Part 18

1175 Kata
Jam baru saja menunjukkan pukul 5 pagi, alarm berjalan sudah berteriak memenuhi isi ruangan. Cuaca pagi ini cukup dingin, ditambah lagi dengan suasana hati Aira yang sedang tidak karuan. Sejak tadi pagi, suara Bunda sudah berdengung di telinganya. Aira berdecak pelan, ia menjauhkan selimut dari tubuhnya lalu mendudukkan dirinya. "Bisa diulang enggak sih waktu?" Ujarnya sambil melipat kedua tangannya di d**a. Tuk. Tuk. Refleks Aira menoleh ke pintu. "Ayy, bangun!" Aira lagi-lagi berdecak, Bundanya terlalu bersemangat untuk hari pertama sekolah setelah liburan. "Ayy, udah bangun?" Suara Bunda lagi sambil sesekali mengetuk pintu kamar. "Udah." Jawabnya tanpa semangat. Mungkin kejadiannya akan sangat berbeda kalau Aira tidak menyukai Langit, dan tidak sama sekali menyentuh kehidupan Langit sedikitpun. "Bunda, aku enggak mau sekolah." Teriak Aira, kebetulan Bunda baru saja mau melangkah untuk kembali ke dapur. Tanpa pikir panjang, Bunda langsung membuka pintu kamar Aira. "Hey!" Panggil Bunda sambil berkacak pinggang setelah ia masuk melewati ambang pintu kamar Aira. "Apa Bundaaa?" Tanyanya dengan nada risih sambil mengacak rambutnya. "Kamu kenapa sih? Sakit?" Tanya Bunda sambil mendekat ke arahnya. "Enggak sakit, cuma enggak mood aja." Jawab Aira dengan cepat. Bunda langsung terdiam, ia menatap Aira dengan tatapan bingung. Terlihat dahinya berkerut dan matanya menatap lebih fokus. "Kenapa sih gitu banget ngeliatinnya?" Bunda berdecak. "Kamu mau Bunda bilangin ke Ayah?" "Bilangin aja." Tantang Aira. "Pasti gara-gara cowok kan kamu males sekolah. Hayo ngaku!" Tebakan Bunda tepat sasaran. Aira langsung memasang wajah polosnya. "Ih kalau sama anak enggak boleh berprasangka buruk." Bunda berdesis. "Ngajarin Bunda lagi kamu." "Ih pokoknya enggak mau." Aira tetap bersikukuh tidak ingin sekolah. "Yaudah terserah kamu, Ay." Ucap Bunda dengan nada santai, kemudian ia langsung pergi keluar dari kamar Aira. Aira benar-benar tidak ingin pergi ke sekolah, ia membiarkan Bundanya keluar dari kamar. Sepeninggalan Bundanya Aira langsung menarik selimutnya. "Ayy?" Baru saja ia akan menutup wajahnya dengan selimut, suara itu membuatnya kaget. Aira berdecak. "Bunda mainnya ngaduan deh." Dengan sangat terpaksa Aira turun dari tempat tidur, lalu setelah itu ia berjalan sedikit lebih cepat menuju pintu kamar. Krek. "Ayo diantar sekolah, siap-siap!" Aira tahu ini semua pasti karna Bunda mengadu pada Ayahnya. "Iya, masih pagi juga. Nanti aku siap-siap." Jawab Aira dengan memasang wajah baik-baik saja. "Tapi sekolah, ya?" Aira menyengir, "Iya Ayahhh." Ayahnya mengangguk paham, ia tak mengatakan apa-apa lagi. Ayah langsung memutar haluan dan pergi dari hadapan Aira. Barulah setelah itu Aira menutup pintu kamarnya. "Arrghhhh." Kesalnya sambil mengepal kedua tangannya. Tidak ada pilihan lain, Aira harus segera mengambil handuk dan pergi mandi. Setelah selesai mandi, ia segera bersiap-siap dan pergi ke ruang makan. Sarapan pagi kali ini rasanya lebih cepat dari biasanya, Aira memegangi sendok yang sudah tidak ia gunakan lagi. Raganya memang ada di tempat itu, tapi tidak dengan hatinya. "Nambah enggak?" Tawar Bunda. Aira menggeleng pelan. "Enggak usah, Bun. Mau ke atas ambil tas." Bundanya mengangguk, Aira juga segera berdiri dan bergegas pergi ke kamarnya. Siap dan tidak siap, mau dan tidak mau Aira harus menjalani semua rutinitasnya. * Perjalanan menuju sekolah hari ini cukup padat, ia bisa melihat anak-anak dari berbagai sekolah berjejer di jalanan. Entah menunggu angkutan umum, jemputan, ingin menyebrang, atau sejenisnya. Hari ini Aira sama sekali tidak memberikan senyum seperti biasanya, ia benar-benar tidak mood untuk bersekolah. "Ayy? Kamu ada yang ketinggalan atau belum dibeli?" Tanya Ayahnya sambil fokus menyetir. Aira menggeleng pelan, ia menoleh sekilas pada Ayahnya. "Enggak ada." "Enggak semangat banget kamu, Ayy?" Aira terpaksa tersenyum, ia tak mau terlihat seperti apa yang Ayahnya pikirkan. "Aku enggak kenapa-napa, Ayah." Ayahnya manggut-manggut saja, ia kembali fokus menyetir dan tidak melanjutkan obrolan lagi dengan Aira. Jaraknya ke sekolah sudah dekat, bahkan tanpa ia sadari kalau di depannya sudah berdiri kokoh pintu gerbang bertuliskan "SMA PANCASILA". Mobil Ayahnya bahkan kini sudah memasuki gerbang dan mulai melaju ke parkiran. Aira terus mengatur pola napasnya, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Bukan untuk mencari temannya, melainkan untuk mencari keberadaan Langit. "Itu temen kamu tuh.." Ucap Ayah sambil menunjuk seseorang yang ada di dekat kelas pertama. Aira tetap diam. "Ayy.." "Mana sih, Ayah?" Tanyanya kebingungan. "Mata kamu gimana sih?" Protes Ayah sambil menggelengkan kepalanya. Aira berdecak, ia terlalu fokus mencari Langit sampai tidak sadar ucapan Ayahnya mengarah ke mana. "Gampang deh, Ayah.." Setelah mobil terparkir, Aira segera membuka pintu mobil dan keluar dari mobil. Suasana sekolah yang semula ia rindukan kini menjadi hal yang ia ragukan, ia memang tidak berekspektasi apapun tapi setidaknya ia tidak mau mendapatkan perlakuan tidak baik. Aira mencium punggung tangan Ayahnya. "Hati-hati ya, sekolah yang bener jangan macam-macam." Aira mengangguk cepat, matanya tidak fokus. Ia beberapa melirik ke segala arah. "Iya, Yah." Setelah itu Ayah masuk kembali ke mobil dan pamit. Memiliki Ayah seperti ini mungkin suatu mimpi semua orang mau. Ia bersyukur sekalipun memang ia tak mendapatkan sosok yang ia mau sekarang, tapi setidaknya ia bisa mendapatkan keutuhan dari Ayahnya. Sepeninggalan Ayahnya, Aira segera berjalan memasuki kawasan sekolah. Ia kini berjalan di samping lapangan, jalan pintas menuju kelasnya yang berada di belakang. Anak kelas atas biasanya memang disimpan di kelas belakang, katanya sudah dewasa dan harus tetap menjadi panutan walaupun jauh dari pengawasan. Banyak teman-teman Aira yang menyapa, ada juga yang hanya sekedar melirik. Aira tetap meneruskan langkahnya menuju kelas. Langkah Aira terhenti, ia berdiri tepat di depan mading. Ia penasaran bagaimana pembagian kelas untuk angkatan tahun ini. Aira mencari nama seseorang, hingga pencariannya terhenti di satu kelas deretan terakhir di jurusannya. Ia berpikir sejenak, lalu mengingat letak kelasnya dengan Langit. "Jauh." Ucapnya sambil berjalan meninggalkan mading. Ia berusaha biasa saja, tidak ingin terlalu mengetahui bahkan mencari tahu tentang Langit lagi. Ia menguruskan langkahnya menuju kelas, mencoba melupakan hal-hal yang semestinya juga ia lupakan. * Setelah bel istirahat berbunyi, Aira diajak oleh teman-temannya untuk pergi ke Kantin. Tapi, ia menolak dan hanya ingin menitip saja. "Gue nitip deh." Ucapnya pada Leona. "Mau apa?" "Beliin mie ayam aja." Leona mengangguk, ia lantas mengambil uang yang Aira berikan. Beberapa saat mereka pergi, Aira mencoba keluar kelas. Sekedar berdiri di ambang pintu atau keluar sedikit. Ia juga bosan lama-lama sepertk ini. Baru saja hendak berdiri lebih lama sambil memperhatikan sekitar, dari kejauhan ia melihat seseorang yang tidak asing baginya. "Ih." Kesalnya saat tahu itu adalah Langit yang tengah berbincang sambil berjalan dengan beberapa temannya yang lain. Baru saja hendak memutar badannya, tiba-tiba ia menubruk seseorang. "Diliatin mulu sih." Ucap Wilda. Aira terkekeh. "Enggak jelas banget, Wil." Wilda langsung merangkul Aira. "Gue tahu kali, orang pas turnament gue bareng Sifa." Aira menghela napas. "Udah enggak kok." "Kenapa?" "Enggak ada jalan lagi, buat apa dipaksain." Jawab Aira dengan nada pasrah. "Dia emang anaknya susah ditebak, coba aja siapa tahu bisa." Wilda memang satu kelas dengan Langit, baik dulu maupun sekarang. Ia juga pasti sedikit banyak tahu soal Langit. "Iya udah lah enggak apa-apa." "Mundur?" Aira diam, ia tidak menjawab. Ia juga bingung, tidak ada titik terang sama sekali. Bahkan rasanya ia malu pada diri sndiri. "Enggak tahu." "Gue balik ke kelas, nanti kalau ada info soal dia gue kasih tahu." Ucap Wilda sebelum pergi. Setelah Wilda pergi, Aira memutuskan untuk masuk ke kelas. Ia akan menunggu Leona datang sambil memikirkan jawaban untuk pertanyaan Wilda.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN