Part 16

2159 Kata
Sambil menuangkan air hangat ke dalam gelas, matanya sesekali menoleh ke ponsel yang ia simpan di atas meja. Kebiasaan Aira yang sulit dihilangkan adalah tidak bisa jauh dari ponselnya sendiri, padahal sekalipun memiliki pacar ia bisa mengabari lebih dulu sebelum mengerjakan sesuatu tapi tetap saja ponsel akan ia bawa kemana-mana. Ia tipikal perempuan yang hal sekecil apapun akan ia ceritakan demi sebuah komunikasi dan terhindar dari kesalahpahaman, sayangnya Aira selalu mendapatkan laki-laki yang kurang bersyukur. Setelah selesai menuangkan air ke dalam gelas, Aira membawa gelas itu ke teras dengan tangan kanannya dan tangan kirinya yang tak lepas dari ponsel. Pagi ini cuaca di rumah Bibinya cukup dingin, berbanding terbalik dengan cuaca di rumahnya. Sesampainya di teras Aira segera meletakkan ponselnya di atas meja, ia kini sibuk mengaduk s**u yang ada di gelasnya. “Hmm..” Gumamnya sambil menyium aroma s**u hangat di gelasnya. Pemandangan hijau di depan ters rumah Bibi Nura mampu menghipnotis siapapun yang duduk di sana. Seperti Aira sekarang, ingin sekali ia tinggal di tempat ini, setidaknya ketika ia perlu merefresh otaknya ia hanya perlu duduk di depan teras pagi hari sambil menikmati s**u atau teh hangat. Sesekali ia meminum s**u hangat yang ia simpan di atas meja, kali ini ia membiarkan ponselnya. Lala satu-satunya teman di rumah Bi Nura belum juga bangun, sedangkan Bibi Nura sedang sibuk memasak di dapur. Bunda juga mungkin sedang menikmati liburannya di rumah Nenek, sehingga tidak ada kabarnya sama sekali. “Ayah ke mana, Ra?” Aira sedikit terkejut tiba-tiba Bi Nura ada di teras sedang membawa sampah untuk ia buang ke depan rumah. “Ke luar kota, Bi.” “Hebat lho Ayah mu, keluar kota terus. Enggak diajak?” Tanya Bibi pada Aira. Aira terkekeh. “Enggak enak ah ikut Ayah, mending di sini.” Bibi lantas keluar membawa sampah yang hendak ia buang. Rumah Bibi tidak mewah, tidak besar, tapi ternyata nyaman bukan dari bentuk bahkan materi. Tapi ini soal hati, ketenangan yang ia rasakan saat berada di tempat itu. “Bibi masak dulu, kamu kalau laper makan roti dulu aja.” Ucap Bibi sebelum masuk ke dalam. Aira mengangguk cepat. “Iya, Bi.” Ia baru sadar kalau ini adalah liburan terakhir sebagai anak sekolah, karena setelah ini ia akan terjun ke dunia perkuliahan yang lebih berat. Jika ditilik ke belakang, masa-masa SMA nya hanya habis dengan memikirkan Zaidan. Ia benar-benar menyesal kali ini mengapa sesulit itu ia melupaka manusia seperti Zaidan. Sedangkan orang-orang di sekeliling jauh lebih baik dan bahkan tulus padanya. “Nyesel mah emang belakangan.” Ucapnya sendiri. Ada kemungkinan besar kalau Aira bisa menjalani dunia perkuliahan bersama Langit, karena berada pada satu basic walaupun beda cabang. Setidaknya ia memiliki kesempatan untuk bersama. Tidak terasa kalau Aira ternyata sudah duduk cukup lama di teras, Bibi Nura saja sudah selesai memasak. Lala kini sudah duduk saja di sampingnya, itu artinya hari sudah mulai siang. Pemandangan di depannya tetaplah indah, walaupun angin sejuk yang ia dapatkan sewaktu pagi mulai berkurang. Tapi, angin siang hari di tempat ini tetap menyejukkan dan tidak terasa panas. “Udah makan lo?” Tanya Lala yang masih sibuk mengucek matanya. “Belum.” “Enggak ada kerjaan tiap nginep pagi-pagi diem di sini.” Ucap Lala sambil menahan diri untuk tidak menguap. Aira terkekeh. “Lo tuh ya enggak tahu aja sensasinya kayak gimana, mangkannnya bangun pagi biar tahu.” “Hmm..” “Lo enggak ada acara hari ini?” Lala terdiam, ia sepertinya sedang mencoba mengingat ada tidaknya janji dengan temannya hari ini. “Ada kayaknya.” “Kemana?” “Mau ke ulang tahun, mau ikut?” Tawar Lala dengan nada tidak bercanda. “Ih ngapain?” “Ya daripada lo bete sendiri di rumah.” Benar juga apa yang diucapkan oleh Lala, tapi ia juga tidak enak jika ikut. Sebaik-baiknya teman-teman Lala tetap saja ia tidak kenal dan hanya akan menjadi canggung di sana. Bisa-bisa ia hanya dijadikan tukang foto bersama di sana karena ia orang lain. “Malu.” Ucapnya dengan jujur. “Kenapa? Pada baik, lagian paling Cuma beberapa orang aja enggak rame banget.” Aira memutar bola matanya. “Iya baik, ya kali gue digalakin baru datang. Tapi kan tetap aja, takutnya keganggu karena adanya gue.” “Ah lo banyak omong, mandi sana kalau mau ikut. Gue mau tidur lagi sebentar aja, ngantuk.” Lala langsung berdiri, tanpa menunggu jawaban Aira ia segera masuk ke dalam. Dan Aira pastikan ia benar-benar kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidur. Sebetulnya Aira belum bisa menjawab akan ikut atau tidak, dibanding ia menghabiskan waktu memikirkan hal itu lebih baik ia mandi saja sekarang. Urusan nanti ia ikut atau tidak itu mudah, yang penting ia sudah siap. * Rasa tidak nyaman tiba-tiba menyerang begitu saja, Aira baru ingat kalau tadi pagi ia tidak sarapan. Ia juga belum makan siang dan sekarang jam sudah menujukkan pukul 5 sore. Ia masihnyaman dengan posisinya sembari memeluk guling di kamar Lala, sedangkan Lala sudah pergi ke acara ulang tahun temannya. Iya, Aira memutuskan untuk tidak ikut dan diam di rumah sendirian. Bi Nura juga sedang pergi, dan Lala juga meninggalkannya. Ia merasa lapar tapi ia malas untuk berjalan keluar kamar dan masuk ke dapur. Untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa lapar, Aira meraih ponselnya yang ada di atas meja dekat tempat tidur. Ia memilih untuk membuka sosial medianya, barang kali hal ini bisa membuatnya teralihkan agar tidak lapar. Ting. Satu notifikasi masuk ke dalam ponselnya, membuat Aira terlonjak kaget. Bukan karean suara ponselnya yang membuat kaget, melainkan nama yang muncul di posenlnya membuat Aira langsung terduduk. “Hah?” Ia masih tercengang, belum berani membuka room chat dari seseorang yang baru saja mengiriminya sebuah pesan. Ia masih memandangi nama itu di atas layar ponselnya, masih memastikan ini betul terjadi atau sekedar mimpi. Aira menarik napasnya dalam-dalam, ia mengusap-usap dadanya. Menetralisir perasaan tak karuan yang bergemuruh di hatinya. “Ayo tarik napas..” Ucapnya pada diri sendiri. Aira menaruh ponselnya di atas tempat tidur, ia mengambul tisu lalu mengelapnya di bagian telapak tangan. Tangannya basah karena jantungnya berdebar tidak karuan, ia benar-benar salah tingakh sendirian. “Oke siap.” Ucapnya setelah membuang tisu yang sudah ia gunakan. Aira meraih ponselnya, lalu perlahan membuka notifikasi yang ia diamkan tadi beberapa menit. Sambil menghela napasnya ia tak berhenti untuk tersenyum, satu kata yang ia kirimkan melalui chat benar-benar mampu mengobrak-abrik hatinya. Raa? Begitulah isi pesannya, tidak berlebihan tapi benar-benar berkesan. Aira : Iya kenapa, Lang?” Tidak lama kemudian chat Aira langsung ia baca, dan itu membuatnya lebih dari tersenyum. Ia sedari tadi tanpa sadar tertawa kecil sambil memeluk guling dan tidak bisa diam. Langit : Boleh minta foto kemarin? Benar apa kata Sifa, ia pasti nanti akan meminta foto yang diabadikan berdua bersamanya. Walaupun entah tujuannya hanya untuk sekedar melihatnya saja, basa-bais, atau memang ingin menyimpannya. Dibalik itu semua, Aira tidak peduli apa yang akan Langit lakukan yang terpenting Langit sudah mencoba memulai komunikasi di antara mereka berdua. Aira segera mengirim beberapa foto yang menurutnya bagus, dan sudah ia edit. Tapi, sia-sia saja. Langit justru meminta foto asli tanpa diedit, dan itu membuat Iara sedikit keberatan. “Aih make yang asli lagi.” gerutunya sendirian, Mau tidak mau Aira harus tetap mengirimnya, sepertinya berdebat dengan manusia seperti Langit hanya akan membuat Langit kesal dan tidak mau dekat dengannya lagi. Setelah mengirim beberapa foto yang Langit mau, percakapan terus berlanjut. Langit ternyata mudah membuka topik obrolan di antara mereka berdua, dan Aira terbawa suasana. Ia juga ikut berpikir keras harus membahas apa agar terus berlanjut dan tetap seru. Namun, percakapan itu berhenti ketika Langit pamit untuk pergi mengantar Ibunya. Entah benar atau tidak, Aira hanya bisa mengiyakan tanpa harus bertanya lebih banyak. Berharap setelah itu Langit akan tetap mengabarinya atau kembali melanjutkan komunikasi online ini. Aira mentap layar ponselnya yang kini kembali sepi, pandangannya teralihkan. Kini Aira menatap lurus ke depan, merasakan perubahan pada dirinya sendiri. Rasa lapar yang amat hebat tiba-tiba hilang begitu saja, ia juga tidak merakan kantuk, Aira tiba-tiba bersemangat saja sore ini. Wajahnya tak berhenti melukiskan senyum yang berasal dari sudut bibirnya, matanya yang memancarkan aura bahagia cukup membuat semua orang tahu kalau Aira sedang jatuh cinta. Setelah semangatnya kembali seperti ini, ia memutuskan untuk keluar dari kamar dan pergi ke dapur. Ia harus makan karena tubuhnya perlu tenaga untuk bahagia. * “Asik udah megang hp nih.” Merasa dirinya tersindir, Langit menggerakan bola matanya untuk melirik ke samping. “Baru diambil tadi pagi.” “Gimana? Rame enggak hp lo?” “Rame gimana?” Tanya Langit bingung. “Iya ada yang nyariin enggak?” Jelas Andara dengan nada meledek. “Hmm..” “Karin enggak nyariin lo?” Tanyanya lagi dengan polos. Langit berdecak. “Basi ah, An.” Andara terkekeh melihat ekspresi Langit yang berubah menjadi kesal. “Eh iya, Aira gimana? Udah coba elo chat belum?” Langit kira Andara lupa soal Aira, tapi gadis itu justru ingat betul soal dirinya dengan Aira. Langit mengangguk pelan. “Udah..” “Chat apa lo? Manusia dingin kayak lo, mau tahu gue basa-basinya kayak apa?” Andara bergeser mendekat ke arah Langit untuk melihat ponsel Langit. Langit langsung mengarahkan ponselnya tertutup agar tidakterlihat oleh Andara. “Kepo banget.” “Bilang aja lo malu kan, karna takut ketahuan kakunya gimana ke cewek.” Langit berdecak lagi, ia kesal lama-lama dengan sahabatnya ini. “Segini juga gue udah usaha.” “Iya-iya, yaudah coba gimana hayo? Mau lihat domg sahabat lo paling cantik ini.” Andara memohon dengan baik sambil memuji dirinya sendiri. “Ada juga yang lo puji tuh gue supaya lo mau kasih lihat, kenapa jadi kebalik sih?” “Iya deh, Langit ganteng, baik, manis banget. Gue mau lihat dong.” Andara akhirnya mengikuti permintaan Langit dengan memuji sahabatnya itu sambil menahan kekesalannya. “Enggak ikhlas.” Cela Langit. Andara refleks memukul bahu Langit. “Mau lo apa sih?” Langit refleks tertawa, hanya dengan Andara lah ia menjadi pribadi yang sangat berbeda. Ia akan selalu tertawa jika berhasil membuat Andara kesal kepadanya. “Terserah elo deh kalau enggak m au kasih lihat juga terserah.” Ucap Andara, ia bergeser menjauh dari tempatnya semula. “Ngambek.” “Iya elo kebiasaan banget sih, Lang.” Andara benar-benar kesal pada Langit. “Yaudah sini, gue kasih lihat.” Langit berusaha membujuk Andara. “Enggak usah.” Balas Andara seolah-olah tak peduli. Langit terkekeh. “Yaudah enggak usah, bagus lah lo jadi enggak lihat.” Andara langsung menoleh, ia mencubit Langit dengan sangat kencang. “Lihat ih, lo tuh gimana mau langgeng nnati sama cewek. Enggak ngerti bahasa cewek banget, harusnya lo makasih karena berkat gue lo bakal tahu secara langsung bahasa cewek dan kamus cewek tuh kayak gimana.” Langit memutar bola matanya malas. “Enggak semua cewek kayak lo, ribet.” “Ih biarin aja, gue juga enggak mau sama lo.” “Siapa juga yang mau sama lo.” Balas Langit tak mau kalah. “Yaudah gue lihat sini cepetan!” Andara menaikkan nada bicaranya. Tidak peduli mereka sedang ada di rumah siapa, Andara dan Langit sudah seperti keluarga sendiri. Sekalipun berada di rumah Langit, Andara akan tetap menjadi pribadi perempuan yang sangat menyebalkan. “Gue ceritain aja.” “Buruan!” “Gue chat dia, minta foto kita berdua.” Ucap Langit. Andara langsung menahan tawanya. “Udah? Gitu doang basa-basinya elo?” Langit mengangguk cepat, seolah yang ia lakukan sudah menjadi yang paling benar. “Ih enggak banget deh, Lang.” Protes Andara yang merasa pergerakan Langit salah besar. “Terus gue harus gimana dong?” “Yang berkualitas lah, lo tuh masa harus gue private ke Hilman sih. Emang enggak malu?” “Siapa juga yang mau private sih? Nyela gue mulu.” Kesal Langit, Andara tidak ada hentinya menyela Langit sedari tadi. “Yaudah terusin, pundungan deh.” “Yaudah dikasih tuh, terus gue kayak basa-basi aja gitu. Bingung mau bahas apa juga, kayak mati aja gitu gue.” “Ya karena lo tuh terlalu membuat tekanan di diri lo sendiri, ke otak lu juga. Jadi lo dipaksa buat kayak bahas apa ini setelah ini, enggak yang ngalir aja gitu. Padahal ngalir aja, kalau udah sefrekuensi pasti bakal terus kok enggak berhenti.” Langit terdiam, benar juga apa yang Andara katakan kepadanya. Harusnya ia tidak sepusing ini memikirkan sebuah topik untuk percakapan dirinya dan Aira. “Ih salah mulu gue.” “Iya emang lo salah, masa gue harus nyalahin Aira sih. Lo tahu enggak sih effort dia tuh udah bagus banget sama lo, jarang ada yang kayak gitu. Lo harusnya bukan sekedar menghargai aja tapi bener bener mencoba gitu.” “Coba apa?” “Ya coba buka hati lah.” Langit terdiam, ia juga maunya seperti itu tapi sulit. “Terus kenapa enggak chatan lagi?” “Gue udahin, tadi gue bilang mau anter Mama dulu.” Andara menatap Langit dengan kesal, ia tak habis pikir dengan sahabatnya ini harus ditatar seperti apalagi agar paham dan tidak salah langkah lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN