BAB 3 - Mulai Posesif

1027 Kata
            Aku menyesap kopi dari gelas kertas yang diberikan Arka padaku. Aku melirik matanya yang syahdu. Arka adalah teman, sepupu sekaligus tangan kanan Adit. Arka adalah pria paling baik yang pernah aku temui. Dia selalu berusaha membantuku setiap kali aku mengalami kesulitan. Seperti saat pernikahanku dengan Adit, Arka menenangkanku dan dia bilang kalau pernikahanku dengan Adit akan baik-baik saja.             Kami duduk di atas kap mobilnya dengan pemandangan bulan purnama yang indah. Di jalan yang sepi dengan pohon-pohon yang berjejer di samping mobil kami.             “Gimana pernikahanmu dengan Adit, baik-baik aja kan?” tanya Arka.             Pria yang lebih suka mengenakan kaus polos, celana jeans dan sepatu keds ini menatapku.             “Tidak juga. Adit masih menganggapku bawahannya sekalipun di rumah. Masa dia nyuruh aku buat nyiapin air panas kalau mau mandi.”             Arka terbahak. “Ya, nggak papa. Itu juga kan tugas istri.”             “Iya, tapi dia menyuruhku seperti aku ini Arunika bawahan si Adit bukan istrinya.” Kataku agak sedih. Aku kembali menyesap kopi.             “Adit kan memang begitu, Nik. Bossy.”             “Lama-lama tinggal sama dia bisa bikin tensiku naik setiap harinya.”             Arka kembali terbahak. “Adit juga bilang begitu.”                                      “Oh ya?” Aku menoleh dengan mata melebar.             Arka mengangguk. “Iya. Adit bilang tinggal serumah sama kamu itu bikin tensinya naik. Bisa samaan gitu ya? Kayaknya kalian memang berjodoh deh. Tapi Tuhan nyatuin kalian dengan Cara-Nya.”             “Huft! Kenapa harus sama Adit? Aku maunya sama aktor Korea yang hidungnya mancung tuh, siapa ya?” pikiranku melayang ke Drama Korea yang pernah aku tonton. Ingatanku itu payah kalau soal nama seseorang.             “Nik, kadang apa yang kita inginkan itu berbeda dengan apa yang jadi kehendek Tuhan. Terima aja nasibnya. Lagian, Adit ganteng kan?”             Kalau itu aku setuju sih. Adit memang ganteng tapi ya, bagaimana ya, dia aja lebih mengutamakan kekasih super manjanya itu.             Arka menyesap kopinya.             “Kamu sendiri gimana?” tanyaku.             Dahi Arka mengernyit. “Gimana apanya?”             “Percintaan kamu gimana?”             Arka terdiam sesaat. “Kekasih aku udah meninggal enam bulan lalu, Nik.”             “Ya ampun, ma’af, Ka, aku nggak tahu.”             “Ya, santai aja.” Arka tersenyum sendu. “Dia sakit parah. Di saat-saat terakhirnya aku nggak bisa nemenin dia karena pekerjaan yang membuatku harus ke luar negeri.”             Hal itu pasti membuatnya menyesal. Tidak bisa berada di samping orang yang disayang di saat-saat terakhir itu rasanya seperti tidak berguna sebagai manusia.             “Aku heran deh,” dahi Arka mengernyit.             “Heran kenapa?”             “Adit bertahan sama Alena sejauh ini. Alena itu bukan wanita yang sesuai umurnya. Dia nggak dewasa, manja dan menurutku kekanak-kanakkan banget.”             Tanpa sadar aku mengangguk setuju dengan Adit. Aku ingat saat masih kuliah dulu. Alena pernah ijin pulang hanya karena ada luka kecil di tangannya yang entah karena apa. Luka kecil itu hanya lecet. Terkadang aku merasa Adit salah pilih. Mungkin karena sifat manja Alena yang membuat Adit kepincut. Tapi, bukannya berhubungan dengan wanita super manja itu malah membuat tensinya naik ya?             “Tapi, Alena cantik.”             “Kalau itu aku setuju, Nik. Tapi, emang cantik aja cukup? Hubungan cinta itu kan bukan cuma soal fisik tapi juga soal pengertian. Di sini Adit banyak ngalahnya.”             Hening.             “Oke, sekarang mari kita nyalakan ponsel kita.” Aku dan Arka sempat mematikan ponsel untuk beberapa saat.             “Aku ngrasa Adit ngehubungin kita deh.”             “Ngapain ngehubungin kita, kan dia lagi asyik sama Alena.”             Arka nyengir. “Kamu cemburu ya?”             Aku menggeleng dengan muka masam. Cemburu? Enggak banget deh!             Saat aku menyalakan ponselku, ada banyak pesan dari Adit. Beberapa kali dia juga menelpon. Lalu ponselku berdering.             “Halo, Dit—“             “Lagi dimana kamu?” Tanyanya.             Aku melirik ke arah Arka. “Aku lagi sama Arka. Kan kamu bilang Arka harus nemenin aku mamerin kecantikan aku.”             “Bukan itu! Kamu lagi dimana, aku mau nyusul.”             “Nyusul?” Mataku melebar mendengar keinginannya yang ingin menyusul kami. “Terus Alenanya mau kamu bawa ke sini juga?”             “Bawel! Tinggal bilang aja lagi dimana?”                                                                                         ***             Beberapa saat kemudian Adit datang dengan mobil Kia Sonet berwarna merah. Itu adalah mobil pemberian ibunya untukku tapi malah dipakai dia sendiri. Sialan emang! Adit keluar dari mobil dengan wajah sombongnya. Dia menatapku dan Arka secara bergantian.             “Kenapa nomor kalian pada nggak aktif?” tanyanya.             “Biar nggak ada yang ganggu aja.” Terang Arka yang menuai senyuman dariku. Aku mengedipkan sebelah mata pada Arka yang ditangkap oleh mata Adit. Suamiku itu makin kesal melihat kegenitanku.             Arka bilang agar aku dan dia mematikan ponsel jadi saat Adit menelpon kami nanti, dia akan curiga pada kami. Arka bilang sekali-kali bolehlah ngerjain Adit.             “Memangnya kalian ngapain sih sampai bilang biar nggak ada yang ganggu?”             “Kamu sama Alena ngapain?” Tanyaku sedikit ngegas.             Adit menoleh tajam padaku. “Ditanya malah nanya balik nggak sopan tahu!” Sewotnya. Marahnya Adit itu meskipun angker tapi tetep aja mukanya bikin gemas.             “Kamu ninggalin Alena ntar Alena mati lho, Alena lagi sekarat kan.” Aku kembali menimpali dengan kalimat pedas.             Adit melipat kedua tangannya di atas perut. “Kamu cemburu?”             “Dit, kamu sendiri yang nyuruh aku bawa Nika terus kamu tiba-tiba datang marah-marah. Kenapa?” Arka lebih tenang dan santai.             “Ya, kalian kenapa pakai matiin hp segala? Bye the way, makasih ya, udah nemenin Nenek Lampir satu ini.”             Nenek Lampir? Nenek Lampir macam apa yang secantik aku ini?             “Ayo, pulang, Nik!”             “Pu-lang? Nggak salah? Aku mau di sini sama Arka.” Aku ingin menghabiskan malam di sini sama Arka. Toh, di rumah paling aku tiduran.             “Hei, aku suamimu.”             “Nik, mending kamu pulang. Aku juga sebenanrya mau main billiard tapi, Adit nyuruh aku nemenin kamu.”             “Kenapa kamu nggak nolak?” tanyaku penasaran. Kenapa Arka ini nurut banget sama Adit?             “Ya, karena ada kamu.” Jawaban Arka membuat sudut hatiku menghangat.             “Karena ada aku?”             Arka cuma tersenyum sebelum dia melesat pergi ke dalam mobilnya.             Adit menarik sebelah tanganku hingga aku terjatuh dari kap mobil dan kopi di gelas kertas menimpa kemeja Adit.             “Arunikaaaaa!”                                                                                             ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN