BAB 12: HANGOUT

3384 Kata
“Syukurlah.” Aku lega saat mendapati kondisi Pak Husein yang baik-baik saja. Semalam aku benar-benar khawatir karena beliau benar-benar kehilangan banyak darah. Nanti aku akan menjenguknya. Pagi ini aku mendapatkan dua kabar baik. Pertama mengenai kabar Pak Husein, kedua mengenai kabar Arlan. Pria itu ditemukan tewas di selnya dalam keadaan mengenaskan. Puas rasanya mengetahui kabar ini. Layla benar-benar telah membalaskan dendamnya. Soal keluarga Arlan, Mbak Rima—istri Arlan, bersedia tutup mulut tentang kejadian yang terjadi tadi malam. Ia juga mengucapkan turut berbelasungkawa dan maaf atas meninggalnya Layla, juga korban-korban lainnya. Ia tidak menyangka suaminya adalah seorang monster. Karena hal ini ia memutuskan untuk tidak menjadi bagian dari hidup Arlan lagi. Pria yang sudah meninggal itu tak lagi ia akui sebagai suaminya. Bagaimana kondisi anaknya yang terluka? Tentunya sudah dirawat dan ditangani oleh tenaga medis. Ia akan baik-baik saja. Besok lusa aku akan pulang kampung. Aku sangat merindukan Ibunda Ratu, terkhusus masakannya. Aroma sambal petainya sudah tercium, padahal aku masih berada di sini, Jakarta. Ngomong-ngomong aku tidak suka petai. Hari ini, aku berniat pergi hangout bersama bestie-bestie-ku. Piknik di Ragunan sembari menyambangi rumah saudara-saudara jauh Baskara dan Citra, lalu lanjut bernyanyi sepuasnya di tempat karaoke hingga roh tercabut keluar. Kami akan bersenang-senang sampai gumoh. Sempurna! Oh iya, terakhir kami akan menjenguk Pak Husein. “Jam 9 ya. Jangan ngaret!” kataku. “Shap! Kapten!” kata ketiganya. “Jangan shap, shep, shap, shep, tahu-tahu jam 11 baru jalan.” Baskara dan Citra tertawa cengengesan di seberang sana. Keduanya langganan ngaret, membuatku dan Divya harus banyak-banyak bersabar menghadapi keduanya. Selesai sarapan, aku mengobati luka-luka di tubuhku. Luka di pelipis adalah luka yang paling terlihat. Badanku masih sakit, tapi masih oke untuk dibawa jalan-jalan. Tapi, aku harus mencari alasan saat pulang kampung nanti. Ibunda Ratu pasti akan menginterogasiku. Aku harus pandai berkelit, jangan sampai berkata jujur. Divya, Baskara dan Citra yang juga sama-sama terluka, bahkan lebih parah, memaksakan diri untuk jalan-jalan. Jenuh, itu alasan mereka. Selain itu, mereka ingin menghabiskan waktu bersamaku sebelum aku pulang kampung. Takut kita tidak akan bertemu lagi karena umur. Ada kurang ajarnya juga mereka. Dikira aku akan mati setelah pergi meninggalkan Jakarta. Pukul 8, Baskara menjemputku. “Let’s go, Baby!” kata Baskara. Ia menampar keras jok belakang hingga terdengar suara ‘plak!’ “Go, go, go, Daddy! Rawr!” balasku. Naik ke atas motor. Duduk miring, berpose bak Miss Universe. Melambaikan tangan. Slay unlimited. Tertawa terbahak. Kami berangkat menuju rumah Divya, tempat dijadikannya titik kumpul. Tenang, aku membenarkan posisi duduk ke posisi normal. Aku masih punya malu. Di tengah perjalanan, aku menelepon Citra. Dia bilang dia belum berangkat. Masih poop, mules dahsyat habis makan cabai pakai mie. Tidak salah kok. Cabai pakai mie, bukan mie pakai cabai. “Tenang, tiga puluh menit sampai. Tidak akan telat,” katanya. “Telat, kita jadikan tumbal proyek ya,” kataku. “Jahat sekali.” Citra sok-sokan sedih. “Tadinya aku mau menyembelihmu di tempat penyembelihan babi. Tapi, kata Babas jangan. Kasihan babinya,” kataku. Baskara tertawa. “Ih, malah tambah jahat!” Kami tertawa semakin keras. “Sudah ah. Pokoknya jangan sampai telat!” Kututup sambungan telepon. Baskara meng-gas motornya semakin kencang. Beruntung nyawaku tidak terbang. Sesuai janji, pukul 11 kita berangkat. Ya, kita ngaret dua jam. Itu semua karena ban motor Citra yang mendadak meledak saat sedang otw ke rumah Divya. Mau tidak mau kami harus menunggunya untuk mengganti ban terlebih dahulu. Memang ada-ada saja manusia satu itu. Tunggu, memangnya Citra manusia? Bukankah dia termasuk umbi-umbian? Karena macet, kami baru tiba di Ragunan pukul 12 siang. Kami langsung berkeliling, menyapa setiap anggota keluarga jauh Baskara dan Citra. Mereka tampak senang dan bahagia karena dikunjungi. “Cit, salim ke Embah,” kataku sembari menunjuk ke arah babon yang sedang cebok. “Enak saja! Itu mah nenek moyangnya Divy!” balas Citra. Tertawa. “Eh, apa kau bilang? Mau kau kuadukan ke Bapak?” Divya mengancam. Kedua matanya melotot. Citra yang sudah tahu perihal Bapak yang punya kesaktian langsung bersujud ala-ala keraton Jogja. Ia meminta maaf. Suara denting gamelan tiba-tiba saja terdengar bersamaan dengan Divya yang memaafkannya. Taburan bunga melati berloncatan dari segala arah. Tubuh Divya memancarkan cahaya suci, agung, bak seorang dewi. “Wahai, b***k. Aku memaafkanmu,” begitu kata Divya. Semua rakyat menyaksikan. Betapa baik hatinya Kanjeng Divya Lavanya. “Terima kasih, Kanjeng Ratu. Terima kasih atas kemurahan dirinya—maksud saya kemurahan hatinya,” ucap Citra. Kerajaan kembali damai sejahtera. Semua orang hidup aman tanpa adanya ancaman. Tamat. Tidak, bukan seperti itu. Cerita sebenarnya, Divya menjambak bibir Citra hingga dower seperti Kim Kardashian. Citra mengaduh, tapi setelahnya kembali mengoceh. Kami lanjut berkeliling area primata. Di salah satu kandang, sepertinya monyet ekor panjang, ada seekor monyet yang sangat cerdas. Ia mampu mengikuti instruksi yang aku suruh, menari mengikuti gerakanku, dan bahkan berhitung menggunakan jari jemarinya yang kecil dan panjang. Momen itu terekam di kamera kami dan kamera beberapa orang. Monyet yang pintar. “Monyet itu lebih pintar daripada Biang,” celetuk Baskara dan langsung mendapat tatapan sinis dari Divya. “Tak boleh begitu. Dia teman kita,” katanya. “Oh iya, maaf.” Baskara langsung mengoreksi kata-katanya tadi. Divya sangat sensitif soal ledek meledek. Apalagi orang yang diledek macam Biang, yang jujur saja agak aneh untuk ukuran orang normal. Tapi anehnya, Divya tidak pernah mempermasalahkan jika kami meledek Citra habis-habisan. Entahlah, mungkin standar ganda. Oh iya, ada sebuah tragedi. Aku, Divya dan Baskara hampir saja meninggalkan Citra di salah satu kandang, dan malah membawa pergi orang utan yang menghuni kandang tersebut. Pasalnya, mereka berdua sangat identik. Benar-benar mirip. Kami terkecoh. Beruntung ada psikolog yang membantu kami. Ia melakukan tes. Orang utan bisa memecahkan rubik, sedangkan Citra tidak. Dari situlah kami tahu, mana Citra, mana orang utan. Sepertinya cukup. Jangan meledek Citra lagi. Kasihan. Takut dia tidak mau pulang dan malah memilih untuk tinggal bersama kerabat-kerabat jauhnya. Tiba di area reptil, sebuah kejadian langka berhasil menarik perhatian kami. Seekor sanca kembang berganti kulit. Hewan melata itu menjadi pusat tontonan semua orang. Aku, Divya, Baskara dan Citra bahkan merekam momen indah dan menakjubkan tersebut dari awal, tapi tidak sampai akhir. Ular itu berganti kulit lama sekali. Lucu, orang di sebelahku merekam sembari terus-terusan merasa geli. Ia terus-terusan latah. “Eh kulitnya copot, eh copot.” “Itu ular ganti kulit, eh ganti kulit, eh ganti baju, eh sempak bolong.” “Eh alah, eh alah, bakso! Bakso kenti! Eh, bakso kenti. Mau dong kenti. Eh, kenti!” “Geli, eh iya, geli. Ah! Mantap sayang! Eh, mantap sayang.” “Heh!” Orang itu sungguh membuatku menahan tawa. Lapar. Kami makan siang bersama, di atas tikar yang tergelar megah. Bakso dan mie ayam jadi menu utama kami. Jangan tanya harganya. Mahal sekali! Tapi, rasanya tidak enak. Hambar. Air rebusan buatan Baskara yang sedikit gosong jauh lebih nikmat daripada ini. Keadaan Ragunan sangat ramai. Hampir setiap sudut jalan dipenuhi oleh orang-orang. Biasanya aku melihat keadaan ramai seperti ini dari layar televisi. Tapi, sekarang aku sendiri yang merasakannya. Berita tentang Ragunan yang ramai saat libur sekolah selalu ditayangkan di televisi, dan aku adalah salah satu orang yang menontonnya. “Ngerokok enak nih,” celetuk Baskara. Ia sudah selesai makan. Aku, Divya dan Citra langsung menatapnya sinis. Kami tidak salah dengar, kan? “Ngerokok? Kau mencium bau asap rokok bapakmu saja langsung batuk-batuk, ini lagi mau sok-sokan merokok,” ucap Divya. Baskara cengengesan. “Tahu ih. Tapi, ada loh rokok yang tidak menghasilkan asap. Sama-sama buat ketagihan pula,” kata Citra. Berhasil membuat kami penasaran. Rokok apa itu? “Rokok daging,” jawabnya. Ia tertawa terbahak. Rokok daging? Rokok apa itu—heh!? Aku tahu itu! Aku melepas sepatuku dan lalu melemparnya ke arah Citra. Kena empedunya. “Dasar otak s**********n!” kataku. Citra tertawa semakin keras. Divya bertanya, sedangkan Baskara, yang sepertinya sama-sama mengerti, kini ikut tertawa terbahak-bahak. “Rokok daging itu—“ aku membisikkan Divya arti dari benda tersebut. Divya langsung syok, melotot. Ia ikut melepas sepatu dan lalu melempar ke arah Citra. Tapi entah bagaimana, sebuah cangkul ikut mendarat di kepala Citra. “m***m!” pekik Divya. Citra masih bisa tertawa. Mengabaikan bekas jejak sepatu Divya di wajahnya. Rokok daging adalah kata slang dari alat kelamin pria. Citra memang juaranya kalau soal m***m. Dia seorang perempuan, tapi sifat mesumnya mengalahkan laki-laki termesum di kelas kami, yaitu Yoga. Aku pun syok saat mengetahui hal ini. Karena di tempatku, tidak ada perempuan semesum Citra. Atau mungkin aku saja yang tidak tahu? Usai makan siang kami lanjut berkeliling. Berfoto di sana, sini, berfoto dengan beberapa hewan yang diizinkan, melihat atraksi—tentunya atraksi hewan, bukan Citra, dan kegiatan lainnya yang sangat menyenangkan. Seru sekali. Beberapa foto yang kami anggap bagus langsung kami cetak. Salah satu foto berhasil menarik perhatianku. Foto saat kami berempat berada di depan danau buatan. Berjejer, merangkul, tersenyum lebar. Foto ini sangat bagus. Menggambarkan hubungan kami berempat: bestie. Ini menjadi foto favoritku. Aku akan mengambil foto yang ini untuk disimpan. Tiba waktu sore, kami memutuskan untuk pergi meninggalkan Ragunan dan beralih ke tempat karaoke. Satu jam cukup lah untuk menyalurkan bakat menyanyi kami. Baskara dan Citra siap mengguncang panggung dengan skill biduan mereka. Sedangkan Divya siap untuk menampilkan penampilan qasidahan yang sudah ia pelajari selama berabad-abad lamanya. Setibanya di tempat karaoke dan menyewa ruangan untuk satu jam, Divya benar-benar langsung menyanyikan lagu qasidahan yang ia nyanyikan sepanjang jalan tadi. Penampilannya benar-benar super mega bintang. Aku, Baskara dan Citra dibuat tercengang. Mangga sisa, Mulut kampret, Tak berharga dan terhina, Banyak kampret, mengintainya, Ingin mengenyam manisnya, Setelah dimakan sedikit, Mangga ditinggal bernoda. Begitu kira-kira liriknya. Aku, Baskara dan Citra sampai hafal. Bagaimana tidak, Divya menyanyikan lagu tersebut sebanyak 7 kali berturut-turut, non stop. Kuulang, Non Stop! Kami benar-benar terhipnotis. Kok, aku jadi bernostalgia saat study tour ya. Manis di bibir. Memutar kata. Malah kau tuduh akulah—ah! Cukup! Aku muak dengan lagu itu. Kami bernyanyi bergiliran, duet, dan bersama-sama. Lagu melow, senang, dangdut, rock, ayat-ayat ruqyah, kami nyanyikan dengan penuh penghayatan. Satu jam berlalu, kami tambah satu jam lagi. Berlalu, kami tambah satu jam lagi. Berlalu lagi, tambah satu jam lagi. Kami selesai karaoke pada malam hari, selepas empat jam konser. Divya dan Citra berubah bisu. Suara mereka habis. Beruntung mereka bisa bahasa isyarat. Ingat, Citra lama di penangkaran orang utan. Sudah pasti dia profesional dalam bidang bahasa isyarat. Sekarang, kami akan menjenguk Pak Husein di rumah sakit. Kami lebih dulu membeli buah-buahan sebagai buah tangan. Semoga beliau suka buah kecubung yang kami beli. “Bagaimana kabar Bapak?” tanya Baskara. Pak Husein tersenyum. Beliau tersenyum sangat lebar. “Sehat. Sehat sekali. Habis ini saya mau panjat tebing,” katanya. Baskara mengangguk. Hening. Sesaat. Sebelum akhirnya Pak Husein mencubit perut buncit Baskara. “Jelas saya sedang sakit, Babas. Tidak mungkin kan saya berbaring di sini, tapi kondisi badan saya sehat walafiat?” Pak Husein berbicara dengan logat khas betawi. Baskara tertawa kikuk. Benar sih perkataannya, tapi maksud dari pertanyaan Baskara tadi—ah sudahlah. Abaikan. Kami lanjut mengobrol. Jika dibandingkan dengan kondisinya semalam, kondisi Pak Husein saat ini telihat jauh lebih baik. Beliau sudah bisa bercanda, walau kadang tiba-tiba mengaduh karena ingin kentut. Katanya, luka jahitannya terasa sangat sakit saat sedang kentut atau buang air. Sebentar, bukankah lukanya berada di d**a? Kenapa beliau merasa sakit saat kentut dan buang air? Ah, mungkin beliau punya wasir. “Harusnya kita bawakan Pak Husein Ubi Cilembu ya,” bisik Baskara padaku. “Memangnya kenapa?” tanyaku. “Biar dia kentut-kentut,” jawab Baskara. Kami tertawa pelan. “Dasar pea!” Pak Husein membahas perihal kelebihanku. Ia bersyukur karena aku menggunakan kelebihanku ini di jalan yang benar, yaitu untuk membantu orang. Sebagai orang yang telah ditolong, Pak Husein memintaku untuk tetap seperti ini, terus menjadi orang yang mau membantu orang-orang dan bahkan hantu-hantu di luar sana yang mengalami kesulitan. Kelebihan yang kumiliki ini adalah sebuah berkat, katanya. Jika digunakan untuk kebaikan, pasti akan berbuah baik pula untuk kehidupanku mendatang. “Jangan gunakan kelebihanmu di jalan yang salah ya, Nak. Orang baik di dunia ini semakin sedikit. Kamu—kalian, harus tetap menjadi orang yang baik, apa pun yang terjadi,” ujar Pak Husein. Kami mengangguk. Mengiyakan. Jam besuk berakhir. Waktunya kami untuk pulang. Kami berpamitan pada Pak Husein. Beliau tampak lelah, pun dengan kami. “Jangan lupa dimakan buah kecubungnya, Pak,” kata Baskara. Malam masih panjang. Kami belum mau pulang. Walau lelah, kami memilih untuk nongkrong di salah satu kafe terkenal yang menyajikan pemandangan indah kota Jakarta. Kafe Indigo, kafe yang berada di atap sebuah gedung pencakar langit. Buka dari pukul 5 sore hingga pagi. Walau harga makanan dan minumannya terbilang cukup mahal, tapi kami tetap memilih tempat ini untuk nongkrong. Sayang, rencana makan di Kafe Indigo harus dibatalkan. Tempatnya penuh. Kafe dan restoran di sekitar pun juga sudah penuh. Ada beberapa yang tidak terlalu ramai, tapi beberapa dari kami tidak menyukai menu yang disajikan. Karena tidak memiliki tujuan lain, pada akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke rumah Divya. “Bakso Pakde ada, Divy?” tanya Baskara. “Ada,” jawab Divya. “Ya sudah, kita makan itu saja.” Pada akhirnya kami makan malam dengan menu bakso Pakde, di rumah Divya. Seperti biasa, Baskara dan Citra meminta nasi pada Ibu. Aku dan Divya menambahkan mie instan sebagai pelengkap. Sambal dan saus ekstra kuminta, pun dengan perasan jeruk limo. Cukup jarang, tapi hari ini aku ingin menambahkan kecap sebagai bumbu pelengkap. Aku ingin kuah baksoku sekental tekadku untuk menjadi orang sukses. Nikmat sekali. Bakso Pakde benar-benar berhasil menyembuhkan lidahku dari hambarnya hidangan dan jajajan Ragunan. Rasanya seperti hidup kembali setelah kematian. Lidahku kembali mendapatkan kenikmatan kuliner pinggir jalan yang hakiki. Dengan harga 10 ribu rupiah, aku sudah merasa puas jiwa dan raga. Pakde, I love you. Maksudku, aku menyukai baksonya—maksudnya bakso sapi yang dia buat dan yang dia jual. Ya, begitu. Sembari makan, kami mengobrol. Aku membuka pertanyaan perihal Bapak yang tidak ada di rumah. Divya menjelaskan bahwa Bapak sedang mengerjakan proyek. Proyek penting dan besar. Beliau baru akan pulang besok lusa. “Memangnya Bapak kerja apa?” tanya Citra. “Mandor,” jawab Divya. “Penjaga pintu?” tanya Baskara. “Kok penjaga pintu, sih?” tanya Divya. Bingung. “ Ya itu, Man door.” “Yeuh! Bisa aja gagang pintu!” kataku. Baskara lalu melontarkan pertanyaan pada Divya perihal dirinya yang tidak memiliki kelebihan sepertiku. Padahal, Bapak kan punya kekuatan dan bahkan pegangan jin-jin kuat, lagi sakti. Biasanya, kekuatan seperti itu pasti diturunkan ke anaknya. “Jangan-jangan kau anak pungut ya,” celetuk Baskara. Mulutnya benar-benar licin. “Kucolok matamu pakai garpu. Mau?” Divya menyodorkan garpu ke wajah Baskara. Baskara menggeleng. Tentu saja dia tidak mau. Setelah menyeruput mie, Divya mulai menceritakan kisahnya. “Aku sebenarnya punya kelebihan,” kata Divya. “Tapi, Bapak menyegelnya.” Divya menjelaskan bahwa ia terlahir bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat. Bisa berkomunikasi dengan sesuatu yang tidak terlihat, persis seperti aku. Hanya saja, tubuhnya lemah dan suka diambil alih oleh makhluk-makhluk tidak terlihat ini. Gongnya, dia pernah dirasuki oleh makhluk jahat yang sangat kuat, dan di momen itu Divya hampir kehilangan nyawanya. Beruntung, Bapak masih bisa menyelamatkannya. Sejak saat itu, Bapak menyegel kelebihannya. Itu semua demi keamanan dan keselamatan Divya. Citra tampak speechless mendengar cerita Divya. Ia tidak menyangka bahwa di tim kami ada dua anak spesial. Beruntung karetnya tidak dua. Ia lantas bertanya, bagaimana rasanya menjadi anak berkemampuan khusus, walau hanya sebentar. “Rasanya mengerikan. Hari-hariku dipenuhi dengan makhluk-makhluk menyeramkan yang selalu menampakkan diri. Mereka terus mengintaiku, seakan-akan aku adalah buruan mereka,” ujar Divya. Citra merinding, tapi minta tambah sepiring nasi lagi pada Ibu. Dari penuturannya, aku mengambil kesimpulan bahwa Divya memiliki darah yang harum. Darah langka yang mampu mengundang makhluk-makhluk gaib untuk datang ke tempatnya. Orang-orang seperti ini memang selalu menjadi incaran, entah untuk diambil jiwanya atau dicuri raganya. Orang spesial di kalangan orang-orang spesial. “Padahal, jika Bapak tidak menyegelnya, kau pasti punya kekuatan yang hebat,” kataku. “Oh ya?” Baskara tampak tertarik. Dia juga meminta tambah sepiring nasi lagi pada Ibu. Aku mengangguk. Memang begitu faktanya. Mereka yang terlahir spesial atau langka pasti memiliki kekuatan yang kadang bisa mencapai level anomali. Kekuatan di luar nalar yang tidak masuk akal. “Kau sendiri, apa? Spesial atau biasa?” tanya Baskara. “Spesial,” jawabku. Baskara mengangguk. “Tak apa lah aku kehilangan kelebihanku. Yang penting hidupku jadi tenang,” kata Divya. Ibu datang membawakan nasi untuk Baskara dan Citra. Keduanya berterima kasih pada Ibu, juga meminta maaf pada beliau karena telah merepotkan. Ibu tidak mempermasalahkan. Beliau sudah menganggap kami sebagai anaknya sendiri. Tapi, setelah itu Baskara malah meminta kerupuk yang ada di dapur. Kalau bisa satu kaleng. Jelas hal ini membuat Divya kesal. Baskara banyak mau. “Sekali lagi kau minta sesuatu, aka kulempar tabung gas LPG 3 kg ke kepalamu,” kata Divya. “Marah-marah mulu kaya nenek-nenek,” balas Baskara. Cengengesan. “Biar!” Divya menyuap bakso ke dalam mulutnya. Mulutnya terbuka lebar. Jika kumasukkan sepeda motor ke dalamnya, mungkin bisa. Dua. Ya, dua sepeda motor muat di dalam sana. Baskara yang aktif di padepokan Silat, ditawari oleh gurunya untuk mendapatkan ilmu. Ilmu di sini bukan ilmu biologi, ilmu pengetahuan sosial, ataupun ilmu kewarganegaraan, tetapi ilmu sakti mandra guna. Seperti kebal sayatan benda tajam, kebal peluru, kebal rasa sakit, maupun kebal dari mulut pedas para tetangga. Ia memutuskan untuk menerimanya. Toh, untuk perlindungan diri. “Selama ilmu itu tidak bersekutu dengan jin atau iblis yang meminta tumbal nyawa, pelajari saja,” kataku. Citra yang sedang menuang nasi dari piring ke mangkuk juga ingin mempelajari ilmu sakti. Ia tidak mau tertinggal dari kami bertiga. “Arka bisa sihir, Divy punya khodam, Babas sebentar lagi akan memiliki ilmu sakti mandra guna, lalu aku apa? Apa yang harus aku pelajari?” Citra memasang wajah sedih. Tapi, tetap menyuap nasi dan bakso ke dalam mulutnya. Aku, Divya dan Baskara saling tatap. Kami tersenyum jahat. “Babi Ngepet. Cocok untukmu,” kataku. “Kuyang sih, keren. Bisa terbang,” timpal Baskara. “Pelihara tuyul aja. Cuma modal nete-in, kamu sudah bisa kaya tujuh turunan. Susumu kan besar, pasti cukup lah buat pelihara 4 tuyul sekaligus,” celetuk Divya. Wajah Citra langsung menekuk. “Jahat sekali kalian. Aku kan sedang serius.” Kemudian, ia mengambil piring nasi milik Baskara dan lalu menuang semua isinya ke dalam mangkuknya. “Hei! Nasiku!” Baskara protes. Citra tidak peduli dan lanjut makan. Sembari tertawa, aku berkata, “Kami juga serius. Yang penting kan kau punya ilmu.” “Jadi, kau mau pilih yang mana, Cit?” tanya Divya. “Tidak. Aku tidak akan memilih. Saran dari kalian tidak ada yang bagus. Merugikanku semua.” Aku dan Divya tertawa, sedangkan Baskara menatap sedih piring nasinya yang kosong. Meninggalkan harapan palsu. Hari keberangkatanku tiba. Waktunya kembali ke kampung halaman. Kini, aku sudah berada di terminal bus Lebak Bulus. Divya, Baskara dan Citra mengantar. Bus tujuan Garut yang akan kunaiki sedang bersiap di ujung sana. Hatiku berdebar. Rindu keluarga. “Sampai ketemu lagi, kawan. Don’t miss me,” kataku. “Nanti kalau mau balik ke sini, kabari. Biar kami jemput,” kata Divya. Aku mengangguk. “Jangan lupa oleh-oleh dodol sama domba Garutnya,” pinta Baskara. “Mau janda desa sebelah, gak?” Tawarku. Baskara dengan semangat mengangguk. Mulutnya berkata, mau, mau, mau dengan antusias. Sebelum akhirnya Divya menjewer telinganya. Membuatnya mengaduh hebat. “Jangan ngadi-ngadi ya Anda.” Baskara meminta ampun. Jeweran dilepaskan. Citra sejak tadi diam. Curiga, jangan-jangan dia poop di celana. “Sepertinya pelihara tuyul boleh juga,” ujar Citra. Aku, Divya dan Baskara langsung menatapnya. Kami tertawa. Ternyata dia masih memikirkan perihal percakapan semalam. “Terserah kau saja, Cit. Terserah,” kataku. Busku telah siap untuk berangkat. Aku berpamitan pada mereka bertiga. Kami berpelukan. Berat rasanya meninggalkan mereka. Tapi, ini cuma sesaat. Toh, setelah libur sekolah selesai, kami akan kembali bertemu. Dan, aku bisa kembali meledek Citra. Seketika aku mendapatkan ide untuk membawakan oleh-oleh tahi domba satu toples untuk Citra. Lumayan, untuk pupuk. “Pergi dulu ya,” kataku. “Hati-hati di jamban,” ucap Baskara. “Hati-hati di jalan!” Divya dan Citra berteriak kompak. Mengoreksi. “Eh, iya, maaf salah!” Aku tertawa. Mereka benar-benar membuat duniaku berwarna. Bus pergi meninggalkan terminal. Di luar sana tampak Divya, Baskara dan Citra melambaikan tangan, aku membalasnya. Tak sadar air mataku menetes. Sampai bertemu lagi, sobat. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN