang ke TKP, posisi Risma sedang berada di atas Faizin yang perutnya, maaf, tertusuk benda tajam."
Satria menggeleng kuat. Matanya berkaca-kaca. "Risma tidak mungkin melakukan itu. Pasti polisi salah paham dan salah duga."
Zulkifli menunduk. "Petugas memang tidak melihat Risma melakukan gerakan yang melukai Faizin. Ini celah bagi kita untuk membuktikan Risma tidak bersalah."
Satria membuang muka ke samping. "Itu tugas kamu. Jangan kecewakan lelaki renta ini."
"Kami sedang menyusun strategi," ujar Zulkifli. Ia berjongkok agar pandangannya sejajar dengan Satria. Dengan lembut ia meraih tangan lelaki berusia lebih dari setengah abad di hadapannya. "Saya akan all out. Saya ingin melihat bapak tersenyum, menyambut kebebasan Risma."
Satria menoleh, menatap Zulkifli dengan sorot letih. "Itulah kenapa saya mempercayakan ini padamu. Reputasimu tidak diragukan lagi. Jadi, pastikan kamu mewujudkan ucapanmu sendiri."
"Baik, Pak!" Zulkifli mengecup telapak tangan Satria bolak-balik.
Satria menarik tangannya perlahan. Ia merasa risih tangannya dikecup orang yang bukan keluarganya sendiri. "Bagaimana pertemuanmu dengan Risma?"
"Mohon maaf, tadi Mark yang menemui Risma." Zulkifli menoleh kepada Mark.
Mark tanggap. "Risma menceritakan kronologi peristiwa di vila. Karena keterbatasan waktu, ini akan berlangsung lama, dalam beberapa pertemuan."
Satria memandang Mark. "Tadi saya bertemu Risma dan lebih banyak menangis. Saya nggak mungkin memintanya untuk menceritakan peristiwa itu. Jadi tolong nanti saya mau ikut mendengar ceritanya."
"Baik, Pak!" Mark mengangguk. "Nanti saya kirimkan file-nya kepada bapak."
Satria mengangguk lemah. Hatinya masih pedih menerima fakta Risma harus menjalani penahanan sampai kasusnya selesai.
"Risma tadi menyampaikan keinginannya untuk membantu salah satu temannya." Mark mendekat kepada Satria. "Ia meminta kami memberi pendampingan hukum pada temannya itu yang bernama Nian. Ia korban fitnah kasus hilangnya ponsel majikannya."
Satria tersentak. "Kenapa tadi Risma tidak mengatakannya pada saya?"
Mark bingung harus menjawab apa karena ia pikir Risma juga akan menyampaikan itu pada Satria.
"Lalu apa sikap kamu?"
"Saya sampaikan kepada Risma bahwa kami akan memusyawarahkannya dengan tim," jawab Mark.
Satria mendengus. "Kalian fokus saja kepada kasus Risma."
Mark menatap Zulkifli, meminta rekan setimnya itu untuk ikut bicara.
Zulkifli angkat bicara. "Kami akan mematuhi apa yang menjadi kehendak Pak Satria. Namun mohon maaf, Pak, Risma pasti akan menanyakan itu pada kami."
"Biar nanti saya yang akan mengatakannya pada Risma!" tegas Satria.
"Baik, terima kasih, Pak!" ujar Zulkifli kecewa. Tadinya ia menyambut baik permintaan Risma untuk membela salah satu temannya. Itu akan membuatnya berpeluang mendapatkan nilai lebih di mata Risma jika berhasil. Sayangnya, Satria tidak merestui.
Zulkifli dan Mark sudah sepakat untuk memberi bantuan hukum pada Nian. Mereka bahkan sudah menyusun rencana dan mengatur strategi. Mereka akan menambah anggota tim yang nantinya khusus menangani kasus Nian. Apa daya, rencana itu harus kandas, karena Satria meminta mereka fokus pada kasus Risma.
***
Arya mengirimkan file spy camera ke dalam komputernya. Ia penasaran apakah sebenarnya isinya. Setelah file terkirim ke komputer, ia mendapati empat file.
Arya memilih satu file yang berkapasitas paling besar. File itu juga paling baru. Maka ia memilih meng-klik file video tersebut.
Dalam video itu Arya melihat suasana sepi. Tampak olehnya semak belukar dan suara napas terengah-engah. Arya melirik waktu berjalan pada pojok kanan bawah yang menunjukkan pukul 01:58 wib.
Kamera video kemudian bergerak memutar. Arya sempat melihat sebuah bangunan yang tampak sekilas saja, lantas kamera berhenti pada samping mobil.
Selama belasan menit objek tangkapan video terfokus pada badan samping mobil. Sesekali kamera terayun ke atas dan ke bawah. Arya memasang telinga baik-baik. Ia mendengar bunyi cit-cit yang berulang-ulang, ditingkahi suara napas tersengal.
Arya mem-pause rekaman video. Sejenak ia mencoba menebak si pemilik video sedang melakukan apa? Ia sampai memundurkan waktu lalu memutarnya ulang, begitu terus selam tiga kali, sampai ia yakin kalau orang tersebut sedang memompa ban mobil menggunakan pompa sepeda.
Arya meraih teh hangat, lantas meneguknya sedikit. Selepasnya ia menge-klik tombol play.
Rekaman video berlanjut. Arya melihat kamera berputar ke kanan, kembali ke posisi di mana tampak semak belukar. Ia menduga orang itu sedang duduk di dekat mobil.
Arya terkejut ketika dalam rekaman itu sebuah tangan bergerak, menutupi kamera. Tadinya Arya menduga tangan itu milik orang yang memompa ban tadi. Namun dugaannya keliru ketika kamera tampak bergoyang-goyang dan terdengar suara seperti orang yang sedang meronta-ronta.
"Kalau berani berteriak, perut bapak akan tertusuk!"
Deg! Jantung Arya serasa akan copot mendengar ucapan suara sedang mengancam orang lain dalam rekaman tersebut. Ia menduga ada orang lain lagi di sana. Sayang ia belum melihat wajah-wajahnya, hanya terdengar suara dan semak belukar.
Arya mem-pause rekaman video. Ia seperti familiar dengan suara itu. Ia pun mencoba mengingat-ingat siapa pemilik suara tersebut.
"Faizin?" gumamnya. Ya, ia yakin itu suara Faizin. Maka untuk membuktikan dugaannya benar, ia melanjutkan untuk memutar rekaman tersebut.
"Bapak pasti tidak percaya bukan saya bisa melakukan ini?"
Arya mem-pause rekaman video. Ia semakin yakin itu suara Faizin yang sedang bicara kepada pemilik spy camera. Tapi siapa orang yang ada didekat Faizin? Arya semakin penasaran. Maka ia meneruskan penayangan rekaman video tersebut.
"Jangan coba melawan!"
Dahi Arya berkerut. Dadanya berdebar mendengar ancaman yang ia yakin adalah suara Faizin. Serta merta ia merinding.
"Bapak telah mengacaukan rencana saya untuk menghabisi semua orang di sini!"
Arya kaget. Meskipun hanya suara saja yang terdengar tapi ia membayangkan pasti orang yang diancam Faizin sedang ketakutan. Kameranya tampak bergoyang-goyang, menandakan ada usaha untuk melawan tapi akhirnya tidak berdaya.
Sambil menahan debaran dalam d**a, Arya terus memfokuskan padangan ke layar komputer. Suasananya sangat mencekam. Jantungnya serasa mau copot ketika ia mendengar erangan dari mulut yang ia diduga sedang dibekap.
Arya menahan napas ketika pada layar video tampak bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri, lantas perlahan turun dan berhenti. Kini hanya tampak dedaunan. Arya menduga pemilik spy camera terlentang dalam posisi sedikit miring.
Sampai di sini, Arya yakin pemilik spy camera sudah tidak berdaya karena kamera sudah tidak bergerak-gerak, hanya menampilkan dedaunan.
Arya baru saja berniat untuk mem-pause rekaman video ketika sekelebat ia melihat sesosok orang tertangkap rekaman sedang berjalan. Segera saja Arya mem-pause dan memfokuskan pada wajah orang tersebut lalu mam-pause-nya.
Arya men-screenshot layar, lantas memperbesar ukurannya dan fokus kepada wajah sosok itu. Dari rahang dan model rambutnya, Arya yakin itu adalah Faizin.
Arya memejamkan mata kuat-kuat. Ia yakin dalam rekaman video yang telah ia putar tadi, Faizin baru saja menghabisi salah satu korban. Hanya saja ia tidak tahu siapa korban tersebut?
Meskipun merasa ngeri, tapi rasa penasaran Arya lebih besar. Maka ia kembali meneruskan pemutaran rekaman video tersebut.
Selama beberapa menit, Arya tidak melihat pergerakan, hanya tampak dedaunan yang sesekali bergoyang-goyang diterpa angin. Ia sabar menunggu sampai akhirnya tampak sesosok lain mendekat. Dalam keremangan ia melihat wajah itu semakin mendekat ke arah kamera.
"Nando?" Mata Arya terbelalak. Dalam layar ia bisa memastikan itu adalah wajah cucunya yang sepertinya sedang memeriksa kondisi pemilik spy camera.
Dalam rekaman video yang sedang diputar itu tampak kepala Nando mendekat ke arah kepala pemilik spy camera yang Arya duga masih hidup.
Selanjutnya Arya mendengar suara terbata sedang menyebut nama Faizin. Arya menduga pemilik spy camera tadi membisikkan nama itu kepada Nando.
Beberapa saat kemudian tampak tangan Nando mencabut spy camera dari baju pemiliknya. Gambar video pun menjadi gelap, meskipun pemutaran rekaman masih terus berlangsung.
Perasaan Arya campur aduk mencemaskan nasib Nando selanjutnya. Rekaman tampak gelap. Ia yakin spy camera berada di kantong celana Nando.
Arya terus memperhatikan layar komputer. Meskipun hanya suara, ia tetap fokus pada rekaman. Beberapa saat kemudian terdengar teriakan dari seorang perempuan menyebut nama Nando dengan nada menghardik. Yang mengagetkan Arya adalah selepas itu ia mendengar suara perempuan bertanya dengan nada menuduh. "Kamu membunuhnya?"
Deg! Seketika Arya merasa tidak terima kepada perempuan pemilik suara itu yang menuduh Nando. Ia yakin perempuan itu sedang salah paham.
Jelas-jelas tadi Arya melihat wajah Faizin setelah pemilik spy camera tidak berdaya. Perempuan itu baru terdengar suaranya sekitar enam menit kemudian. Arya menduga perempuan itu baru datang dan salah paham.
Arya mem-pause pemutaran rekaman video pada layar komputer. Meskipun merasa penasaran, ia memilih untuk melanjutkannya nanti.
Arya memutar kursi rodanya meninggalkan meja komputer dan menuju tempat tidur. Ia ingin berbaring tapi ingatannya terus terbayang pada rekaman video yang tadi ia tonton.
Daripada tidak bisa tidur, ia kembali melanjutkan pemutaran video.
Sampai rekaman berakhir, tangkapan video tampak gelap. Sambil menahan debaran dalam d**a Arya terus menontonnya.
Dari rekaman video itu akhirnya Arya bisa mengambil kesimpulan bahwa Faizin telah menghabisi salah satu korban di samping sebuah mobil. Selanjutnya muncul Nando yang memeriksa kondisi korban. Namun seorang perempuan yang baru datang sepertinya salah paham dan menuduh Nando.
Tuduhan perempuan itu tidak main-main. Ia bahkan terdengar beberapa kali memaki-maki Nando. Yang membuat Arya sangat geram adalah ketika Faizin mengakui dirinya psikopat dan membunuh Desi, Hendi, dan Pak Jenggot.
Momen paling mengerikan bagi Arya adalah ketika ia mendengar erangan Nando. Ia yakin Faizin melakukan sesuatu yang keji pada cucunya tersebut.
Gara-gara itu, Arya tidak bisa tidur, bahkan pingsan dalam waktu yang cukup lama, sampai akhirnya asisten pribadinya menemukannya terkulai di atas kursi roda.
Sang asisten segera melarikannya ke rumah sakit terdekat.
Sebelum membawa Arya ke rumah sakit. Sang asisten pribadi sempat mematikan layar komputer dan mengamankan spy camera. Ia menyimpannya ke dalam laci meja komputer tuannya.