Yanti bukan hanya berhenti bersikap sok kuasa, ia juga menjadi pendiam, sejak dibanting Risma kemarin malam. Situasi ini disambut baik Siti dan Nian. Mereka sedikit lebih tenang sekarang.
Yanti merasa heran, gadis langsing macam Risma bisa memiliki kekuatan untuk membanting dan menguncinya. Ia tidak tahu kalau gadis itu bukan hanya sudah jago beladiri sejak remaja, juga rajin berolahraga. Sehingga meskipun berpostur langsing, Risma selalu bugar.
Selain itu Yanti juga penasaran, apakah benar Risma tersangkut kasus tewasnya empat orang? Memang ia akui Risma jago beladiri, tetapi ia tidak yakin gadis itu menjadi pelaku kejahatan.
"Kenapa melamun?" tegur Risma kepada Yanti.
Yanti tersenyum dibuat-buat. "Nggak kok, cuman lagi mikir."
"Oh?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Risma. Ia tidak mau kepo. Lagi pula pertanyaannya tadi hanya basa-basi. Ia melakukan itu karena ingin memperbaiki komunikasi dengan Yanti. Bagaimanapun juga ia tidak mau memiliki musuh.
Yanti melirik Risma takut-takut. "Aku minta maaf ya, kalau pernah arogan sama kamu."
Risma tersenyum haru. "Aku juga minta maaf sudah membanting dan membuatmu nggak bisa napas."
Yanti terkekeh. "Baru kali ini ada yang masih bersikap baik sama aku setelah berhasil ngalahin aku."
"Kalah dalam hal apa?" Risma pura-pura tidak paham. Ia tidak pernah merasa menang.
Yanti mengedikkan bahu. "Aku malu buat bilang sama kamu."
Risma tergelak. "Kamu pemalu juga ya?"
Senyum Yanti meredup. Ia menunduk. "Dulu aku pemalu, lugu, bahkan banyak yang bilang aku lucu."
Risma mengerjap, penasaran.
"Sejak kecil aku berkeliaran di terminal. Awalnya jualan es keliling, kadang gorengan," kenang Yanti. Matanya menerawang ke masa kanak-kanak dulu. "Lama-lama aku kebawa pergaulan anak-anak gembel terminal. Aku masih kelas empat SD waktu itu, tapi malu ke sekolah karena selalu ditagih uang buku."
Risma tercenung, menatap Yanti simpati.
"Aku ikut mereka ngamen, ngemis, bahkan ngelem!"
"Ngelem?" Risma bingung.
Yanti terkekeh sendiri. "Kamu tahu lem dalam kemasan kaleng kecil kan?"
Risma mengangguk, tapi masih belum paham maksud Yanti.
"Kami menghirup kaleng itu." Mata Yanti berbinar. "Rasanya seperti melayang. Itu cara paling hemat buat mabuk."
Reflek mulut Risma menganga. Sungguh ia baru tahu ada orang mabuk dengan cara menghirup lem. "Gimana rasanya?"
"Ya, mabuk, melayang. Hehehe!"
Risma terkekeh, getir.
"Namanya juga anak jalanan yang jauh dari pengawasan orang tua, membuatku semakin jauh terseret pergaulan." Yanti terbatuk. Dadanya serasa sesak. "Dari mabuk lem, aku akhirnya merasakan semua cara untuk mabuk, mulai dari minuman oplosan sampai minuman beralkohol yang mahal. Namun di antara semua mabuk yang pernah kurasakan, yang paling sensasional adalah mabuk cinta."
Risma terkekeh. Ia belum pernah merasakan mabuk, termasuk mabuk cinta.
"Uhhukk!" Yanti menutupi mulutnya.
Melihat Yanti batuk, Risma menyodorkan minyak kayu putih.
Yanti menolak secara halus. "Paru-paruku mungkin sudah rusak parah karena lebih separuh hidupku buat mabuk. Minyak kayu putih sudah nggak mempan buat meredakan batukku."
Risma meletakkan minyak kayu putih di dekat dinding. "Aku taruh di sini. Kali aja nanti kamu butuh. Kita pake bareng-bareng."
Yanti mengangguk. "Makasih!"
"Iya."
Yanti tergelak, menertawakan dirinya sendiri. "Kok aku jadi curhat ya?"
"Nggak papa, santai aja. Kita kan temen."
"Kamu rugi punya temen kayak aku."
"Kenapa memangnya?"
"Aku ini preman terminal. Nggak ada untungnya buatmu kenal sama aku."
Risma menggeleng. "Justru kamu baru saja memberi banyak manfaat buatku. Ceritamu telah membuatku sadar bahwa aku salah telah menganggapku menjadi orang paling menderita."
"Aku tebak kamu anak orang kaya. Mana mungkin kamu menderita?"
Risma mendesah perlahan. "Aku memang terlahir menjadi anak orang kaya. Aku bisa membeli apa yang aku mau, tapi aku nggak bisa membeli kebebasanku sendiri."
Dahi Yanti berkerut. "Aku nggak paham."
Risma terdiam. Ia ragu apakah akan menceritakannya pada Yanti atau tidak bahwa ia selalu harus menuruti keinginan orang tua.
"Yah, mungkin orang jalanan sepertiku hanya memandang orang kaya dari segi hartanya saja. Aku nggak pernah tahu apakah harta itu bisa membahagiakan mereka atau enggak." Yanti berujar.
"Kamu benar!" timpal Risma. "Kebahagiaan tidak bisa diukur berdasarkan materi. Kebahagiaan itu kita yang menciptakan sendiri dengan cara mensyukuri apa yang kita punya dan tidak menuntut apa yang jauh dari jangkauan kita."
Yanti mengangguk-angguk. "Keinginanku sederhana, ingin lepas dari dunia kelam."
"Kamu bisa lepas kalau mau." Risma meyakinkan Yanti.
"Aku sudah sering mencobanya," ujar Yanti.
"Barangkali kurang keras," timpal Risma.
Yanti terdiam. Padangannya membentur tembok. "Aku pernah melakukan banyak pekerjaan di luar terminal. Bahkan aku pernah menjadi buruh cuci baju, tapi entah kenapa ujung-ujungnya tetep balik ke terminal. Kamu tahu kenapa?"
Risma balik bertanya. "Kenapa memangnya?"
Sorot mata Yanti seketika menyiratkan kegeraman. "Orang-orang nggak mau menerimaku! Aku ini b******n yang nggak berguna di mata mereka."
Risma menggigit bibirnya sendiri, serasa ikut merasakan pahitnya berada pada posisi Yanti.
"Kalau ada orang kehilangan sesuatu, akulah yang pertama dicurigai. Kalau ada kekacauan di suatu daerah, aku juga yang pertama kali dicurigai menjadi penyebabnya." Yanti mendengus. "Itu membuatku putus harapan."
Risma mengelus bahu Yanti. "Pasti ada orang yang akan menerimamu."
Yanti menggeleng, tidak yakin.
"Kamu punya keahlian?"
Yanti mengernyit. "Keahlian?" Lantas ia terkekeh.
"Apa saja, nggak harus yang wah, misal bisa masak, jahit, atau yang lainnya." Risma menjelasakan.
"Aku ini tukang parkir, menata kendaraan, trus dapet duit." Yanti terkekeh.
"Itu juga termasuk keahlian!" timpal Risma.
Yanti mengerjap, baru tahu kalau memarkir termasuk keahlian.
Risma teringat Garin. "Kalau mau, kamu bisa kerja di salah satu gedung perkantoran milik abangku."
Yanti terdiam menatap Risma seolah menganggap gadis di depannya sedang bercanda. Ia melirik kedua tangannya yang bertato, tidak mungkin ada kantor mau menerimanya, meski menjadi tukang parkir sekalipun.
"Syaratnya cuman satu!" ujar Risma. "Kamu tinggalin gaya hidup lama dan ikuti peraturan di tempat kerjamu yang baru."
Yanti tersenyum bingung. "Kalau cuman itu aku bisa. Tapi badanku tatoan!"
Risma tersenyum. "Itu nggak masalah!"
"Serius?" Yanti masih sulit mempercayainya.
"Serius!" jawab Risma mantap. "Selama kamu juga serius mau berubah!"
Yanti akhirnya percaya. Ini berita bagus untuknya. Namun tiba-tiba ia sedih. "Tapi aku nggak tahu kapan akan bebas."
Ucapan Yanti menyadarkan Risma. Ia pun belum tahu bagaimana nasibnya nanti, apakah berhasil membuktikan dirinya bersalah atau tidak.
***
"Mark sedang ada keperluan mendadak," ujar Zulkifli ketika Risma baru saja duduk di depannya. "Maaf kalau aku menugaskan ini pada Mark. Aku hanya khawatir kalau kehadiranku membuatmu nggak nyaman."
"Nggak harus begitu juga kali!" tegur Risma. "Oh, iya bagaimana penangguhan penahananku?"
Zulkifli menunduk sesaat, kemudian menatap Risma dengan mimik penuh penyesalan.
Melihat mimik dan gestur Zulkifli membuat Risma menduga kalau pengacara di depannya akan membawa berita buruk. "Nggak usah merasa nggak enak. Kalau memang ditolak ya sampein aja!"
Zulkifli tersenyum getir. "Iya, permohonan penanggguhan penahanan kamu tidak dikabulkan."
Risma menunduk kecewa.
"Maaf, Ris, aku dan tim sudah berusaha," ujar Zulkifli menyesal.
Risma mendongak. "Lalu akan sampai kapan aku ditahan?"
"Kalau kita berhasil membuktikan kamu tidak bersalah, penyidikan akan dihentikan."
"Kalau enggak?"
Zulkifli mendesah. "Kalau penyidik memiliki cukup bukti, kasus ini akan dilimpahkan ke kejaksaan. Setelah itu jaksa penuntut umum akan membawanya ke pengadilan."
Kepala Risma seketika pusing. Ia tidak bisa membayangkan betapa melelahkannya proses hukum yang harus dijalaninya sampai hakim pengadilan memvonis dakwaan.
Zulkifli meletakkan recorder ke atas meja. "Kamu sudah siap lanjutkan cerita kronologi kejadian di vila?"
Risma mengangguk malas. "Tapi aku mau tanya dulu soal kasus Nian. Kapan kalian bisa mulai membantu temenku itu?"
Zulkifli menyeka dahinya menggunakan tisu.
Risma menangkap gelagat tidak enak. "Kenapa wajahmu muram begitu?"
"Sebentar!" Zulkifli melempar tisu ke dalam keranjang sampah di pojokan.
"Kalian bisa kan?"
Zulkifli menata posisi duduk. Kedua tangannya ia letakkan di atas meja. "Papi kamu meminta kami untuk fokus saja menangani kasus ini. Maaf, Ris, aku nggak berani ngeyel, meskipun jujur saja, kami berhak menangani kasus lain secara bersamaan."
Risma membuang muka ke samping. Sudah dua berita buruk ia terima. Perasaannya menjadi tidak enak.
"Aku bisa saja membantu Nian, temenmu itu secara diam-diam, tetapi aku menghargai keinginan papimu."
Risma menjambak rambutnya sendiri. Ia sudah terlanjur bilang kepada Nian akan membantu memberikan pengacara. Ia tidak tahu bagaimana nanti cara menyampaikannya kepada teman satu selnya itu. Ia tidak mau dianggap PHP.
Risma menyalahkan diri sendiri. Seharusnya sebelum menawarkan bantuan kepada Nian, ia memastikan semua sudah siap.
"Tapi aku bisa meminta tolong pengacara lain." Zulkifli menawarkan.
Risma menggeleng. "Nggak udah, terima kasih. Aku punya cara lain."
Zulkifli mengerjap.
Risma mendekatkan wajah ke arah Zulkifli. "Boleh aku minta tolong?"
Zulkifli mengangguk tegas. "Pasti!"
"Pinjami aku ponsel kamu!"
Zulkifli mengambil ponsel dari saku. Ia menyerahkannya pada Risma.
Risma mengetikkan dua belas angka pada layar. Ia sedang menghubungi Andrew.
"Andrew, ini Risma. Aku make nomor pengacaraku," ujar Risma begitu Andrew menjawab panggilan teleponnya.
"Oh, Mbak Risma apa kabar? Saya turut prihatin atas kasus yang menimpa mbak. Maaf saya belum sempat menjenguk Mbak Risma."
"Iya nggak papa." Risma mendesah. "Kamu masih save kontak Diko sama Faisal?"
"Yang detektif sama hacker itu ya?'
"Iya."
"Masih, Mbak."
"SMS-in ke sini."
"Oke, Mbak."
"Cepetan!"
"Iya."
Risma mengakhiri panggilan teleponnya. Ia menatap layar ponsel, menunggu SMS dari Andrew.
"Lama amat sih?" gerutu Risma.
Zulkifli penasaran dengan kedua nama yang tadi disebut Risma. "Faisal, kayaknya aku nggak asing dengan nama itu!"
"Bukan Faisal Basri," ujar Risma. "Kalau itu kan penyidik yang menangani kasusku."
"Iya tahu." Zulkifli mencoba mengingat-ingat, namun belum juga menemukan sesuatu tentang nama Faisal yang tadi disebut Risma.
"Nah, ini dia kontaknya! Risma bersorak ketika membuka kiriman SMS dari Andrew. Tanpa membuang waktu, ia menelepon Faisal.
Risma harus mengulang panggilan tersebut sebanyak tiga kali karena Faisal tidak kunjung menjawabnya, padahal nadanya berdering.
Risma berusaha sabar. Ia mencobanya lagi. Beruntung, Faisal langsung menjawab panggilan.
"Hallo, Faisal, ini aku Risma," beritahu Risma.
"Risma siapa ya?"
Risma mendengus kesal. "Risma Devita binti Satria Baja Hitam!"
Faisal terkekeh. "Apa kabar, Risma. Maaf aku nggak langsung menjawab panggilanmu. Aku harus cek dulu nomor itu."
Risma paham, Faisal selalu hati-hati menerima panggilan telepon dari nomor yang belum tersimpan di ponselnya.
"Nomor baru lagi?" tanya Faisal.
"Ini nomor pengacaraku," ujar Risma. "Aku mau minta tolong, bisa?"
"Bisa diaturlah!"
"Tenang saja, aku pasti kasih bonus gede kalau kamu berhasil menangani masalah ini." Risma meyakinkan Faisal. "Tapi boleh ngutang kan?"
Faisal terkekeh. "Bisa diatur. Ada tugas apa?"
"Kamu ada waktu nggak besok?" tanya Risma berharap. "Temui aku di sini."
"Di sini mana?"
"Polsek Bawang!"
"Astaga! Serius?"
"Seriuslah!"
"Kenapa harus di polsek?"
"Udah dateng aja, nanti aku ceritain!"
"Oke, see you soon!"
"Bye!"
Risma menarik napas lega. Ia mengembalikan ponsel kepada Zulkifli. "Terima kasih."
"Kini aku tahu siapa Faisal itu," ujar Zulkifli sambil menimang ponselnya. "Ia detektif swasta kan?"
"Syukurlah kalau kamu tahu," sahut Risma.
Zulkifli tersenyum geli. "Jadi yang kamu maksud minta tolong itu mau minjem ponsel buat nelfon Faisal?"
Risma menggeleng. Ia mendekatkan wajah ke arah Zulkifli. "Aku ingin kamu dan Faisal bekerjasama."
Zulkifli terdiam. Bukannya ia keberatan. Ia hanya tidak mau Satria tahu perihal itu.
"Tenang aja, aku nggak akan ngasih tahu siapa pun, termasuk papi."
"Lalu kerjasamanya seperti apa?"
"Kamu nggak terlibat langsung. Kamu carikan saja pengacara buat Nian, tapi semua dalam kendalimu. Intinya kamu aturlah bagaimana caranya membebaskan Nian."
"Terus Faisal gimana?"
"Faisal yang akan menyelidiki kasus itu," jawab Risma. "Paham kan maksudnya?"
Zulkifli mengangguk. "Baik, itu berarti semua dalam kendalimu kan?"
Risma menggeleng. "Kamu yang mengendalikan. Aku tahunya kasus Nian selesai sebelum dilimpahkan ke kejaksaan."
Zulkifli tersenyum senang. Ini kesempatan bagus baginya buat meraih hati Risma.
"Kita bahas itu nanti saja setelah aku ketemu Faisal."
"Oke," timpal Zulkifli. "Sekarang waktunya kamu melanjutkan ceritamu kronologi peristiwa di vila."