Aira berdiri di samping pintu, ia menatap kalender di dinding yang sengaja ditempelkan. Sudah dua minggu ia berada di sini, dan hari ini Ayahnya akan menjemputnya untuk pulang. Lusa Aira sudah kembali masuk sekolah, dan itu harus ia persiapkan mulai dari sekarang.
Seharusnya ini yang ia tunggu, kabar masuk sekolah. Tapi, karena tidak ada kemajuan pada hubungan Iara dan Langit. Ia menjadi malas sekali, bahkan jika harus berpas-pasan dengan Langit rasanya ia tidak mau.
“Bi, aku pulang ya. Makasih maaf ngerepotin dua minggu.” Pamit Aira pada Bibi Nura yang kini berdiri di ambang pintu.
Bibi Nura tersenyum. “Liburan ke sini lagi, ya.”
“Siap.” jawab Aira sambil berpose hormat pada Bibi Nura.
Setelah berpamitan, ia langsung pergi dan masuk ke dalam mobil. Ia membiarkan Ayahnya berbicara sebentar dengan Bi Nura.
Aira makin saja tidak karuan, ia benar-benar ingin memperpanjang masa liburannya. Benar-benar ingin diperpanjang.
Tidak lama kemudian Ayah Aira kembali ke dalam mobil. Aira bisa melihat raut wajah Ayahnya yang sangat lelah, ia sama sekali belum beristirahat sehabis pulang dari luar kota.
“Ayy?” Tanya Ayahnya sambil menutup pintu mobil.
“Kenapa, Yah?”
“Mau beli apa dulu?” Tawar Ayahnya, nadanya datar. Tapi, percayalah ini adalah nada paling lembut yang Ayahnya Aira miliki.
Aira menggeleng pelan. “Enggak ada kayaknya.”
“Yakin?”
Aira mengangguk cepat. “Nanti aja kalau ada bisa nyusul.”
Ayah hanya manggut-manggut pelan. “Kita pulang, ya.”
Aira hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan, ia lalu mengalihkan pandangan dari Ayahnya ke kaca mobil. Perasaanya makin tidak karuan, ia benar-benar tidak menginginkan masuk sekolah lusa. Benar-benar besar memang pengaruh laki-laki itu pada diri Aira.
Aira memang membiarkan apapun terjadi dengan semestinya, tidak perlu sesuai dengan apa yang ia inginkan. Perihal hubungannya dengan Langit, yang ia harapkan dapat berjalan panjang. Setidaknya komunikasi di antara mereka tidak terhenti. Namun, naas sekali. Langit memutusnya dan tidak ada niatan untuk kembali melanjutkannya lagi.
Sudah cukup Aira memperlihatkan effortnya pada Langit, sudah banyak yang ia lakukan. Bukan tandanya Aira adalah gadis yang perhitungan, ia hanya tidak mau mengusik bahkan menganggu Langit. Apalagi secara terang-terangan. Yang terpenting Langit tahu apa yang Aira rasakan saat ini.
Sambil terus memperhatikan jalanan yang ia lalui, ia hanya berharap kalau seemesta tak mempertemukannya dengan Langit. Biarkan mereka berjalan masing-masing, sampai Aira bisa menghentikan perasaannya itu.
*
Mengunyah kacang goreng buatan sang Ibu tercinta, memang adalah hal favorit yang kerap kali ia lakukan ketika ada di rumah. Sambil menonton serial drama kesukaannya, dan dijauhkan dari ponselnya ini adalah bagian yang paling ia nikmati sepanjang hidupnya.
Helaan napas itu terdengar setelah mengunyah beberapa kacang di dalam mulutnya, lama-kelamaan ia merasakan bosan sendiri.
“Kemana ya?” Tanyanya pada diri sendiri.
Biasanya hari-hari nya akan dipenuhi dengan kegiatan, soal bola atau futsal misalnya. Tapi, entah kenapa minggu-minggu terakhir sebelum masuk sekolah ia merasakan kegiatan itu lambat laun berkurang dan itu membuatnya terlaku menikmati suasana yang ada.
Tiba-tiba terbesit di pikrirannya, gadis kecil yang kemarin datang di acara pertandingannya. Entah bagaimana kabarnya hari ini, ia sudah tak melanjutkan percakapan apapun lagi. Semua jenis pembahasan terasa basi saja di matanya. Ia benar-benar bingung dengan apa yang harus ia bicarakan, dan bagaimana mempertahankannya dengan baik.
Di matanya gadis ini memang beda, tidak feminim seperti kemauannya, tidak juga pendiam atau bahkan anggun. Tapi, ia benar-benar perempuan yang bisa diajak beradaptasi di segala tempat. Hanya saja kenapa ia yang begitu kebingungan menghadapi perempuan satu ini.
Ting.
Suara ponselnya berbunyi, ia segera mengulurkan tangannya untuk meraih ponsel yang ada di atas meja. Sebuah notifikasi pesan gambar masuk ke dalam ponselnya, rupanya berasla dari grup kelasnya yang tiba-tiba mengirimi beebrapa foto yang ada di ponsel mereka masing-masing.
Ia mencoba melihat-lihat hasiln jepretan yang teman-temannya lakukan sebelum liburan, beberapa foto yang ia unduh ada satu foto yang membuatnya terdiam dan tak berhenti memandanginya.
Itu foto dirinya tengah tersenyum, dan diambil tanpa sengaja ketika ia sedang mengobrol dengan seseorang yang rupanya menjadi sosok impiannya selama ini.
Beberapa menit lamanya matanya masih tertuju pada foto itu, sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyum. Di sampingnya berdiri wanita yang tidak sengaja tertangkap kamera ketika sedang mengedarkan pandangannya ke sekitar kelas.
Ia baru sadar kalai gadis di hadapannya itu anggun dan tidak terkalahkan, sorot matanya yang berbinar, anggun dan enak untuk dilihat. Ia terus memandangi foto itu, satu tahun bersmaa dalam satu kelas tak ia tidak menyadari ada gadis impian yang berada di dalam satu kelas.
Tapi, ia kembali ingat. Bahwa gadis ini sudah memiliki tambatan hatinya. Entah nantinya menerima atau tidak, intinya ia sudah menemukan sosok yang ia mau di sekolahnya.
Ddrrrtt...
“Iya hallo?” Ucapnya begitu telpon sudah tersambung.
“Lo di mana?”
“Di rumah, kenapa?”
“Lang, gue ke rumah ya.” Ucap suara perempuan yang langsung menutup telponnya setelah bicara.
Belum sempat menjawab telpon itu sudah terputus saja.
Langit berdecak, ia kembali menaruh ponselnya di atas meja sambil melipat kedua tangannya di atas d**a. Lalu kembali fokus pada serial drama yang tengah ia tonton hari ini.
“Woy!” Teriak seseorang yang membuat Langit terkejud.
“Masuk.” Jawabnya tanpa suara.
“Ini gue kasih buat lo.”
Langit segera meraihnya. “Makasih nanti makan barengan.”
Langit mengangguk, ia segera pindah ke tempat cuci tangan.
“Lo udah suka sama dia?” Pertanyaan itu membuat dahinya mengkerut.
“Kata siapa?”
“Kata gue.”
Langit langsung menatapnya jengkel, ia melihat diri wanita itu dari atas hingga bawah. Merasa riish dengan tatapan seperti itu, teguran makin saja datangnya.
“Lo apaa-apaansih baru datang juga.” Protes Langit.
“Lo tuh keliatan banget galaunya, kenapa enggak nongkronh?” Tanyanya hati-hati.
Langit berdecak. “Males aja.”
Ia menggeleng .“Enggak mungkin sih.”
“So deh sama gue, padahal bilang aja lo lagi kenapa?”
Gadis di sampingnya ini memang paling tahu kalau dirinya sedang ada masalah atau sejenisnya. Ia mampu membaca raut wajah Langit, bahkan sekalipun ia terkeanal sehagai artis.
“Gue..”
“hm?”
Langut berpikir ulang, tidak mungkin ia mengucapkan hal itu secara langsung dan cepat.
“Apaa?”
“Gue suka sama orang lain.”
Andara yang saat itu tengah melihat televisi langsung menoleh. “Hah? Kok giu sih?”
“Iya, harusnya tuh lo bahagia kalau gue udah menambatkan hati ke seseorang.”
“Aira yaa?” Godanya sambul mencubit lengan atas Abangnya.
“Bukan.”
“Terus Aira lo kemanain gila?”
Ia terkekeh saja mendengarnya, “Susah kalau enggak sefrekuensi, dibuat lama juga enggak ada perubahan.”
“Lo serius?”
Langit mengangguk mantap.
“Siapa sih?” Tanya Andara dengan penasarang.
Andara tetap mengunci mulutnya untuk tak mngatakan apa-apa lagi.