Part 15

2003 Kata
Hari-hari berlalu seperti biasanya, Aira menikmati liburan dengan tenang begitupun Langit. Bedanya untuk sekarang, Aira tidak lagi merindukan sosok Zaidan, ia tidak akan lagi terlibat drama sulit pergi dari kawasan rumahnya karena ingin terus melihat Zaidan setiap hari. Dulu, Aira sesulit itu jika Bunda mengajaknya pergi berlibur atau sekedar menginap di rumah saudaranya. Sekarang, justru ia yang semangat sekali untuk berpergian bahkan merencanakan menginap beberapa hari ke depan. Walaupun Langit belum juga ada kabarnya, entah memang ponselnya masih rusak atau memang Langit tidak berminat sama sekali pada Aira. Itu hak Langit, yang terpenting Aira sudah menunjukkan usahanya. Berhasil atau tidak itu bukan masalah. “Mau menginap berapa hari?” Bunda tiba-tiba saja berdiri di ambang pintu kamarnya sambil melipat tangan di dadanya. Aira menghela napasnya, ia terbawa suasana melamun hingga tak terdengar suara langkah kaki ke kamarnya. “Mmm..” Aira masih berpikir. “Mau berapa hari?” Tanya Bunda lagi. “Bunda berapa hari?” Bundanya menggelengkan kepala, ia berdecak pelan. “Ditanya malah balik nanya, dosa apa Bunda punya anak kayak kamu?” Aira langsung mengerutkan dahinya. “Ih salah satu menutupi semua kebaikan aku.” Bunda menghela napas lagi. “Bunda sekitar dua atau tiga hari, kamu mau gimana?” Aira manggut-manggut saja, ia menatap Bundanya sambil berpikir. “Bun, kayaknya aku enggak bisa dipastiin deh. Niat awal sih satu minggu, kalau diperpanjang enggak apa-apa kan?” “Kamu mau nginep di rumah Bibi?” Aira mengangguk cepat. “Iya, Bibi Nura.” Bunda langsung memasang wajah bingung, ia beranjak dari ambang pintu mendekati Aira yang sedang duduk di atas tempat tidur. “Kok Bibi Nura? Enggak mau ikut ke rumah Nenek?” Aira cengengesan saja, ia tahu mana yang akan membuatnya nyaman dan mau berlama-lama. “Sehati aja deh, habis itu aku ke rumah Bibi.” “Enggak enak lho, kamu susah banget sih.” “Iya judulnya rumah Nenek, tapi Neneknya udah enggak ada kan. Jadi beda lagi, Bunda.” Ucapnya sambil tersenyum tipis. Bunda memutar bola matanya malas sambil menghela napasnya berkali-kali, ia tak mengucapkan apa-apa lagi. Setelah Aira berbicara, Bunda langsung membalikkan badannya dan berjalan pergi dari kamar Aira. Sepeninggalan Bunda dari kamarnya, Aira masih sibuk memilah baju-baju yang akan ia bawa. Biasanya kalau begini ia akan membutuhkan waktu lama, setidaknya untuk membayangkan ia akan cocok menggunakan pakaian apa di berbagai situasi. Khawatir nanti anak-anak dari Bibinya akan mengajaknya main keluar, atau berolahraga, sekedar main biasa atau yang lainnya. Jadi, Aira tidak kesulitan dalam mengenakan pakaian. Tiga puluh menit berlalu, Aira masih bolak-balik memilih kerudung mana yang akan dipakai. Ia mencari kerudung yang bisa dipasangkan dengan warna apapun. “Oke, tinggal dilipat.” Ucapnya sambil melipat-lipat bajunya. * Perjalanan yang ditempuh kira-kira sekitar satu jam, Aira lebih dulu diantar ke rumah Bibi Nura barulah setelah itu Ayah akan mengantarkan Bunda ke rumah Nenek. Liburan kali ini tidak mereka habiskan dengan berjalan-jalan, karena Ayah tidak sedang ada di rumah. Ayah harus kembali ke luar kota malam ini, itu sebabnya Bunda diperbolehkan menginap lebih lama dari biasanya. Aira masih saja ingat kalau ini sudah menginjak liburan ketiga, beruntung ia sudah melupakan Zaidan. Setidaknya ia tidak akan melewati liburan kali ini bersama perasaan seperti dua kali liburan kemarin, hampa dan kosong. Ia hanya bisa memperhatikan Zaidan dengan kekasih barunya, dan itu luar biasa rasanya. “Bi? Lala ke mana?” Tanya Aira yang baru saja menaruh tasnya di dalam kamar. “Main kayaknya.” Aira berdecak. “Main mulu, Bi.” “Coba chat aja, Ra.” Aira mengangguk, ia langsung berjalan menuju ruang televisi sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Ia mendudukan bokongnya di sofa berwarna coklat, matanya melirik ke atas melihat jam dinding yang ditempel di atas televisi. “Jam tiga.” Gumamnya sendirian. Ini yang ia tidak dapatkan ketika menginap di rumah Nenek, setidaknya kalaupun ia tak ada teman di rumah Bibi Nura ia tetap bisa leluasa beraktivitas tanpa rasa malu. Tidak seperti di rumah Nenek, ramai oleh cucu-cucu Nenek yang Aira tidak merasa satu frekuensi dengan mereka. Alhasil jika ia hari ini ada di sana, Aira hanya mengurung diri di kamar dan keluar jika dipanggil oleh Bundanya. Bibi yang tengah masak di dapur, membuat Aira bisa mencium wanginya masakan yang tengah Bibi buatkan. Perasaan lapar semakin menjadi, ia memang tidak makan sebelum berangkat ke rumah Bibi. “Ra, makan gih.” Ucap Bibi yang tiba-tiba ada di belakangnya. Aira menoleh ke belakang. “Iya, nanti aja.” “Lapar juga kan, udah makan di rumah?” Aira menggeleng. “Belum sih, Cuma masih mager aja.” Bibi mengangguk. “Yaudah nanti kalau mau makan ambil sendiri aja di dapur.” Aira mengangguk setuju sambil memperlihatkan ibu jari tangannya pada Bibi Nura. Setelah itu ia kembali memainkan ponselnya, barang kali Lala sebentar lagi pulang dan akan makan bersama denganya. * “Dit?” Sang pemilik nama menoleh, ia masih sibuk mengunyah roti yang ada di mulutnya. “Si Langit belum megang hp juga?” Tanyanya dengan nada curiga. Radit menaikan bahunya, mengisyaratkan bahwa ia tidak tahu apa-apa. “Ih serius, kayak basi enggak sih gitu.” Radit menelan lebih dulu kunyahan roti yang ada di dalam mulutnya, barulah ia membenarkan posisinya. “Apa yang basi sih?” “Iya katanya dia kan mau nyoba gitu ke Aira, tapi gue rasa kayak basi karena udah kelamaan.” “Iya sih, basi buat Aira ya bisa aja si Langit juga udah males.” Alika langsung mengerutkan dahinya, ia langsung memukul bahu Radit. “Sembarangan.” “Realita.” Ucap Radit. “Iya tapi lo kasih support lah, minimal lo juga tanya sama Langit.” Balas Alika tak mau kalah. “Iya gue mau nanya lewat apa sih? Lo sendiri yang bilang Hp nya rusak, terus gue hubungin kewat apa? Telepati?” Alika tertawa, untuk hal begitu saja ia anggap lucu. “Elu mah enggak bisa banget serius deh.” “Apaan sih gue serius, Alika.” “Iya sih, tapi yaudah lah.” “Terakhir Langit bilang apa emng?” Alika terdiam, ia mencoba mengingat-ngingat. “Dia bilang ya bakalan nyoba gitu kalau hpnya udah selesai, udah bener lagi.” Ucap Alika. “Tenang aja, kalau dia ada niat enggak akan lupa juga sama niatnya. Aman sentosa.” Balas Radit mencoba menjelaskan sifat laki-laki pada umumnya. “Emang gitu ya?” “Lik, cowok tuh mau selama apapun lost ya kalau di hatinya udah tertanam ya bakal dia lakuin. Apalagi modelan Langit, jaga amanah banget, jaga hati banget, lo sendiri tahu gimana dia dulu ke Karin. Emang dasar Karinnya aja cari yang good looking.” Alika tercengang melihat Radit, ia tidak pernah sedetail dan sebijak itu perkataannya. “Bangga ih gue.” “Bangga apaan?” Alika berdesis. “Baru gue puji enggak peka banget.” “Iya lo enggak jelas mujinya.” Balas Radit tidak mau kalah. “Ah udahlah gue mau masuk dulu.” Ucap Alika sambil berdiri dan meninggalkan Radit di teras. * Andara baru saja memarkirkan motornya di halaman rumah Langit, ia bisa melihat Langit sedang duduk di teras sambil melamun. Biasanya kedatangan Andara akan disambut olehnya dengn cara mengusir Andara untuk pulang, tapi kali ini beda ia justru hanya diam saja. “Heh? Diem aja lo!” Tegur Andara sambil melempar tas selempang kecil miliknya. “Enggak kenapa-napa.” “Halah enggak kayak biasanya lo.” Ucap Andara sambil duduk di samping Langit. “Gimana emang biasanya?” “Biasanya lo baru aja liat gue dari jauh, udah berdiri aja sambil nutup gerbang terus ngusir gue deh.” Andara memperjelas kebiasaan Langit. Langit terkekeh. “Lagi males aja, abisnya lo diusir juga tetep masuk. Jadi ngapain gue cape-cape lagi.” Andara menghela napas, jelas Langit tidak sedang baik-baik saja saat ini. Ia memang dingin, tapi tidak seacuh ini perihal lelucon dengan Andara. “Oke kalau enggak mau cerita, gue enggak akan bagi makanan gue sama lo.” Ancam Andara sambil mengeluarkan dua kotak ayam pedas kesukaan Langit. “Gue kangen Karin.” Ucapnya tiba-tiba saat Andara baru saja hendak membuka salah satu kotak makanan. “Hah?” “Iya gue salah, Cuma kangen aja kok.” Andara menelan ludahnya, baru kali ini ia melihat Langit bersedih lagi. “Terus lo mau apa?” “Enggak mau apa-apa, Cuma mau mengenang aja. Nanti juga hilang sendiri.” Andara menaikkan sebalah alisnya, ia menoleh menatap Langit dengan tatapan bingung. Lantas matanya kembali memandangi satu kotak makanan berisi ayam pedas, ia meraihnya dan memberikannya pada Langit. “Tuh!” “Buat lo aja.” Balas Langit dengan ekspresi datarnya. “Udah gue bawain, susah-susah bawa motor sendiri, malah ditolak. Gila ya lo!” Kesal Andara sambil menatap Langit penuh emosi. “Bingung.” “Bukannya lo mau nyoba sama Aira?” Tanya Andara dengan hati-hati. Langit menghela napasnya. “Gue Cuma kangen, bukan berarti bakalan stuck ama Karin.” “Tapi kangennya lo tuh kayak galaunya orang-orang gagal move on tahu enggak, terlihat hidup enggan mati pun segan.” Langit terkekeh. “Gue kangen aja sama teduh matanya, manisnya dia kalau senyum, definisi perempuan banget.” “Iya karena terlalu perempuan lah, dia nyakitin lo dan memposisikan diri sebagai yang paling benar.” Balas Andara yang sudah kesal jika mengingat bagaimana perlakuan Karin kepadanya. “Lang? Kalau lo masih menjadikan dia standar lo bakalan kehilangan orang-orang yang tulus sama lo. Jangan berharap percobaan lo ke Aira akan berhasil, gue rasa bakalan gagal total. Ya lo bakalan berhasil ketika lo menemukan perempuan yang enggak jauh beda sama Karin.” “Hmm..” “Serius, Lang. Tapi, ketika lo menemukan perempuan itu. Lo bakal ngerasain sakitnya lagi sama persis kayak lo dulu sama Karin.” Langit terdiam, apa yang Andara ucapkan memang tidak salah. Tapi, perasaan tidak ada yang bisa mengerti bahkan diatur sedemikian rupa. Semua datang tiba-tiba, begitupun hatinya yang maish tertambat di Karin, “Yang suka dan merasa bangga kalau milikin lo itu banyak banget, nama lo udah rame banget di kalangan Adek kelas. Mati satu tumbuh seribu, Lang..” Langit hanya mengangguk saja, ia tetap menatap lurus ke depan tanpa berniat menoleh sama sekali. “Kalau emang enggak bisa lupain dan ikhlasin dia, jangan coba-cona hubungin Aira ya. Jangan.” Andara mengingatkan Langit. “Kenapa?” “Dia udah suka duluan sama lo, enggak perlu ada yang ditebak lagi. ini Cuma masalah lo aja gimana nyikapinnya dengan baik tanpa menimbulkan masalah sedikitpun.” Langit meghela napasnya. “Berat banget.” “Gue bukan jelekin atau pro sama Aira, gue jelas sama-sama perempuan ya. Lo enggak bisa kayak gini. Apa yang lo mau gue rasa emang enggak ada di diri Aira, lo bakal nemuin sesuatu yang lain dari biasanya. Bisa dibilang berbanding terbalik dengan sesuatu yang pernah lo miliki sebelumnya.” Andara tidak pernah bosan mengingatkam bahkan mengulang lagi kata-katanya agar tidak membuatnya jatuh ke lubang yang sama. Setelah mengucapkan kalimat itu, Andara lantas bangun dan berjalan masuk ke dalam rumah Langit. Ia sedang malas berbincang dengan orang semacam Langit yang terlalu batu unuk dijelaskan selembut apapun. * “Dia jauh banget buat gue.” Ucap Aira pada Lala yang kini sedang duduk di hadapannya sambil menyondongkan badannya ke arah kipas. “Jauh gimana?” “Ngerasa enggak pantas.” “Semua sama, tergantung dari mana kita memandang. Lo enggak jelek, yakin lo bisa dapetin yang lebih dari siapapun.” “Ini tuh benar-benar menggapai Langit, keliatannya deket banget. Tapi, makin diulur dan makin jauh tangan menjangkau ia baru sadar kalau Langit sejauh dan berlapis-lapis hingga tidak kuasa menggapainya.” “Anggap aja ini usaha lo buat lupain Zaidan juga, seenggaknya lo gagal dari dia sedih pun jelas dia terlampau jauh dari lu. Dibanding lo nangisin dan galauin Zaidan yang terlampau jauh di bawah dibanding lo.” Aira tersenyum mendengarnya, kali ini akan ia pergunakan waktu sebaik mungkin. Berusaha semaksimal itu dan dibantu dengan doa pada Yang Kuasa. Jalan yang baru memang akan ditempuh lebih sulit dibanding sebelumnya, tapi setidaknya Aira tahu betapa terjalnya setiap jalan yang melewati banyak tikungan tajam dengan dihadapkan jurang yang dalam. Jangan sampai, jangan sampai ia jatuh lagi ke lubang yang sama.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN