Sederhana...
"Lo makin tampan, Jasmine mana?" tanya Fene lembut.
"Jasmine lagi di Paris, Nichole ada pemotretan, Jasmine menemani Nichole."
Bram memeluk Fene seperti anak kecil baru menemui ibunya.
"Jangan baper." ketus Bram.
Bram mencium semua wajah Fene tanpa ada rasa malu dihadapan Adrian.
"Hmmm, gue nyerah deh, lo pemenangnya." kekeh Adrian.
Sesekali mengecup jemari Fene masih terpasang inpus.
"Jangan tidur lagi yah sayang."
Pinta Bram berbisik ketelinga Fene.
"Hmmm, kamu tu yah, gimana anak kita sayang?" tanya Fene tersenyum kearah Bram.
"Baik, sudah mulai ada perkembangan, mami Irene tidak pernah melepasnya." bisik Bram.
"Hmmmm, karena ada cucu baru, anak didiamin." kekeh Adrian.
"Bukan bro, Brian junior lagi perawatan, sebentar lagi mereka kesini." jelas Bram.
"Gue seneng lo udah bisa bersuara, gue sayang ama lo, gue cinta." bisik Adrian diwajah Fene disaksikan oleh Bram.
"Hufffffh, jangan sampai lo gue tendang keluar Adrian.
Lo ambil kesempatan mulu yah." sindir Bram.
"Udah deh aaaagh, jangan cemburu lagi, Adrian ini adik kamu sayang." bela Fene manja.
"Sepertinya kamu nunggu Adrian baru siuman." canda Bram.
Adrian mendengar Bram meracau hanya terkekeh.
Kevin menutup telfonnya, melihat Fene sudah bersuara, Kevin mendekati mereka sedang bercengkrama.
"Sweety... I miss you." mata Kevin basah.
Fene menyambut Kevin.
"Gue kangen ama lo, jangan tidur lagi yah, gue kepikiran mulu sama lo sweety." isak Kevin lagi.
"Iya sayang."
Senyum Fene menyeringai.
Wajah Fene masih terlihat pucat.
2 minggu tertidur tanpa tau kesusahan hati sahabatnya, putus asa, hingga frustasi.
Bram jarang tersenyum.
Hanya menyambangi Brian Junior diruangan sebentar, balik lagi ke ruangan Fene.
Menangis dalam pelukan Edward dan Hanz.
Edward dan Hanz mendengar Fene siuman, segera menuju kamar putri dan menantunya.
Memeluk tubuh Fene yang belum sepenuhnya duduk.
"Perlahan yah sayang, jangan dipaksa duduk, nanti suster menuntun kamu."
Kecup Edward menenangkan Fene.
"Iya dad, makasih, sudah menjaga aku." senyum Fene.
"Sweety, Brian akan dibawa ke ruangan kamu." senyum Hanz.
"Makasih pi, aku senang papi bisa menemani aku."
Fene menatap wajah Bram yang mendekapnya erat.
Hanz dan Edward tersenyum bahagia.
"Oya, siapa orang tua baptis Brian Lincoln?" tanya Hanz.
"Hmmm, aku papi."
Senyum Adrian pada Fene dan Bram dengan wajah memelas.
"Lo mana bisa, tentu Kevin dan Nichole." ejek Bram.
"Kok... gue nggak bisa?" tanya Adrian membulatkan mata.
"Mesti diperjelas kah?" sambung Kevin.
"Iya, gue tau lo pilihan Fene dan Bram, karena nama keluarga." rungut Adrian.
"Helloo, lo sudah memutuskan bareng dengan Jasmine, palingan bisa jadi pendamping Brian saja." kekeh Kevin.
"Oke. Brian Lincoln anak kita, kita akan menjadi orang tua sepenuhnya, saat acara baptis besok gue akan mendampingi, walau lo jadi ayah baptisnya, gue nggak mau kehilangan moment." tegas Adrian membusungkan dadanya.
"Iya dong, Brian Lincoln adalah cucu Edward Lincoln dan Hanz Parker." kekeh Bram.
"Keponakan Kevin Stuard." tambah Kevin.
"Anak gue... Adrian Moreno Lim, keturunan Cina dan Swiss."
Suara Adrian melemah.
"Sedih amat gue, istri Indonesia."
Sedih Adrian menunduk.
"Heeeeiii, maupun lo anak Cina, Eropa, atau anak siapapun, bagi gue lo anak Edward Lincoln."
Kevin merangkul Adrian.
Bram turun dari ranjang, memeluk Adrian.
"Tidak ada yang beda, lo tetap adik gue paling baik." hibur Bram.
Beberapa jam berlalu mereka bercengkrama, kondisi tubuh Fene makin membaik, atas izin dokter Lois, dan dokter spesialis anak dari ruangan NICU.
Putra Fene sudah boleh dibawa keruangan Fene.
"Selamat datang Brian Lincoln."
Suara Irene terdengar jelas di temani suster membawa box baby.
Irene menggendong Brian ke pangkuan Fene.
"Ooooowgh, my hero, my boy." tangis Fene pecah melihat baby Brian.
"Bram... wajahnya tampan sekali, mirip kamu."
Suara serak Fene membuat Bram kembali mendekat.
"Iya dong sayang... Brian special edition..." kekeh Bram.
"Kamu tu yah, ada aja."
Fene mengelus wajah baby Brian.
"Brian foto copy Bram kecil, aku selalu menggendongnya." kenang Edward.
"Aaaaagh, daddy jangan menangis. Brian akan selalu bersama daddy." senyum Fene.
"Hmmm, sama papi dan mami dong sayang." mohon Hanz.
"Iya... sebulan sama papi, sebulan ama daddy." kekeh Kevin.
"Hmmm, atur aja deh, gue nunggu istri-istri kalian pada hamil aja." tambah Fene.
"I love you." bisik Fene pada Bram didepan keluarganya.
Bram merasa senang menangkup wajah Fene.
"Makasih, sudah terus berjuang buat kita semua. I love you to."
Bisik Bram ketelinga Fene, sambil menatap baby Brian.
"Berapa beratnya mi?" tanya Fene dengan mata berkaca-kaca.
"Yang penting 2 minggu ini dia sudah membaik, maaf dia tidak bisa lama-lama disini, dia masih perawatan intensif, ini karena kamu baru siuman, jika kamu sudah membaik, kita keruangannya."
Irene mengecup kepala Fene dengan penuh kasih sayang.
"Pi, Marisa sudah dibawah, tadi dia nelfon saya."
Suara Irene terdengar sangat lembut di telinga putrinya.
"Iya, tadi sopir yang jemput."
Senyum Hanz.
"Mami bawa Brian yah.
Kamu istirahat, Bram jangan gangguin Fene, biar dia istirahat."
Canda Irene mencubit manja menantu kesayangannya.
"Hmmmm, aku masih kangen mi."
Bram mencuri ciuman bibir Fene.
"Udah, sana, aku mau kangen-kangenan sama papi."
Pinta Fene manja.
"Iya, aku di depan yah sayang, nyusul Adrian dan Kevin."
Kecup Bram pada Fene dan Brian.
"Iya..."
"Pi, mi... makasih yah, sudah mau menjaga aku." isak Fene.
"Oooogh, sweety kamu wanita paling beruntung, saat kamu begini, banyak yang peduli pada mu. Holi, Veni dan karyawan kantor setiap hari video call. Jasmine, Nichole, selama di Paris mereka video call terus.
Adrian dan Kevin, selalu bertanya keadaan kamu.
Mami Marisa akan kesini menjagamu dan Brian.
Kami semua mencintai mu sweety."
Kecup Hanz pada puncak kepala Fene.
"Sudah, sini babynya, mami bawa. Nggak boleh lama-lama."
Irene menggendong Brian kembali, meletakkan di box baby, membawa keruangan baby.
"Pi, papi disini yah, jangan kemana-mana."
Pinta Fene manja.
"Iya, papi disini menemani mu, istirahatlah kami semua akan menjagamu."
Semoga segera membaik, agar aktifitas yang direncanakan berjalan sesuai harapan.***