Satu pertanyaan dari penyidik Faisal, menghabiskan waktu lebih dari setengah jam. Risma baru mendapatkan satu pertanyaan, yaitu ada kegiatan apa di vila? Berawal dari itu, pertanyaan-pertanyaan lain perihal itu bermunculan. Yang paling membuat Risma kelabakan adalah ketika penyidik menanyakan alasan apa sehingga merasa kalau Desi dendam padanya. Terpaksa ia harus menceritakan petualangannya di Reyncar sampai tragedi hilangnya mobil pelanggan di sana.
Risma sudah menceritakan dengan jelas dan apa adanya. Namun penyidik Faisal terus mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang menyudutkannya. Ia akui, petualangannya di Reyncar adalah sebuah kesalahan, tetapi ia tidak mau itu dikaitkan dengan tragedi yang ada di vila. Beruntung, Risma tidak keceplosan dengan menyebut kegiatannya di Reyncar sebagai sebuah misi. Itu bisa membuatnya semakin tersudut.
Di mata Risma, Faisal memang memperlakukannya dengan baik. Sebelumnya ia membayangkan penyidik akan galak, namun ia tidak merasakan itu selama lebih dari setengah jam menjalani pemeriksaan. Hanya saja, sebagai penyidik, Faisal memang teliti dan kadang membuatnya tersudut.
"Saudari Risma, Anda masih fit?' tanya Faisal.
Risma mengangguk, tidak yakin.
"Baik, saya akan melanjutkan." Faisal memeriksa layar komputer. "Pertanyaan kedua berhubungan dengan hasil penemuan kami di TKP, di mana petugas kami mendapati Anda sedang berada di atas tubuh korban bernama Faizin yang tertusuk benda tajam."
Risma menelan ludah. Rasanya pahit sekali. Kejadian itulah yang membuat dirinya menjadi tersangka karena dianggap tertangkap tangan.
"Anda yakin siap menerima pertanyaan kedua?" Faisal memastikan.
"Iya, siap," jawab Risma parau. Semangatnya turun drastis.
"Baik." Faisal menatap Risma lekat-lekat. "Apa yang sedang terjadi ketika petugas kepolisian mendapati Anda sedang berada di atas badan korban bernama Faizin yang dalam keadaan tertusuk benda tajam?"
Geram hati Risma jika mengingat kejadian itu. Emosinya menjadi tidak stabil. Tanpa sadar air matanya menetes.
Faisal berusaha sabar, menunggu jawaban Risma. Ia harus memastikan kondisi tersangka di depannya dalam keadaan siap untuk menjawab. Meskipun ia ingin Risma segera menjawab, tetapi demi melihat Risma menangis, ia pun berempati dengan menyodorkan boks tisu.
Risma mengambil dua helai tisu. Ia menggunakannya untuk menyeka air matanya. "Saya harus meluruskan kalau Pak Faizin itu bukan korban. Ia pelaku penusukan terhadap keempat korban sebelumnya. Kemudlan ia menusuk badannya sendiri."
Faisal mengernyit. "Anda punya bukti atau saksi atas pernyataan Anda bahwa Faizin adalah pelaku penusukan keempat korban?"
Risma menggeleng. "Waktu itu tinggal saya dan Pak Faizin di luar mobil. Sementara korban bernama Nando terkapar di dalam mobil."
"Kalau begitu berikan buktinya!" Faisal menaikkan sedikit nadanya.
Risma diam. Ia tidak memiliki bukti apa pun.
Faisal mendengus. "Sekali lagi saya minta Anda memberikan buktinya!"
Air mata Risma kembali mengalir. Ia menutupi wajah menggunakan kedua telapak tangan.
Faisal menyandarkan badan ke kursi. Ia sangat berpengalaman pada tugasnya sebagai penyidik. Ia sudah kenyang mendapati sandiwara para tersangka, dari yang menangis tanpa henti, sampai pura-pura lemas. Namun banyak juga di antara mereka yang memang benar-benar membutuhkan menangis untuk meluapkan emosi dan tekanan. Dari gestur dan tatapan mata Risma, ia melihat tersangka satu ini memang tidak bersandiwara.
"Sudari Risma, saya ingatkan, kita tidak boleh sembarangan menuduh orang lain tanpa bukti dan saksi." Faisal menyodorkan air mineral kemasan botol ke dekat Risma. "Minumlah, Anda membutuhkannya!"
"Terima kasih!" Risma menyeka air mata, kemudian meminum air mineral yang disodorkan Faisal.
"Seperti yang sudah saya katakan, kami menganut asas praduga tidak bersalah." Faisal menekankan empat kata terakhir. "Itulah kenapa kami tetap melakukan penyelidikan, meminta keterangan para saksi dan terduga pelaku, juga melakukan olah TKP. Meskipun status Anda tersangka, tapi kami tidak akan pernah menuduh Anda. Itu ranah para hakim persidangan. Jadi, sekali lagi saya ingatkan saudari Risma agar tidak asal menuduh. Apakah kalimat saya bisa dipahami?"
"Iya," jawab Risma. "Saya minta maaf karena terbawa suasana hati."
"Baik, saya bisa memahaminya!" Faisal meneguk air minum yang terhidang untuknya, sambil memberi kesempatan kepada Risma untuk meredakan gejolak emosinya.
Setelah dirasa cukup, Faisal melanjutkan. "Apa perlu saya ulangi pertanyaan terakhir?"
Risma menggeleng. "Saya masih ingat pertanyaannya."
"Kalau begitu silakan jawab!"
Risma menarik napas panjang. "Sebelum petugas datang, Pak Faizin mengikat tubuh saya di dalam mobil. Ia mengakui bahwa dirinya adalah seorang psikopat. Ia bahkan cerita tentang mendiang istrinya bernama Rumania yang seorang psikiater dan ia sebagai pasiennya. Rumania menikahi dengan Faizin karena yakin Faizin bisa hidup normal dan bermanfaat bagi banyak orang."
Faisal mencatat sesuatu pada kertas di depannya. "Untuk apa Faizin mengakui dirinya seorang psikopat?"
"Saya nggak tahu motifnya. Yang saya rasakan ia seperti ingin meneror saya," jawab Risma. "Tapi yang pasti, sebelumnya saya sudah mendengar dari Desi dan Nando bahwa Pak Faizin psikopat."
"Desi dan Nando cerita apa, bisa ceritakan secara garis besarnya?"
Risma merasa lega. Ini celah bagus baginya untuk menunjukkan kalau dirinya tidak bersalah. "Cerita Desi dan Nando sama, yaitu Faizin seorang psikopat. Hanya saja Nando lebih detail karena sumbernya dari keluarganya."
"Ceritakan dari sisi Nando!"
"Awalnya Nando tidak mempercayai cerita kakeknya yang bernama Arya bahwa Faizin psikopat."
"Harap ceritakan secara kronologis!" tegur Faisal.
"Baik, Pak!" Risma mendengus tertahan. "Sebelum mulai cerita saya perlu sampaikan kalau cerita Nando sesuai dengan apa yang diceritakan Pak Faizin."
Faisal meneguk air minumnya sedikit, sambil terus menatap wajah Risma. Ia selalu bisa mengendus cerita bohong.
"Rumania adalah sahabat dekat dari maminya Nando." Risma memulai cerita. "Rumania curhat kepada maminya Nando tentang ibunya yang meminta Rumania agar bercerai dengan Faizin setelah tahu bahwa memantunya psikopat."
"Siapa nama maminya Nando dan nama mertuanya Faizin?"
"Nando tidak menyebutkannya, Pak. Keduanya sudah meninggal," jawab Risma.
"Oke, lanjutkan!"
"Dari situlah, maminya Nando bilang kepada Pak Arya, kakeknya Nando, bahwa Pak Faizin psikopat. Sejak itu Pak Arya selalu berusaha menjauhkan Pak Faizin dengan keluarganya."
"Memangnya sedekat apa antara Faizin dengan keluarga Pak Arya?"
"Pak Faizin akrab dengan Pak Reynaldi, papinya Nando. Mereka bekerjasama dalam bidang usaha," jawab Risma. "Saya, Nando, Desi, dan Hendi adalah bawahan Pak Faizin pada bengkel milik Pak Reynaldi."
Faisal mengerjap. Cerita yang ia dengar dari Risma semakin komplek. "Okey, lanjutkan!"
"Puncaknya adalah ketika terjadi kasus hilangnya mobil pelanggan seperti yang sudah saya ceritakan kepada bapak tadi." Risma melanjutkan. "Pak Arya mendepak Faizin. Berita pemecatan itu sampai ke telinga Rumania, membuat Rumania terkena stroke dan serangan jantung. Nyawanya tidak terselamatkan."
Faisal menegakkan badan. "Saya masih belum mengerti kenapa Faizin mengakui dirinya seorang psikopat."
Risma menarik napas panjang. "Saya sampaikan soal cerita Nando dan Desi kepada Pak Faizin. Setelah itulah ia mengakuinya."
Faisal menatap sepasang Risma lekat-lekat. "Cerita kamu bisa dipertanggungjawabkan?"
"Bisa, Pak!" jawab Risma tegas. "Pak Arya masih hidup. Kedua kakak Nando juga kemungkinan sudah pernah mendengar cerita tersebut."
Faisal mengerjap. "Anda tahu alamat Pak Arya?"
"Saya tidak tahu di mana tempat tinggal Pak Arya. Cuman saya pernah bertamu ke rumah Pak Reynaldi, papinya Nando."
"Baik, kalau begitu berikan alamatnya!" Faisal menyodorkan secarik kertas pada Risma.
Risma mencatat alamat Reynaldi pada secarik kertas tersebut.
"Baik, terima kasih." Faisal memasukkan kertas berisi alamat ke dalam laci.
Faisal melirik arloji pada pergelangan tangannya. "Sudah jam empat sore. Anda kami beri kesempatan untuk beristirahat sampai habis maghrib. Setelah itu kita lanjutkan lagi pemeriksaannya.
Risma menarik napas lega. Akhirnya ia bisa beristirahat, meskipun ia tidak tahu akan sampai kapan ia harus menjalani pemeriksaan.
Seorang polwan yang sejak tadi mendampingi Faisal, berdiri. "Mari saya antar Anda ke tempat istirahat."
Risma berdiri.
Polwan mendekat dan menggandeng Risma dengan tangan kanan. Sedangkan di tangan kiri tergenggam sebuah baju berwarna oranye yang terlipat rapi. "Mari!"
Risma pasrah saja. Ia berjalan dalam gandengan polwan.
Sampai di depan kamar mandi, polwan berhenti. Ia menyerahkan baju tahanan kepada Risma. "Silakan ganti baju Anda dengan ini."
Risma menerima baju tersebut dengan pandangan bingung. Ia membuka lipatannya dan merentangkannya. Pada bagian depan baju tersebut tertulis: TAHANAN. Di bawahnya ada empat digit nomor yang tidak ia mengerti maksudnya apa.
***
Melalui kaca, Math terus memandangi Nando yang masih koma di dalam ICU. Sebagai seorang kakak, ia merasa pedih hati meyaksikan adiknya sedang berada antara hidup dan mati.
Math adalah kakak sulung Nando. Meskipun selisih usia di antara mereka terpaut sebelas tahun, tetapi mereka sangat dekat. Keduanya memiliki kemiripan karakter, yaitu kaku, lugas, dan tegas. Wajah keduanya juga sangat mirip, hanya bedanya rahang Math sedikit lebih tirus.
Uniknya nama keduanya diambil dari nama pemain sepakbola top pada zamannya. Lothar Matheus adalah kapten tim sepakbola yang membawa Jerman menjuarai Piala Dunia FIFA tahun 1990. Sedangkan Fernando Hierro adalah salah satu pemain berkewarganegaraan Spanyol. Baik Math atau Nando, keduanya sangat menggemari sepakbola.
"Kamu pulanglah, Math!' saran Arya.
Math menoleh. "Aku mau di sini sampai Nando siuman, Opa."
"Kamu punya keluarga. Mereka membutuhkanmu!"
Math diam. Selama dua hari ini memang waktunya tersita untuk menunggui Nando. Ia belum merasa tenang sebelum Nando sadar.
"Kamu hanya makan dua kali sehari!" gerutu Arya. "Bahkan sejak berada di sini kamu belum mandi dan ganti baju!"
Math mengusap wajahnya yang kusam. "Opa saja yang istirahat. Biar aku di sini menjaga Nando!"
"Banyak yang menjaga Nando!" hardik Arya. "Kamu harus pulang, meskipun cuman sehari atau dua hari. Apa kamu tidak kasihan sama istrimu yang tetap mengurus perusahaan juga masih harus mengurus anak-anak di rumah?"
Math diam. Pandangannya terus tertambat pada wajah Nando.
"Nando akan baik-baik saja!" Arya meyakinkan, meskipun ia tidak tahu kapan Nando akan sadar.
Math mendengus.
"Atau kamu mau pulang bareng opa?" Arya membujuk.
Math masih bungkam. Ia tidak ingin pulang.
"Ayo pulang bareng opa!" Arya mencolek lengan Math. "Ada adikmu yang akan menjaga Nando!"
Math menggeleng.
Arya mendengus atas kekeraskepalaan Math.
Pandangan Math terus terarah ke wajah Nando. Hatinya seperti tersayat-sayat jika mengingat nasib Nando yang selalu buruk. Sejak kecil adik bungsunya itu selalu menuruti keinginan opanya dalam segala hal. Nando telah memberikan seluruh hidupnya demi ego opanya. Mirisnya ketika ia melakukan satu kesalahan kecil, Nando sampai harus terbuang dari keluarga. Dan hari ini, Nando harus berjuang antara hidup dan mati.
Meskipun dekat, Nando tidak pernah mengeluh kepada Math. Nando adalah tipe petarung yang tidak kenal menyerah. Math berharap adiknya itu juga tidak akan menyerah di ICU.
"Beneran kamu tidak akan pulang?"
Math terkesiap. Ia menoleh kepada Arya. "Opa kalau mau pulang, pulang aja."
Arya mendengus kecewa. "Baiklah, tapi jangan lupa makan!"
Math mengangguk.
"Opa pulang dulu ya?" pamit Arya.
"Aku anterin sampai depan!"
"Tidak usah, opa kan ada asisten!" Arya melambai kepada asisten pribadi yang sejak tadi ia suruh istirahat di kursi yang tidak jauh darinya.
Dengan sigap, sang asisten mendekati tuannya. "Bapak mau saya antar ke mana?"
"Kita pulang ke rumah!"
Asisten mengangguk kepada Arya. Baru saja ia mendorong kursi roda Arya sejauh empat meter, dua polisi berjaket hitam mencegat mereka.
"Selamat petang!" Salah satu polisi menyapa ramah kepada Arya.
"Selamat petang!" Arya mengangguk. Ia bisa menebak kalau kedua orang di hadapannya adalah petugas dari kepolisian, berdasarkan penampilannya.
"Maaf mengganggu," ujar salah satu polisi. "Apa benar Anda adalah Pak Arya, kakek dari Nando?"
Arya mengerjap. "Benar. Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami dari kepolisian ditugaskan untuk menyampaikan surat kepada bapak." Polisi menyerahkan surat kepada Arya.
Arya mengambil surat dari dalam amplop. Ia membacanya secara perlahan. Selepasnya ia tersenyum. "Sudah saya duga!"