Tersudut

1789 Kata
Semua yang ada di dalam sel tahanan serempak memusatkan pandangan kepada Risma yang baru saja sampai. Polwan yang mengantar Risma, membuka gembok pintu sel tahanan. "Masuk!" suruhnya dengan ekspresi datar. Risma menelan ludah. Sepasang kakinya terasa berat ketika melangkah ke dalam tahanan. Begitu ia masuk, polwan segera menggembok pintu kembali. Selama beberapa detik Risma mematung. Pandangannya nanar. Hatinya menjerit, harus menjalani penahanan untuk suatu kejahatan yang tidak pernah ia lakukan. "Hei!" Perempuan berambut cepak dan badan penuh tato, menghardik Risma. Matanya melotot tajam dengan sorot mengintimidasi. Ia adalah Yanti, salah satu preman terminal yang sudah bolak-balik berurusan dengan polisi. Kebanyakan kasusnya adalah penganiayaan. Di terminal ia biasa dipanggil Yanto, bukan Yanti, karena tomboy dan lebih ganas dari laki-laki. "Kamu budeg ya?" Yanti tidak terima karena hardikannya tidak ditanggapi. Pikiran Risma teramat kusut. Sehingga ia tidak begitu mempedulikan hardikan Yanti. Lagi pula, ia tidak suka kepada orang arogan. Merasa tidak dianggap membuat Yanti kesal. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri, berhadapan dengan Risma. Matanya semakin melotot. "Anak baru jangan belagu!" Risma balas menatap Yanti tanpa mengucapkan sepatah kata pun. "Aku yang berkuasa di sini!" Jari tangan Yanti menonjok d**a Risma. "Kamu harus tunduk sama aku!" Di samping karena pikirannya sedang kusut, Risma juga enggan meladeni orang yang merasa sok jagoan. Ia maju sambil badannya sengaja menyenggol lengan Yanti. Ia tidak pernah takut kepada siapa pun. Sehingga jangankan merasa terintimidasi, gentar pun sama sekali tidak. Risma duduk di pojokan. Ia menekuk sepasang lututnya. Kepalanya menyandar pada dinding. Yanti semakin kesal dibuatnya. Dengan penuh emosi tangannya mencengkeram baju Risma. "Kamu mau jadi jagoan di sini, hah?" Risma membuang muka. Ia sengaja membiarkan Yanti mencengkeram bajunya. Pada hari pertamanya di dalam tahanan, ia tidak mau membuat keributan. "Kamu takut?" Yanti menyeringai. Risma menoleh. Ia menatap mata Yanti tajam, sambil bersiap menghadapi kemungkinan. Yanti menoleh kepada kedua tahanan lain. "Lihat, Guys, anak baru belagu ini merasa ketakutan. Hahahaha!" Kedua tahanan lain terpaksa pura-pura tertawa karena jika tidak, mereka bisa kena masalah. "Lepaskan!" ancam Risma pelan tapi penuh tekanan. "Kamu ngomong apa barusan?" Yanti terkekeh sinis. "Coba katakan sekali lagi. Suaramu mirip banci ketakutan!" Risma melepaskan tangan Yanti dari cengkeraman pada bajunya. Yanti semakin marah melihat keberanian Risma. "Kamu cari masalah ya?" Risma membuang muka, malas menanggapi. Itu semakin membuat Yanti naik pitam. "Jauh-jauh dariku!" hardik Risma. "Badanmu bau comberan!" Amarah Yanti mencapai ubun-ubun. Ia melayangkan pukulan ke arah pipi Risma. Beruntung Risma sempat menangkap kepalan tinju Yanti. Sejurus kemudian ia memelintir tangan Yanti hingga perempuan bertato itu kesakitan. Yanti pantang mengaduh meski kesakitan. Ia terlalu gengsi untuk melakukannya. Maka ia bermaksud mendengkul Risma, namun sebelum ia sempat melakukannya, Risma semakin kuat memelintirnya. "Aduh, aduh!' Yanti menahan sakit. Ia sudah tidak berdaya. "Sudah kubilang, jauh-jauh dariku!" Risma mendorong kuat-kuat Yanti hingga terjerembab. Yanti meringis menahan sakit pada tangan hingga punggungnya. Harga dirinya hancur gara-gara anak baru. Ia harus membalasnya. Maka ia kembali mendekat kepada Risma untuk menghajar. Teng teng teng Polwan yang bertugas jaga, memukul-mukulkan tongkat pada besi jeruji. Matanya melotot kepada Yanti. "Jangan bikin gaduh!" Yanti menahan diri, sekaligus menahan marah pada Risma. Ia akan membalas nanti pada saat yang tepat. *** "Selamat malam, Saudari Risma," sapa Faisal. "Selamat malam, Pak," balas Risma. Risma melihat Faisal lebih segar ketimbang sore tadi. Wajah lelaki itu tampak cerah. Penampilannya juga lebih kasual. Jika tadi penyidik muda itu mengenakan seragam dinas lengkap, kali ini mengenakan hem biru. Itu berbanding terbalik dengan Risma yang tadinya berpenampilan kasual, kini harus memakai seragam resmi tahanan. "Semoga Anda lebih bugar, setelah mandi dan beristirahat." Seulas senyum terkembang dari sudut bibir Faisal. "Sedikit lebih baik," ujar Risma. Kalau Risma perhatikan, Faisal ganteng juga. Wajahnya selalu tampak tersenyum, bahkan pada saat sedang bersikap tegas. Wajah penyidik itu masih tampak baby face meskipun rahangnya terbentuk tegas. Tapi Risma tidak mudah tertarik kepada ketampanan lahiriah. Banyak cowok ganteng yang menyukainya, baik yang terang-terangan atau diam-diam. Semuanya tidak satu pun yang mampu meluluhkan hatinya. Ia justru menyukai Nando, lelaki yang meskipun ganteng namun sikapnya kaku, lelaki yang kini terbaring koma antara hidup dan mati di ICU. Mengingat Nando membuat Risma sedih. Penyesalan dalam hatinya kembali datang. Namun, ia tidak ingin berlarut-larut memelihara perasaan itu. Justru karena itulah ia mendapatkan tambahan semangat untuk segera membuktikan dirinya tidak bersalah. "Baik, kita lanjutkan pemeriksaan tadi sore," ujar Faisal. Ia melirik catatan. "Terakhir kali Anda memberi keterangan bahwa Faizin mengakui dirinya seorang psikopat setelah Anda mengatakan padanya bahwa Anda sudah mendengar cerita itu. Koreksi jika saya salah mengutip keterangan Anda." Risma mengangguk. "Benar, Pak!" "Okey!" Faisal menegakkan badan. "Apa ada lagi yang dikatakan Faizin selain itu?" Ini momen yang Risma tunggu, yaitu kesempatan untuk menyampaikan pengakuan Faizin bahwa lelaki tua itu telah menusuk empat orang. Risma menarik napas dalam-dalam. "Pak Faizin mengakui kalau ia telah menusuk empat orang, yaitu Desi, Hendi, Pak Jenggot, dan Nando." Faisal mengerjap. "Anda yakin seperti itu pengakuan Faizin?" "Yakin sekali," jawab Risma mantap. "Saya dalam keadaan sadar dan sampai sekarang masih mengingatnya dengan baik." Fasial menatap Risma lekat-lekat. Ia selalu begitu ketika ingin mengetahui apakah orang yang ia mintai keterangan berkata jujur atau tidak. "Apa pun keterangan Anda, bisa meringankan, bisa juga berbalik memberatkan Anda." Faisal menegaskan. "Sekali lagi, saya tanyakan, apakah Anda yakin?" "Yakin, Pak!" Risma mengatakan itu lebih tegas dari sebelumnya. Tatapan Faisal terus melekat pada sepasang mata Risma. "Siapa Pak Jenggot?" "Pak Jenggot adalah penjaga kebun teh keluarga kami." Faisal merenung sejenak. Matanya terhunus lurus kepada wajah Risma. "Jika benar Faizin mengakui dirinya yang menusuk keempat orang di sana, pertanyaannya adalah apa kaitan Pak Jenggot dengan Faizin? Apakah mereka saling mengenal satu sama lain?" "Pak Jenggot adalah harapan kami agar bisa menghubungi polisi. Beliau memang tidak mengenal Pak Faizin sebelumnya, tetapi kehadirannya barangkali mengacaukan rencana Pak Faizin, entahlah itu hanya dugaan saya saja." "Dugaan?" Faisal mengerjap. "Karena memang Pak Faizin tidak mengatakan motifnya menusuk Pak Jenggot," imbuh Risma. Faisal melirik layar komputer. Tangannya mengetikkan sesuatu. Sejurus kemudian, ia mengambil map dari dalam laci. Ia membuka map dan membaca isi berkasnya. Risma menarik napas panjang kemudian menghembuskannya melalui mulut secara perlahan. Pemeriksaan ini cukup melelahkan karena menguras pikiran dan tenaganya, bahkan menguji mentalnya. "Berdasarkan hasil autopsi, korban penusukan pertama adalah Desi Ratnasari. Ia meninggal di antara pukul 10:00 sampai dengan pukul 11:00. Korban kedua adalah Hendi, meninggal di antara pukul 18:00 sampai dengan pukul 20:00. Selanjutnya Pak Jenggot yang meninggal sekitar jam dua dini hari." Faisal menatap Risma. Risma menunduk. Hatinya kembali pedih jika mengingat tragedi itu. "Ada rentang waktu sekitar empat belas jam sejak kematian korban pertama dengan kematian Pak Jenggot." Faisal mendesah pelan. "Anda tahu di mana posisi Pak Jenggot sejak terjadinya penusukan korban pertama dengan penusukan yang dialaminya?" Risma mengangkat dagu. "Pak Jenggot bertugas mulai jam sembilan malam, Pak. Namun saya baru ketemu beliau sekitar jam sepuluh sampai jam sebelas malam. Entah di mana ia berada sebelum saya bertemu dengannya." Faisal kembali membaca berkas dalam map di tangannya. "Jadi sebelum Pak Jenggot datang sudah jatuh dua korban?" "Iya," jawab Risma pedih. "Kami menunggu Pak Jenggot datang agar bisa segera menelepon polisi." "Kenapa harus menunggu Pak Jenggot?" Faisal merasa heran. "Kalian punya ponsel bukan? Lalu apakah tidak ada kendaraan di sana?" "Seperti keterangan yang sudah saya sampaikan pada awal-awal, atas ide Pak Faizin kami mengumpulkan semua ponsel. Sayangnya ponsel itu hilang kemudian diketemukan dalam keadaan rusak semua pada sore harinya." Risma menjelaskan. "Kalian ke vila menggunakan kendaraan bukan?" selidik Faisal. Risma mengangguk. "Saya datang lebih awal, sekitar pukul 07:00, diantar kakak saya. Kemudian Pak Faizin datang menggunakan taksi online beberapa menit sebelum jam sembilan pagi. Tidak lama kemudian Hendi datang menumpang mobil katering, disusul Nando dan Desi yang datang ke vila menggunakan mobil yang terparkir di depan vila. Jadi hanya ada satu kendaraan di sana. Itu pun ada yang menyabotase sehingga semua bannya kempes." Faisal semakin penasaran. Ia mulai menemukan beberapa kejanggalan pada pernyataan Risma. "Sejak kapan kalian mendapati ban-ban mobil itu kempes?" "Setelah kami menemukan Desi terkapar di kamar," jawab Risma. "Setelah itu kami langsung berinisiatif untuk menelepon polisi, tapi sayangnya ponsel-ponsel itu hilang dari dalam lemari. Lalu kami sepakat untuk melapor langsung ke polisi, tapi ternyata semua ban mobil Desi kempes." Sepasang alis Faisal terangkat bersamaan. "Apa yang ada di benak Anda waktu itu?" Risma menelan ludah. "Saat itu saya mulai curiga ada seseorang yang telah merencanakan itu semua." "Lalu apa usaha kalian setelah sadar tidak ada alat komunikasi dan alat transportasi?" Risma menahan napas. Ada nyeri dalam d**a saat harus mengingat kejadian itu. "Saya pikir ada baiknya saya ceritakan sejak awal sampai polisi datang." Faisal tersenyum. "Saya memang sengaja belum meminta Anda menceritakan semuanya sejak awal sampai akhir." Risma ingin menanyakan alasannya, tetapi ia tidak berani. "Saya punya cara sendiri untuk menggali keterangan Anda." Faisal kembali tersenyum. Risma menelan ludah. Menurutnya akan lebih jelas jika ia menceritakannya secara kronologis semua kejadian di vila. Namun ia hanya bisa mengikuti proses seperti yang ditentukan penyidik. "Kita lanjut ke pertanyaan selanjutnya," ujar Faisal. Ia menatap Risma. "Kenapa vila yang berada jauh dari permukiman tidak dilengkapi kamera pengawas? Kami sudah mengolah TKP dan menemukan banyak benda berharga di sana yang bisa mengundang terjadinya kejahatan pencurian." Risma sudah menduga sebelummya pertanyaan itu akan diajukan padanya. "Tadinya bangunan itu dilengkapi CCTV. Namun karena ada renovasi semua kamera di sana dilepas dan belum sempat kami pasang kembali." "Belum sempat?" Risma mengangguk. "Iya." Faisal mengangguk-angguk. Selepasnya ia melirik arloji pada pergelangan tangannya. "Satu pertanyaan terakhir untuk pemeriksaan hari ini, karena saya akan memberi kesempatan Anda untuk beristirahat." Risma menarik napas lega. "Anda menyebut ada lima orang peserta reuni di sana, ditambah lagi seorang penjaga perkebunan teh. Pertanyaannya adalah, kenapa hanya Anda yang tidak mengalami penusukan?" Risma tersentak. Ia menduga kalau Faisal merasakan keanehan atas fakta itu. "Pak Faizin bilang pada saya kalau ia memang akan membiarkan saya hidup, tetapi hidup dalam kepedihan." Dahi Faisal berkerut. "Kapan dan di mana Faizin mengatakan itu pada Anda?" "Di mobil waktu mengikat saya, setelah ia mengakui dirinya psikopat dan mengakui kalau dirinya yang menusuk keempat korban." "Kenapa Anda tidak menceritakannya tadi?" tanya Faisal menyudutkan Risma. "Padahal itu satu rangkaian dengan pengakuan Faizin seperti yang Anda sampaikan tadi." Risma kelabakan. "Saya belum sempat menceritakannya, Pak?" Faisal memajukan wajahnya. "Belum sempat atau belum terpikir?" "Belum sempat, Pak!" jawab Risma tegas. "Anda yakin?" Risma mengangguk tegas. "Saya yakin." "Kenapa belum sempat?" selidik Faisal. "Saya merasa sedih dan pikiran saya kacau setiap harus mengingat semua kejadian itu, Pak." Risma menunduk dalam-dalam. Matanya terasa panas. "Lalu menurut Anda, apa alasan Faizin membiarkan Anda hidup?" "Ia bilang kematian saya terlalu sederhana. Ia ingin saya merasakan kepedihan." "Ia yang Anda maksud itu siapa?" "Pak Faizin." "Ini sangat aneh!" ujar Faisal sambil menyandarkan punggung pada kursi. "Faizin membiarkan Anda hidup, tetapi ia sendiri tertusuk!" Risma harus keluar dari situasi terpojokan. "Pak Faizin menusuk dirinya sendiri." "Faizin menusuk dirinya sendiri dalam posisi terlentang di mana Anda berada di atasnya?" 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN