Saat di Paris...
Adrian berlibur disuatu daerah kecil diparis, karena kejadian penyerangan itu, Adrian memilih menyelamatkan sahabatnya.
"Gimana keadaan Nichole Vin?" tanya Adrian.
"Membaik, gue udah ngabarin keluarganya segera menjaga Nichole, jika sembuh segera menyusul kita." jelas Kevin.
"Syukurlah, pekerjaan kita lebih berbahaya setelah ini." jawab Bram.
"Mark mengancam Edward." Kata-kata Bram menghentikan aktifitas makan malam Fene.
"Mark?"
Darah Fene mendesir.
"Ya... Mark... dia menemukan data kita." jelas Kevin.
Fene terdiam.
'Apakah itu Papi?'
Fene tak tenang, mengingat bisnis Papi di Swiss.
"Siapa nama keluarganya?"
Fene bertanya serius.
"Gue nggak kenal, dia mengetahui semua data kita."
Fene terdiam, mengalihkan pikirannya.
Keesokannya....
Veni mengajak Fene berjalan-jalan menikmati suasana pagi didesa.
Memesan s**u coklat hangat kesukaan mereka.
"Lo udah jadian sama Bram?"
mengusap-usap tangan yang dingin.
"Penting yah?" senyum Fene.
"Hmmmm... setidaknya memberi ketenangan buat gue, terutama Adrian.
Bram juga sama kayak lo, tidak begitu banyak teman." tawanya.
"Nikmati aja Ven, komitmen kami terus bersama."
Fene, Veni saling tatap.
"Ooogh.... semoga, gue doain." senyum Veni.
Fene dan Veni saling bercerita, mereka dikagetkan dengan kehadiran Adrian.
Menarik tangan Fene,
"Ven sebentar, aku ada urusan."
Veni tersenyum melihat Adrian berlalu memberi tanda setuju.
Jantung Fene berdegub kencang melihat bibir Adrian akan mengeluarkan pertanyaan serius.
"Mark Claire Zurk itu Papi kan?"
Bola mata Fene membesar.
"Ya... kenapa?"
"Papi otak penyerangan kita beberapa hari ini, di Netherland dan Paris. Jack adalah orang bayaran Papi."
Fene menutup bibirnya tidak percaya.
"Dri... gue tau Papi, nggak mungkin Papi mau membunuh kita semua. Gue anaknya." jelas Fene.
"Daddy akan menyusul kita ke Swiss, kita semua berangkat ke Swiss hari ini."
Fene mengangguk, melihat Adrian berlalu membawa Veni meninggalkannya, sangat perih terasa.
Swiss...
Kevin memeluk erat tubuh Adriana, mengusap punggung Adriana yang sangat cantik.
Adrian, Bram merindukan Mami mereka, tak henti-hentinya ketiga pria itu bergantian memeluk Adriana, mencium tangan bahkan menggoda.
"Mi... Ini Veni, Veni Smith." senyum Adrian.
"And... Nona Fene... Fene Claire Zurk."
Adrian mundur membiarkan Fene memeluk Adriana.
"Ooooh.... Fene... my sweety... my girl, you very beautyful." mata Adriana berembun melihat gadis berdiri dihadapannya.
"Miss you sweety... long time no see you girl." tangis Adriana.
Bram, Adrian tersenyum menyaksikan drama Fene dan Adriana melepas rindu.
Fene tersenyum, berulang kali mencium pipi Adriana.
"Udah aaaagh.... kayak di sinetron."
Kevin merebut tangan Adriana, merangkul manja membawa mereka semua keruang makan.
"Daddy akan tiba jam berapa Mi?" tanya Adrian.
"Mungkin sebentar lagi. Penerbangannya sudah beberapa jam yang lalu." jawab Adriana.
"Mi... bisakah Veni ke kamar mandi? ada urusan wanita." senyum Veni.
"Ya... Ada di sebelah sana,dikamar Adrian."
Adriana menunjuk salah satu ruangan.
Veni berlari kecil menarik tangan Adrian segera membawanya kekamar mandi.
"Apa kamu akan mandi bersama ku?" goda Adrian.
"Ya nggaklah.... tunggu disini." ejek Veni menutup pintu dengan cepat.
Adrian mengedipkan mata tersenyum melihat Veni seperti anak kecil.
Bram mencari sesuatu di laptopnya, melacak data dihp Fene, tiba-tiba hp Fene aktif, telah mengirimkan perubahan data secara acak ke Mr. Huang.
Kevin, Veni, Fene dan Adrian bercengkrama hangat diruang makan.
Mr.Edward Lincoln hadir dengan lima orang bodyguard kulit hitam dan kulit putih berotot besi, membawa satu sniper.
Adrian meminta Veni beristirahat dikamar, agar tidak mendengar pembicaraan mereka.
Bagi Adrian, Veni tidak boleh mengetahui apapun tentang pertikaian mereka.
Tidak menutup kemungkinan keadaan ini sedang mengancam nyawa orang yang ada didalam rumah itu.
Edward Lincoln.....
"Bram... Sudah tau dimana hp Fene tertinggal?"
Edward menatap Bram.
"Sudah Dad, hp Fene tertinggal di supermarket tempat kami beristirahat." tunduk Bram.
Bola mata Fene membesar, mendengar ucapan Bram.
"Hp itu kini di tangan Mark Claire Zurk, dia telah mengirim perubahan data pada Mr.Huang. Saya sudah melacak keberadaan Mark, dia berada di Italy bersama Marisa istrinya." mata Edward tertuju pada Fene.
"Bukan begitu Fene Claire Zurk?"
Edward tersenyum sinis menganggap Fene telah berkhianat membocorkan data.
Fene terdiam mengingat kejadian, karena dia memang tidak tau apa-apa.
Semua mata tertuju pada Fene.
"Lo menghianati kita semua Fen?" tegas Adrian.
"Lo lakuin ini? lo ingin membunuh kita?"
Adrian menghadiahkan beribu pertanyaan menatap mata Fene nanar dihadapan Bram, Adriana, Kevin dan Edward.
"Jujur Fen..." bentak Adrian.
Fene menatap Adrian tanpa ada rasa takut.
"Gue nggak tau sama sekali, dari awal gue bilang, gue nggak tau siapa Mark, siapa Jack. Gue coba mengingat, jika benar itu Papi, gue akan membuat perhitungan, gue baru dibisnis ini."
Fene meyakinkan sahabatnya.
"Fene..." bentak Adrian tidak percaya.
"Adrian, Fene sudah menjawab, hp Fene, gue meninggalkan tanpa sengaja, bukan Fene." sarkas Bram membela Fene di depan Edward.
"Tidak dad... Bram bohong, ini pasti akal-akalan Bram, karena perasaannya terhadap Fene." kesal Adrian.
Tatapan Edward sinis kepada Bram mencari tau kebenaran ucapan Adrian.
"Ya dri... Gue ada disana saat itu, ini serba kebetulan." bela Kevin.
Edward menenangkan anak-anak asuhnya.
Edward mendekati Fene memegang kedua bahu Fene.
"Fen... kamu tau apa sebenarnya bisnis Papi mu?"
Edward melunak.
"Fene tidak tau menau tentang bisnis Papi. Fene focus mengurus bisnis di Jakarta. Fene sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama, Dad." jelas Fene kepada Edward.
"Hmmmm.... kalau begitu, Fene akan segera ke Italy menemui Mark." ide Edward.
Bram menolak,
"ini sangat berbahaya, kenapa mesti Fene, kenapa tidak sama-sama dad?"
"Daddy keberatan dengan alasan Daddy harus melindungi kalian." kata-kata Edward terhenti,
"Biarlah Fene menyelesaikan semua, Fene anak Mark, tidak mungkin Mark akan melukai Fene, walau saya tau Mark, Mark Claire Zurk yang telah menembak Chiang Lim."
Edward tertunduk matanya memerah, mengenang Chiang Lim sahabatnya.
Adriana tertunduk membendung air mata mengenang kejadian itu, Fene shook mendengar penyataan terduduk lesu dikursi ruangan Edward.
Adriana memahami kondisi Fene. Dia melihat gadis itu menghela nafas panjang.
'Semoga kamu kuat yah Fen... suatu saat kamu akan tau cerita sebenarnya.' batin Adriana.
Fene tidak dapat membendung air matanya.
Bram menenangkan Fene, melihat tatapan Adrian menahan kemarahan, emosi pada Mark Claire Zurk, tapi matanya tetuju ke Fene.
"Dad... mengapa Mark tega membunuh Papi aku.?" tanya Adrian lirih.
"Persahabatan mereka sejak kecil, Mark mencintai Mamimu dalam diam dri, Mark tidak pernah sedikit pun mencurahkan isi hatinya.
Mami menikahi Chiang Lim, Mark menjauh dari Mami.
Berpura-pura baik di depan Mamimu dan kami semua, saat Chiang Lim dalam perjalanan menuju Shanghai, sniper Mark menembak Chiang Lim dibandara. Saya lebih dulu mengenal Chiang Lim, Mark menghianati kami, kelicikannya luar biasa agar mendapat keuntungan lebih.
Mengenai kebangkrutan, hutang piutang adalah sabotase Mark untuk mengelabui Adriana.
Saat itulah saya mengambil keputusan menikahi Adriana agar melindungi kalian semua dari Mark, dugaan saya benar.
Mark akan menyakiti orang-orang saya agar mendapatkan Adriana."
"Tapi.... Papi mencintai Mami.
Kami keluarga bahagia, dad."
Suara Fene serak, meyakinkan diri membela keluarganya.
"Ya Marisa diam, mendapati Mark tidur dengan Adriana." sambut Edward dengan kata-kata menyayat hati.
Adriana tertunduk didepan anak-anak.
Fene tersentak, mendengar ucapan Edward, mengunci bibirnya.
'Ternyata karma mempermainkan kita semua' batin hati Fene.
Adrian dan Bram terdiam, menatap Fene dalam.
Ingin rasanya mereka memeluk Fene.
Kevin menatap Fene dari kejauhan, mencoba mendekati, tapi kaki ragu untuk melangkah.
Tak menyangka, semua kejadian saat ini, begitu sama seperti pengalaman orang tua mereka.***