Melupakan Dendam

1793 Kata
Memberikan keterangan dan menjawab dengan jujur saja membuat Risma kerap kali tersudut. Ia tidak bisa membayangkan seperti apa repotnya jika ia salah bicara, apalagi mengarang. Kejadian para polisi mendapatinya sedang dalam posisi menindih Faizin telah membuatnya dalam kesulitan. Polisi menganggapnya tertangkap tangan. Sehingga ia harus menjalani penahanan dan membuatnya kesulitan meyakinkan penyidik bahwa ia tidak bersalah. "Saudari Risma, apakah pertanyaan saya kurang jelas?" tegur Faisal karena Risma lama belum memberikan jawaban. Risma mengangguk. "Jadi setelah Pak Faizin mengatakan kalau ia akan membiarkan saya dalam keadaan hidup menyedihkan, ia melepas ikatan pada kaki saya dan mendorong saya keluar dari mobil. Waktu itu saya mendengar suara sirine yang semakin jelas. Saya merasa senang bukan main." "Lalu?" "Saya keluar mobil dan berusaha lari mendekat ke arah mobil polisi, tetapi Pak Faizin menarik baju saya, membuat saya kehilangan keseimbangan. Saya jatuh ke tanah. Badan Pak Faizin ikut tertarik, sehingga kami bergulingan dan berhenti dalam posisi saya berada di atas badan Faizin." "Waktu petugas datang, badan Faizin sudah tertusuk belum?" selidik Faisal. Risma mencoba mengingat-ingat. "Kemungkinan sudah karena sebelum jatuh saya sempat melihat para polisi bergerak ke arah kami." "Menurut kesaksian petugas kami, Ketika mereka mendekat, Faizin sudah tertusuk," beritahu Faisal. "Tidak ada satu pun yang melihat Faizin menusuk badannya sendiri." Risma menelan ludah. Ia tersudut, membuat keberaniannya muncul. Ia akan bertanya apakah para petugas melihat ia yang menusuk Faizin, sehingga mereka menganggap kejadian itu sebagai tangkap tangan. "Boleh saya bertanya?" Faisal mengernyit. "Anda dalam posisi menjawab dan memberikan keterangan. Ini bukan perdebatan, tapi penyelidikan! Saya rasa Anda bisa memahaminya." Bibir Risma bergerak-gerak, ingin protes tapi tidak berani. "Anda punya hak membela diri. Bahkan jika dirasa perlu kami bisa mengonfrontasi kesaksian para petugas dengan Anda." Risma menunduk. "Saya yakin para petugas tidak melihat saya menusuk Pak Faizin karena saya memang tidak pernah melakukannya." Faisal menarik napas panjang. "Kami tidak mengatakan Anda yang menusuk Faizin." Risma menyeka keringat yang mulai membasahi dahi. Ruangan ini tidak ber-AC, hanya ada dua kipas angin. "Jadi jelaskan secara logis, bagaimana Anda bisa mengatakan kalau Faizin menusuk dirinya sendiri, karena petugas kami tidak melihatnya." "Saya memang berada di atas badan Pak Faizin setelah bergulingan," ucap Risma. "Tadinya posisi saya tengkurap. Saya melihat tangan kanan Pak Faizin menggenggam benda tajam, maka itu saya bangkit sehingga posisi saya menduduki perut bagian bawahnya. Saat itulah saya melihat Pak Faizin menusukkan benda tajam itu ke perut bagian samping." Faisal memajukan kepala, mendekat ke arah Risma. "Benda tajam itu menusuk cukup dalam. Diperlukan ayunan kuat untuk melakukannya. Logikanya ayunan tangan Faizin lemah jika benar ia melakukannya dalam posisi terlentang karena gerakannya terbatas akibat bergesekkan dengan tanah." "Tapi Faizin benar menusuk perutnya sendiri." Risma terisak. "Gerakan tangan Faizin mungkin lemah, tapi saya melihat ia masih bisa menusukkan benda tajam itu." "Tapi kenapa petugas kami tidak melihat Faizin menusukkan badannya sendiri?" tanya Faisal berargumen. "Posisi para petugas ada di arah sebelah perut kiri Pak Faizin. Sangat mungkin pandangan mereka terhalang badan saya. Perut Faizin yang tertusuk juga berada di sebelah pinggir kanan," dalih Risma. Faisal menatap Risma lekat-lekat. "Anda yakin?" "Iya, saya sangat yakin dan masih mengingatnya dengan baik." Risma menjawab dengan tegas. "Anda tidak ingin meralat atau merevisi pernyataan Anda?" Faisal menguji. Risma menggeleng. "Tidak, saya tetap pada pernyataan saya tadi." "Pernyataan itu bisa meringankan Anda jika nanti terbukti benar, tetapi juga bisa memberatkan Anda jika terbukti bohong." Faisal mengingatkan. Risma mengangguk tegas. "Karena itulah sejak awal saya selalu memberikan keterangan dengan sebenar-benarnya." "Di pengadilan nanti, kebenaran adalah fakta yang sudah diuji dan dibuktikan. Jadi, sebelum sampai tahap itu, sebaiknya Anda memberikan keterangan yang bisa diuji dan dibuktikan." "Iya, saya paham." Risma mengusap air mata yang membasahi pipi. Faisal melirik arloji. "Baiklah. Saya pikir Anda butuh waktu istirahat yang cukup. Besok jam delapan kita akan lanjutkan lagi." Tangis Risma pecah antara lelah dan lega. *** Saat akan dibawa ke ruang tahanan, Risma dikagetkan dengan keberadaan Zulkifli yang tengah duduk di depan ruang pemeriksaan. Zulkifli mengangguk ramah pada polwan yang mendampingi Risma. "Saya Zulkifli, penasehat hukum saudari Risma. Saya sudah mendapatkan izin untuk bertemu dengan klien." "Silakan!" Polwan mengarahkan Risma untuk duduk. "Terima kasih!" ucap Zulkifli. Ia kembali duduk. Di seberangnya Risma juga baru saja menempatkan p****t pada kursi. Sementara Polwan berdiri tidak jauh dari penasehat hukum dan kliennya. Zulkifli menyungging senyum pada Risma. "Gimana kondisi kesehatan kamu?" Risma mengedikkan sepasang bahu. "Seperti yang bisa kamu lihat." Faisal menatap Risma prihatin. Gadis idamannya itu tampak pucat dan kelelahan. "Sebagai penasehat hukum, kami perlu mendapatkan keterangan kamu untuk memudahkan pembelaan." Risma mengangguk pelan. Mimiknya datar saja. "Aku lihat kamu tampak lelah. Jadi biarlah besok saja kamu ceritakan kronologinya," ujar Zulkifli. Risma kembali mengangguk lemah. Ia malas berkata. "Papi dan kedua abang kamu akan menjengukmu besok. Tadi aku sempat mampir ke rumah Bang Yan. Keluarga kamu berkumpul di sana. Akhirnya kami berdoa bersama untuk kebebasanmu." Risma yang sejatinya malas ngobrol dengan Zulkifli, akhirnya bersuara karena mencemaskan papinya. "Keadaan papi gimana?" "Alhamdulillah sehat." jawab Zulkifli. "Tahu dari mana?" Zulkifli tersenyum, berusaha sabar menghadapi sikap ketus Risma. "Tadi aku menanyakannya dan beliau menjawab sehat." "Syukurlah." Risma merasa lega. "Aku nggak bisa lama. Kamu juga harus istirahat," ujar Zulkifli. "Semangat ya?" Risma mengangguk malas. Zulkifli berdiri. "Kalau begitu aku pamit pulang. Terima kasih atas waktunya." "Iya." Risma berkata pelan. Zulkfli menyungging senyum kepada Risma sebelum pergi. Polwan mendekati Risma. "Ayo!" Risma bangkit. Ia berjalan gontai menuju sel tahanan dengan didampingi petugas polwan. Risma dimasukkan ke dalam tahanan. Setelah polwan menggembok pintu dan berlalu, Yanti langsung menjambak rambut Risma. Mendapat serangan tidak terduga membuat Risma tidak siap. Ia terjengkang, hingga jatuh dengan p****t terhempas ke lantai. Ia ingin sekali membalas Yanti, tapi ia tidak mau terlibat masalah selama di dalam tahanan. "Ayo lawan!" Telapak tangan Yanti memberi gestur agar Risma bangun. Alih-alih membalas, Risma merapikan rambut panjangnya yang kusut karena dijambak Yanti. Risma sebenarnya mampu melumpuhkan Yanti, tapi selain tidak ingin terlibat masalah, ia juga sengaja ingin menguras emosi Yanti. "Pengecut!" umpat Yanti. Risma bangkit, bukan untuk melawan, tapi berjalan menuju pojok. Ia duduk bersila, seolah tidak pernah menganggap ada Yanti dalam ruangan itu. Emosi Yanti semakin meninggi. Ia belum puas membalas pelintiran Risma tadi sore. Maka dengan mimik provokasi ia mendekati Risma. Risma tetap tenang dan berusaha mengendalikan diri. Ia pura-pura santai. "Hey, pengecut! Kalau mau aman di sini, jangan belagu!" semprot Yanti. Emosinya mencapai ubun-ubun. Risma masih saja tak acuh. Ia ingin melihat sejauh mana Yanti mengumbar emosi. "Kamu budek ya, hah?" Risma tetap tenang dan tidak mau terprovokasi. Emosi Yanti semakin sulit dibendung. Ia mengangkat kerah baju Risma tinggi-tinggi. "Kamu harus minta ampun sama aku karena sudah kurang ajar tadi!" Meskipun menganggap sikap Yanti sudah tidak bisa ditoleransi, tapi Risma tetap tidak mau terpancing. "Ayo bilang!" Yanti semakin tinggi mengangkat kerah baju Risma. Risma tercekik. Terpaksa ia berdiri agar bisa bernapas. Posisi itu semakin membuat Yanti merasa leluasa untuk menjambak rambut Risma. Sayangnya saat Yanti baru menggerakkan tangan tangan, Risma keburu membantingnya dengan gerakan cepat. BUGG! Punggung Yanti menghempas lantai. Belum sempat ia menguasai diri, Risma keburu mengunci tubuhnya dan menekan lehernya menggunakan siku tangannya kuat-kuat. Yanti tidak berdaya. Matanya melotot karena kesulitan bernapas. "Sekali lagi kamu menyentuhku, aku bisa membuatmu menyesal pernah mengusikku!" Risma semakin menekan leher Yanti. Yanti mengejang, tidak bisa bernapas. Ia sangat takut kalau Risma terus menekan lehernya. "Lihat wajahku baik-baik sebelum kesadaranmu hilang secara perlahan dan malaikat maut mencabut nyawamu!" Yanti menggelinjang hebat. Ia semakin takut mati. Belum ada tanda-tanda Risma akan mengendurkan tekanannya. "Berkedip dua kali jika kamu ingin aku melepaskanmu!" suruh Risma. Spontan Yanti mengedip dua kali agar nyawanya selamat. Melihat itu, Risma melepaskan Yanti. "Uhhukk, uhhukk!" Yanti mengelus lehernya. Napasnya terengah-engah. Ia merasa bersyukur, nyawanya masih selamat. Sekarang ia sadar, Risma bukan orang sembarangan. Risma kembali ke pojok. Ia memandang kedua tahanan lain yang tampak shock melihat adegan tadi. Yanti bangun lantas beringsut menuju pojok satunya. Matanya mengawasi Risma, ketakutan. Selama menjadi preman, baru kali ini ia dipermalukan oleh gadis kurus. "Aku nggak akan menyakiti kalian semua, jika kalian enggak mengusikku!" ucap Risma kepada semua yang berada di dalam tahanan. "Namaku Risma, asal Jakarta. Aku mendekam di sini karena menjadi tersangka atas kasus tewasnya empat orang dan satu korban kritis!" Mendengar pengakuan Risma membuat nyali Yanti semakin menciut. Ia segera melupakan dendamnya pada Risma yang telah membuat harga dirinya sebagai preman hancur. *** "Akhirnya kamu pulang!" ujar Arya melihat kedatangan Math. "Dan justru ketika anak dan istrimu ke rumah sakit." "Aku udah ketemu mereka." Math meletakkan tas plastik ke lantai. Ia mencium tangan Arya. "Apa itu?" Arya penasaran dengan kantong plastik yang tadi dibawa Math. Math mendesah tertahan. "Itu baju dan barang-barang Nando yang diserahkan petugas rumah sakit. Aku pulang karena itu dan karena satu hal lagi. Setelah itu aku mau balik lagi ke rumah sakit." "Duduklah!" Arya menggerakan kursi roda menuju ruang tengah. Math mengekornya. "Asisten opa mana?" "Opa suruh istirahat!" Arya memarkir kursi roda di dekat sofa ruang tengah. Math duduk di sofa. "Maaf opa, aku mau selonjoran!" Ia meluruskan kaki di atas sofa. "Tiduran pun nggak papa. Kamu memang butuh istirahat." Math mengambil tiga bantal, satu ia letakkan di bawah kepala, dan sisanya ia tumpuk menjadi bantalan kaki. "Besok saja balik ke rumah sakitnya!" saran Arya. Sejatinya Math sangat letih. Begitu kepalanya menyentuh bantal, ia langsung mengantuk. Namun kepulangannya bukan untuk beristirahat. Ada sesuatu hal penting yang harus ia bicarakan dengan opanya. "Sudah makan?" Math mengangguk. "Gimana keadaan Nando?" Arya berharap-harap cemas. Sejak pulang ke rumah, setiap dua jam sekali ia menelepon salah satu cucunya, bertanya kabar Nando. Terakhir ia melakukannya lima menit lalu. Sekarang ia bertanya lagi kepada Math. "Belum ada kemajuan, Opa!" keluh Math sedih. Sepasang matanya mulai terasa berat. Maka agar tidak ketiduran, ia segera bangkit. "Suruh istirahat saja susah!" gerutu Arya pada Math. "Jadi sebenarnya apa alasanmu pulang ke rumah?" Math mengusap wajahnya. Kemudian ia meraih pergelangan tangan Arya. "Apa benar opa dipanggil polisi untuk dimintai keterangan?" Arya terdiam sejenak. "Iya." Math mendengus. "Kasus apa?" Arya menatap Math. "Kamu pasti sudah tahu, kenapa tanya lagi?" "Aku cuman mau memastikan, Opa!" Math menarik napas panjang. Ia sangat kesal. "Maunya apa sih anak itu? Sudah bikin Nando koma, sekarang mau bikin susah opa!" "Opa nggak merasa susah." Arya berkata santai. "Opa nggak mau orang yang tidak bersalah menjalani hukuman." Math mengacak rambutnya sendiri. Ia kesal kepada opanya yang terobsesi untuk membuktikan bahwa Faizin psikopat yang berbahaya. Celakanya, masih melakukannya setelah Faizin mati. "Opa...." Math mengelus telapak tangan Arya. "Aku kok merasa aneh. Kasus itu terjadi di vila dan tidak ada sangkut pautnya dengan opa, tapi kenapa opa akan dimintai keterangan? Ini pasti ulah adik ipar Ersa yang mau memanfaatkan opa saja." "Jangan berprasangka buruk," tegur Arya. "Jika benar ia menyebut nama opa, kemungkinan besar ini berkaitan dengan si psikopat itu. Ia pasti membutuhkan kesaksian opa perihal kondisi kejiwaan Faizin." "Tapi, memangnya opa punya bukti yang valid untuk meyakinkan polisi?" Arya bungkam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN