BAB 11: DENDAM DAN INGATAN

4433 Kata
“Apa?!” Aku terlonjak bangun. Peluh membasahi tubuh. Napas terengah-engah. Tubuhku sedikit gemetar. Tubuh-tubuh tidak bernyawa yang bersimbah darah itu, organ-organ yang berceceran, bau anyir darah bercampur bau dendam dan amarah, sosok pendendam yang kembali mengingat semuanya membalaskan penderitaannya pada orang yang telah membuatnya menderita. Seorang wanita dan ketiga anaknya yang tidak berdosa pun kena getahnya. Aku mengalami penglihatan. Penglihatan yang sangat mengerikan. Sulastri mengamuk. Dalam wujud menyeramkan—seperti saat ia menghukum Pak RT dan keluarganya dulu—ia membunuh Arlan beserta istri dan anak-anaknya. “Bagaimana ini?” Pagi harinya di sekolah, aku membicarakan perihal penglihatanku pada Divya, Baskara dan Citra. Sepertinya ingatan Sulastri tidak boleh dibangkitkan. Itu kesimpulan yang kami ambil dari penglihatanku. Memang terdengar jahat, tapi dia tidak boleh tahu perihal masa lalunya. Ini semua demi melindungi nyawa orang-orang yang tidak bersalah. Sembari menunggu pembagian rapor, sekolah mengadakan kegiatan class meeting. Salah satu kegiatan yang aku suka. Selain bisa mengeratkan hubungan antar kelas dan angkatan, kegiatan ini terasa menyenangkan untukku yang suka berolahraga. Ya, hitung-hitung tebar pesona juga sih. Kelasku memenangkan hampir seluruh cabang olahraga. Pak Nanda sampai menyebut kami kelas kuli karena kekuatan fisik yang kami kelewat kuat. Oke, ini julukan baru untuk kelas kami. Padahal, jumlah murid di kelas kami hanya 15 orang. Setengah dari jumlah murid di kelas-kelas lain. Di saat kelas lain mengirim tim dengan anggota yang berbeda-beda di tiap cabang olahraga, di kelas kami, satu orang yang sama bisa mengikuti 3 cabang olahraga sekaligus. Seperti aku dan Zain yang mengikuti seluruh cabang olahraga. Itu semua karena keterbatasan jumlah murid. Tapi, kami tidak mempermasalahkan. Di sela-sela jam istirahat, Pak Husein menghampiriku. Ia memberitahuku informasi mengenai Arlan. Lokasi tempat tinggalnya saat ini. Informasi yang sangat kubutuhkan. Pria itu tinggal di perumahan elite yang berlokasi di BSD, bersama istri dan ketiga anaknya. Aku lantas berterima kasih padanya. Malam harinya. Lagi-lagi aku mengalami penglihatan buruk. Kali ini ada Divya, Baskara dan Citra. Mereka semua terluka cukup parah. Ada Sulastri juga dalam kondisi yang sama seperti waktu itu. Penuh amarah dan kebencian. Ini pertama kalinya aku mengalami penglihatan secara berdekatan seperti ini. Aku tidak menceritakan perihal penglihatanku semalam pada Divya, Baskara dan Citra. Aku juga memutuskan untuk tidak menyeret mereka ke dalam masalah ini lagi. Ya, ini semua demi keamanan dan keselamatan mereka. Aku harus bisa mengubah penglihatanku. Aku masih menemui Sulastri. Entah seorang diri atau bersama ketiga bestie-ku. Memeriksa apakah puzzle-puzzle ingatannya kembali muncul atau tidak. Semuanya masih aman terkendali. Sore hari, sepulang sekolah, aku tiba di salah satu klaster perumahan BSD, seorang diri. Blok G nomor 12. Inilah alamat yang Pak Husein berikan padaku, rumah Arlan. Megah dan mewah. Rumah tiga lantai itu seperti istana. Luasnya seukuran lapangan sepak bola. Aku memperhatikan rumah itu dari jauh. Dengan berpura-pura jogging, aku bisa mengamati rumah itu tanpa dicurigai oleh para penjaga. Beruntung, pakaian yang kukenakan adalah pakaian olahraga dan tas yang kubawa adalah tas pinggang kecil. Benar-benar menunjang aktingku. Selain itu, karena wajahku yang—ekhem! Tampan dan terlihat seperti anak orang kaya, tak ada satu orang pun yang menaruh curiga padaku sama sekali. Mereka mengira aku adalah penghuni salah satu rumah yang ada di sini. Kuputari rumah itu. Mencari tempat-tempat mana yang bisa kugunakan untuk menaruh buhul yang akan kutujukan pada Arlan. Aku akan mengirimkan jin pengganggu untuknya. Akan kubuat dia jadi gila dan mengakui semua perbuatannya. Usai menentukan titik-titik yang pas, aku beranjak pulang. Sekarang yang harus aku lakukan adalah mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat buhul. Ini yang berat, karena aku harus memiliki sesuatu yang jadi milik Arlan. Lagi, malam saat tertidur, aku mendapatkan sebuah penglihatan. Lagi, tentang Sulastri yang mengamuk. Kali ini ia menyerap roh-roh korban Arlan yang bernasib sama sepertinya, membuatnya semakin kuat dan tidak terkalahkan. Ternyata, Sulastri bukan satu-satunya korban pria b***t itu. Ada belasan gadis remaja, mereka seumuran. Kekuatan gabungan itu membuat kebencian dan dendamnya semakin membara. Sulastri menatapku. Ia memanggilku dengan sebutan pengkhianat. Aku terbangun dengan kondisi seperti sebelum-sebelumnya. Napas terengah, tubuh yang berkeringat dan agak gemetar. Kacau, penglihatan yang kudapat semakin memburuk. Sepertinya, penglihatan yang terjadi secara sering ini menjadi pertanda bagiku untuk lebih berhati-hati dan semakin waspada dalam mengambil tindakan. Sebuah kejadian buruk benar akan terjadi. Aku harus segera bergerak. Penglihatan-penglihatan itu tidak boleh menjadi kenyataan. Sabtu pagi, hari pembagian rapor. Ibunda Ratu tidak bisa datang, ada urusan keluarga. Nenekku terperosok ke dalam jamban. Beliau harus dievakuasi sebelum jamban itu digunakan oleh orang lain. Beruntung pihak sekolah tidak mempermasalahkan. Toh, tidak ada hal serius yang harus mereka katakan pada ibuku. “Bagaimana dengan masalah Sulastri? Kita sudah lama tidak membahas ini,” kata Divya saat kami berada di kantin. “Semua berjalan lancar. Si Arlan, Arlan itu sebentar lagi akan mendapatkan ganjarannya,” kataku. “Baguslah. Aku tidak sabar melihat dia menderita,” kata Divya. Semoga dengan perkataanku ini mereka tidak lagi ikut campur dalam permasalahan Sulastri. Ingat, aku harus menjauhkan mereka. Masa depan harus diubah. Sepulang mengambil rapor, aku bergegas pergi menuju ke salah satu hotel bintang 6 yang berada di Jakarta Selatan. Dari informasi yang kudapat dari salah satu seniorku dari jurusan perhotelan yang PKL di hotel tersebut, mereka melihat Pak Ernan dan beberapa orang pria sedang berpesta di sana. Salah satunya adalah Arlan. Mereka juga menyewa kamar, dan pastinya ada wanita-wanita penghibur di sana. Pak Ernan dan pria lainnya langsung pulang keesokan paginya, sedangkan Arlan masih menginap hingga hari ini. Kesempatanku. Aku bisa mengambil yang aku butuhkan. Mendatangi hotel, bertemu dengan seniorku dan lalu melakukan sesuatu pada salah satu staf cleaning service hotel—aku mengendalikan pikirannya. Aku berhasil mendapatkan beberapa helai rambut Arlan, sikat gigi yang ia gunakan, dan ini yang agak menjijikkan, aku berhasil mendapatkan kondom berisi spermanya. Ewh! Jika bukan untuk menghukumnya, aku tidak akan mau mendapatkan semua benda-benda ini. Di lobi hotel aku berpapasan dengan Arlan. Dia mirip Pak Ernan, hanya lebih jelek. Kuakui, Pak Ernan memang tampan dan sangat karismatik, tubuhnya kekar, tinggi dan gagah. Benar-benar sugar daddy incaran dede-dede gemes dan janda-janda gatal. Aku berjalan keluar dari lobi hotel, sedangkan Arlan berjalan ke arah lift. Beruntung bagiku, karena dia tidak memiliki pegangan makhluk gaib apa pun. Aku bisa dengan mudah melancarkan rencanaku. Malamnya, aku langsung menjalankan ritual. Buhul-buhul sudah kutaruh di beberapa bagian rumah Arlan. Aku meminta tolong tukang kebun dan tukang bersih-bersih di sana untuk menaruh buhul-buhul tersebut di tempat-tempat yang aku minta. Tidak dengan sihir, tapi dengan bayaran. Mereka kusogok dan mereka mau. Kini, yang harus kulakukan adalah mengirim gangguan ke sana. “Teror dia. Hantui dia. Ubah wujud kalian ke wujud-wujud yang aku bertahukan tadi. Buat dia gila, buat dia sengsara,” titahku pada jin yang aku panggil. Tidak satu, melainkan delapan. Mereka mengangguk, mengiyakan. Lelah, hari ini aku benar-benar sibuk. Aku mau istirahat. Aku hanya tinggal menunggu jin-jin itu kembali dengan membawa hasil yang aku inginkan. Maaf Ibunda Ratu, maaf Abah, aku menggunakan kekuatanku untuk menjahati orang. Tapi, orang ini memang pantas untuk dijahati. Dia iblis berwujud manusia, tak cocok diperlakukan lembut seperti ani-ani—maksudku bayi. Duh, pikiranku kacau sekali. *** Tiga hari berlalu. Sabtu ini aku harus pulang kampung, melepas rindu pada keluarga. Kabar baik datang saat sore menjelang. Jin-jin yang kusuruh telah kembali. Mereka melaporkan bahwa Arlan sudah kehilangan kewarasan dan sebentar lagi ia akan mengakui semua kesalahannya ke publik. Keesokan harinya. Pagi yang cerah ditemani secangkir kopi panas aku menyaksikan siaran berita yang ditayangkan di salah satu aplikasi sosial media. Wajah Arlan terpampang sebagai thumbnail. Pria Yang Dihantui Hantu Korbannya, itu judulnya. Video berdurasi 6 menit 30 detik itu berisi Arlan yang ketakutan, berteriak histeris, meminta ampun sembari terus menyebut beberapa nama, salah satunya Layla. Ia juga mengakui segala dosa-dosanya. Polisi lantas langsung mengamankannya. Awalnya, orang-orang mengira Arlan gila. Tapi, setelah polisi melakukan penyelidikan, ditemukan banyak barang bukti di rumah Arlan terkait pernyataannya yang menghebohkan. Video-video asusila gadis berusia belia, video-video penyiksaan gadis-gadis, foto-foto tidak senonoh—bahkan ada foto bocah SD, perempuan, tanpa mengenakan sehelai benang pun, semua benda tersebut ditemukan di brankas rahasia milik Arlan. Sang istri syok bukan main. Yang ia tahu, suaminya adalah sosok kepala rumah tangga yang baik dan penyayang. Fakta ini menjadi sebuah pukulan keras baginya. Karena kejahatannya, Arlan dijebloskan ke dalam penjara. Sidang keputusan hukuman akan dilaksanakan satu bulan dari sekarang. Pihak-pihak yang terlibat—baik sekutu, saksi, maupun korban akan dihadirkan dalam sidang. Orang-orang yang disuap dan diancam oleh Arlan siap untuk bersaksi, salah satunya adalah Pak Husein. Akhirnya, dalang di balik meninggalnya Sulastri akan mendapatkan ganjarannya. Aku puas—sebenarnya tidak terlalu. Aku sebenarnya ingin meng-cut nyawa Arlan. Tapi, aku urungkan. Takut Ibunda Ratu dan Abah tahu. Bisa-bisa aku kena hukum. Karena ditangkapnya Arlan, aku yakin peristiwa yang terjadi dalam penglihatanku tidak akan pernah terjadi. Aku telah mengubah masa depan. Tapi sekarang, aku memiliki satu masalah lain, bagaimana caranya membuat Sulastri tenang, kembali ke Alam Kematian. Aku tidak bisa memberitahu dia soal masa lalunya, sedangkan roh gentayangan bisa tenang dan kembali ke Alam Kematian jika semua urusannya telah selesai, secara sadar. “Duh, pusing kepalaku.” Sebelum pulang kampung, aku, Divya, Baskara dan Citra memutuskan untuk pergi menemui Sulastri. Aku mau berpamitan dengannya. Jujur, aku merasa tidak enak hati. Perasaan orang yang sedang berbohong, tapi harus bertemu dengan orang yang dibohongi itu benar-benar tidak nyaman. Sore menjelang malam, kami pergi ke sekolah, bertemu dengan Pak Husein yang sedang mengobrol dengan dua satpam. Rumah mereka berada di dekat sini, dan saat libur sekolah mereka memang suka menghabiskan waktu di sini. “Liburan tuh jalan-jalan. Main ke mal. Eh, malah datang ke sini. Mau ada perlu apa kalian?” tanya Pak Husein. Seperti biasa wajahnya secerah matahari. “Ingin bertemu seseorang,” jawabku. Mengangkat kedua alisku berulang kali. Pak Husein paham dengan kode itu dan lalu mengizinkan kami untuk masuk. Kami bertempat langsung menuju ruang perpustakaan. Sulastri sudah menunggu. Ia tampak senang dengan kedatangan kami. Martabak, kubawakan satu kotak kecil untuknya, sedangkan satu kotak lagi untuk kami. Tak perlu bertanya bagaimana cara Sulastri makan. Intinya ia benar-benar bisa memakan martabak yang aku beri. Kami makan sembari mengobrol. Seperti biasa, Baskara dan Citra sesekali bercanda pada Sulastri yang tidak bisa mereka lihat. Mereka selalu bertanya padaku, bagaimana respons Sulastri. Kujawab, ia senang. Semenjak sering mengobrol denganku dan juga ketiga bestie-ku, Sulastri yang awalnya tidak lancar berbicara, kini sudah bisa berbicara normal layaknya manusia pada umumnya. Sekarang, daripada terlihat seperti hantu, Sulastri lebih terlihat seperti manusia hidup dengan tubuh yang penuh luka. Ia benar-benar telah berubah. “Tapi, nama asli Sulastri bagus loh. Layla Agnesia. Nama yang cantik,” kata Citra. Sontak kedua mataku membelalak, pun dengan Divya dan Baskara. Bagaimana bisa Citra mengatakan nama itu di depan Sulastri? Kita kan sudah berjanji untuk tidak mengatakan perihal masa lalu Sulastri. Citra yang sadar kalau ia keceplosan, lantas langsung menutup mulutnya. Menatapku, bertanya apakah semuanya baik-baik saja. Kutatap Sulastri. Ia terdiam mematung. Kucoba memanggilnya, tapi ia sama sekali tidak merespons. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang berpikir, mengingat-ingat sesuatu. “Layla … Agnesia …” ucap Sulastri. Aku meneguk salivaku. Gawat. Dia memikirkan nama itu. “Layla … Agnesia …” ucapnya lagi. “Layla …” “Agnesia …” Ia terus mengulang-ulang nama itu. Aku mulai panik. “Layla Agnesia.” Menatap ke arah depan. Sulastri terdiam. “Layla Agnesia,” ucapnya sekali lagi. Tiba-tiba saja tubuh Sulastri mengalami glitch. Sangat hebat. Jauh lebih hebat daripada sebelum-sebelumnya. Roh gentayangan itu mengerang kesakitan sembari memegangi kepalanya. Tekanan rohnya tiba-tiba saja melonjak hebat, membuat listrik satu sekolah tidak stabil. Lampu berkedap-kedip. Atmosfer terasa sesak, rasanya seperti tak ada udara. Di sini, Divya, Baskara dan Citra kompak berteriak kaget. Mereka secara ajaib bisa melihat Sulastri. Mereka ketakutan. Tapi … Keadaan seketika kembali normal. Tegangan listrik kembali stabil, lampu tak lagi berkedap-kedip. Sulastri pun tak lagi mengerang kesakitan. Tubuhnya tidak lagi mengalami glitch. Tapi, anehnya Divya, Baskara dan Citra yang bersembunyi di balik salah satu lemari buku masih dapat melihatnya. “Sulastri, kamu tidak apa-apa?” Kuhampiri Sulastri yang kini terdiam mematung. “Sulastri?” Panggilku lagi. Tak ada respons. Secara mengejutkan, satu nama keluar dari dalam mulutnya. “Arlan.” Deg! Seketika jantungku rasanya berhenti berdetak. “Arlan.” Ia menyebut nama itu lagi. “Arlan.” Lagi. Dia ingat dengan Arlan. Tidak. Tidak boleh. Ingatannya sudah kembali. Raut wajah Sulastri berubah. Tampak marah. “Berengsek kau Arlan!” Sulastri berteriak. Seketika keadaan kembali tidak kondusif. Fenomena poltergeist terjadi. Benda-benda di sekitar terpental dan beterbangan tak menentu. Beberapa mengenaiku hingga membuatku terluka. Lampu pun kembali berkedap-kedip, listrik satu sekolah kembali tidak stabil. Kali ini lebih parah. Lampu-lampu sampai pecah. Keadaan berubah menjadi gelap gulita. Kacau, semuanya kacau. Tiba-tiba saja sebuah penglihatan masa lalu muncul dalam pikiranku. Hari di mana Sulastri dihabisi oleh Arlan. Malam hari, seusai meminta izin pada Pak Husein, Sulastri pamit. Ia ingin menemui Arlan. Bukan untuk meminta pertanggungjawaban, toh ia yakin, ia takkan mendapatkan hal tersebut. Tapi, untuk mengatakan selamat tinggal. Ia takkan mengganggu Arlan lagi, karena ia memutuskan untuk memulai hidup barunya dari awal. Dengan keluarga barunya. Keluarga Pak Husein. Nahas. Arlan yang mengira Sulastri akan meminta bertanggung jawaban, malah menghabisi nyawanya saat itu juga. Di tempat pertemuan mereka, sebuah vila di tempat terpencil. Arlan tidak sendiri, ia membawa preman-preman pasar yang menjadi kaki tangannya. Sulastri dipukuli, disiksa, dilecehkan, dan yang paling menyeramkan, janin yang ada di dalam perutnya dikeluarkan secara paksa. Perutnya dipukul kuat-kuat dan ditekan-tekan dengan sangat hebat, hingga janin itu keluar dalam keadaan hampir sempurna. Kepala Sulastri dihantam palu hingga bolong. Apakah dia mati? Tentu belum! Sulastri yang masih hidup, dalam keadaan lemah, tidak berdaya dan sedih, dibawa oleh Arlan dan preman-preman ke Akademi Jakarta Wisata. Kondisi sekolah sedang kosong. Ia diseret menuju ruang perpustakaan. Jejak darah tertinggal di jalan dan lantai. Dengan seutas tambang, Sulastri digantung. Di situlah ia meregang nyawa dengan rasa sakit yang luar biasa. Penglihatanku berakhir. Hidungku mimisan. Aku benar-benar syok. Aku baru saja melihat tragedi pembunuhan yang sangat kejam. Di dalam kegelapan yang menyelimuti, aku bisa melihat penampakan Sulastri yang sangat menyeramkan. Penampakan seperti yang selalu aku lihat di dalam penglihatanku. Sial, sepertinya penglihatanku menjadi nyata, bahkan setelah semua yang aku lakukan. “Sulastri,” panggilku. Aku berusaha mendekatinya. Tekanan rohnya masih sangat kuat, bahkan sampai mendorongku. Sulit sekali, bahkan untuk sekedar berjalan. Di tengah usahaku mendekatinya, Sulastri berkata dengan suara penuh dendam dan amarah. Kedua mata hitam pekatnya mengeluarkan darah, banyak hingga membasahi tubuh. “Akan kubunuh kau Arlan! Akan kuambil nyawamu beserta seluruh anggota keluargamu!” kata Sulastri. Hempasan gelombang roh menghempasku dan benda-benda di sekitarku. Suara kaca pecah terdengar keras. Semuanya terhempas, benar-benar kacau, berantakan. Tubuhku terasa sakit. Sesaat kemudian, Sulastri menghilang. Keadaan kembali normal, tapi dengan ruang perpustakaan yang kacau dan berantakan. Sakit, pelipisku berdarah. Beberapa tulangku sepertinya mengalami cedera. Tunggu, Divya, Baskara dan Citra! Kutengok ke arah tempat mereka bersembunyi sebelumnya. Lemari itu telah menimpa tubuh mereka. Aku pun segera menolong. Kuangkat lemari itu sehingga ketiganya bisa keluar. Mereka terluka cukup parah. Ada darah segar mengalir hingga mengotori baju mereka. Pemandangan ini persis seperti yang aku lihat di dalam penglihatanku. Lagi, aku gagal mengubah masa depan. Citra meminta maaf berkali-kali. Aku dan yang lain memaklumi. Citra memang suka keceplosan. “Ke mana Sulastri?” tanya Divya. Aku menggeleng, tak tahu. Pak Husein dan kedua satpam masuk. Mereka tampak panik dan khawatir melihat keadaan kami. “Kalian baik-baik saja? Apa yang terjadi?” tanya Pak Husein. Aku menjelaskan semuanya. Pak Husein lantas meminta pada kedua satpam untuk segera membawa Divya, Baskara dan Citra ke puskesmas terdekat, sedangkan beliau akan membantuku mencari Sulastri. “Aku juga mau bantu,” kata Divya. Baskara dan Citra sama, mereka juga ingin membantu. Tapi, Pak Husein dengan tegas melarang. “Sangat berbahaya. Orang biasa seperti kalian takkan mampu menghadapi masalah seperti ini,” katanya. Akhirnya, Divya, Baskara dan Citra dibawa ke puskesmas, sedangkan aku dan Pak Husein mencari keberadaan Sulastri. Aku menceritakan perihal penglihatanku pada Pak Husein. Dari sini, beliau berpikir bahwa Sulastri pasti pergi ke tempat Arlan berada. Ia akan menghabisi nyawa pria itu. Kemudian, dia akan beralih ke rumah Arlan untuk mengincar istri dan ketiga anaknya. “Abaikan Arlan. Dia pantas mendapatkan hukuman,” kata Pak Husein, dan aku setuju. Biarlah pria itu mati di tangan Sulastri. Toh, dia memang salah. Kini, tujuan kami adalah kediaman Arlan. Istri dan ketiga anaknya harus dilindungi. Dengan menggunakan motor tua milik Pak Husein yang bunyi knalpotnya bok, bok, bok, kami melaju menuju perumahan elite yang berlokasi di BSD. Di perjalanan, aku menghubungi seseorang. Aku yakin orang ini pasti bisa membantuku dan juga Pak Husein nanti. “Berhenti! Kalian tidak boleh masuk!” Dua satpam bertubuh kekar langsung menghentikanku dan Pak Husein yang kini telah berada di depan rumah Arlan. Aku dan Pak Husein menjelaskan, tapi kedua satpam ini tidak percaya. Mereka menganggap kami gila. Satpam lain muncul, berusaha menyeret kami pergi. Tapi, suara teriakan wanita yang terdengar menggelegar dari arah rumah berhasil menghentikan mereka. Perhatian kami langsung tertuju ke arah rumah. Di saat yang bersamaan listrik di rumah terganggu, lampu berkedap-kedip. “Bu Rima!” Para satpam bergegas masuk ke dalam rumah. Aku dan Pak Husein ikut berlari bersama mereka. Setibanya di dalam rumah, sosok Sulastri terbang di langit-langit rumah yang kondisinya sudah kacau balau. Para satpam langsung tumbang, terkena kekuatan Sulastri yang luar biasa dahsyat. Mereka pingsan. Istri Arlan dan ketiga anaknya berada di ruang tamu di dalam lingkaran darah yang Sulastri ciptakan. Kami terlambat. Dia sudah lebih dulu sampai di sini. Pak Husein akhirnya bisa melihat sosok yang selama ini ia rindukan, Layla. “Mati!” “Mati!” “Mati!” Sulastri terus menerikkan kata itu sembari menunjuk ke arah istri Arlan. Seketika aku teringat akan penglihatanku. Istri dan anak-anak Arlan tewas di sini. Bedanya, tidak ada Arlan. Tunggu, tidak ada Arlan? Benar! Itu berarti aku telah mengubah masa depan. Ya, masa depan tidak berjalan seperti yang aku lihat. Aku masih punya kesempatan untuk mengubah apa yang seharusnya terjadi. Aku bisa menyelamatkan istri dan ketiga anak Arlan. Dengan kekuatannya Sulastri melemparkan benda-benda berujung runcing ke arah istri dan anak-anak Arlan. Aku maju, menahan semuanya menggunakan kekuatan telekinesis. Berhasil. “Kalian tidak apa-apa?” tanyaku pada istri Arlan. Namanya Rima. Mbak Rima mengangguk. “Tenang, kami akan menyelamatkan kalian,” kataku lagi. Kini berbalik menatap Sulastri. Roh pendendam memang sangat kuat. Terbukti, hanya dengan satu tatapan tajam, Sulastri berhasil membuatku merasa gentar. Sedikit sih, tapi tetap saja aku merasa takut. Ia terus menatapku dengan kedua mata hitam pekatnya yang terus-terusan mengeluarkan darah. “Dasar pengkhianat! Kau telah mengkhianatiku! Kau adalah pengkhianat, Arka!” ucap Sulastri. Ia kembali melemparkan benda-benda. Kali ini jauh lebih besar, dan jauh lebih berat. Aku kembali menahan semuanya. Kesulitan. Beruntung, Pak Husein maju, menolong. Ia merapalkan bacaan-bacaan, yang mana hal tersebut berhasil membuat Sulastri kesakitan. Benda-benda yang ia lemparkan terjatuh begitu saja. Roh pendendam itu melemah. “Nak, ini Bapak. Sadar, Nak.” Di sela-sela merapalkan bacaan, Pak Husein berusaha berbicara dengan Sulastri. “Maafkan Bapak, Nak. Maafkan Bapak karena tidak bisa menolongmu. Maafkan Bapak.” Sulastri menjerit. Ia mengumpat. Hinaan demi hinaan ia lontarkan pada Pak Husein. Ia benar marah. Merasa ada kesempatan, aku berniat membawa Mbak Rima dan ketiga anaknya pergi. Namun, baru saja keempatnya berjalan keluar dari dalam lingkaran darah, tubuh Mbak Rima terpental. Menghantam dinding sangat keras, lalu pingsan. Aku panik. Bersama ketiga anaknya, kami menghampiri Mbak Rima. Tapi lagi-lagi, Sulastri tidak memberi napas. Ia mematahkan kaki salah satu anak Mbak Rima, membuatnya jatuh tersungkur sembari mengerang kesakitan. Sulastri tertawa, memekik, menyakiti telinga. Tak berhenti sampai di situ. Ia juga melukai satu anak lainnya dengan berusaha memutar kepalanya 180 derajat. Anak itu berusaha melawan, dibantu oleh anak yang tersisa. “Sulastri! Aku mohon hentikan!” Pintaku. “Aku mohon!” Sulastri tidak menggubris. Ia sudah benar-benar dibutakan oleh dendam. “Mati!” “Mati!” “Mati!” Tidak memiliki pilihan, aku akan menyerang Sulastri menggunakan sihir kutukan. Sihir terlarang yang akan membuatnya menderita selamanya. “Maafkan aku, Sulastri.” Tanpa diduga, tubuh Sulastri yang terbang melayang dalam kondisi terikat rantai bercahaya, terjatuh. Pak Husein dengan cepat berlari menghampirinya dan lalu memeluknya dengan sangat erat. “Cukup, Nak. Cukup. Mereka tidak bersalah. Jangan sakiti mereka,” ucap Pak Husein. Sulastri menjerit. Ia berusaha melawan. Pak Husein tidak mau kalah. Sembari mempertahankan segel yang mengekang tubuh Sulastri, ia mempererat pelukannya. Ia terus berusaha menyadarkannya. Kubatalkan niatku untuk mengutuk Sulastri. Kuberlari menghampiri mereka. Dengan kekuatan pikiranku, kucoba menyadarkan Sulastri dari gelapnya dendam dan amarah. Kucoba untuk menghapus semua luka di dalam hatinya. Sayang, semuanya gagal. Sulastri memanggil roh-roh korban perilaku b***t Arlan. Roh-roh yang sama-sama memiliki dendam itu bersatu ke dalam tubuh Sulastri. Memperkuatnya hingga membuatku dan Pak Husein kewalahan. Tubuhku dihempas, Pak Husein harus menderita luka di d**a karena tertancap ujung kayu yang runcing. Aku bersyukur karena beliau masih hidup. Tapi, kini tidak ada yang bisa menghentikan Sulastri. Kekuatannya kini sudah di luar batas kemampuanku. Aku tidak bisa menanganinya. Suara guntur terdengar bersahut-sahutan di luar sana. Sulastri kembali akan membunuh Mbak Rima dan ketiga anaknya. Jadi begini akhir dari semua usahaku. Aku tetap tidak bisa mengubah takdir sekeras apa pun aku berusaha. Merka berempat tetap harus mati di sini, malam ini. “Layla! Berhenti!” Suara itu … Kak Mamad! Ia datang bersama Kak Gini dan Kak Radit. Akhirnya, mereka tiba di sini tepat waktu. Usahaku meyakinkan mereka di telepon tidak sia-sia. Mereka mau mendengarkan kata-kataku. Hanya mereka satu-satunya harapan terakhirku. Jika mereka tidak bisa menghentikan Sulastri, maka aku akan pasrah dengan apa yang akan terjadi setelah ini. Sulastri yang akan membunuh Mbak Rima menghentikan aksinya. Ia berbalik, menatap ke arah ketiga sahabatnya. Ia sepertinya mengingat mereka. “Aku tidak percaya, ini benar kau.” Kak Gini menangis. Kak Mamad dan Kak Radit menatap tidak percaya Sulastri. Kedua mata mereka berkaca-kaca. Perlahan, Sulastri melepas tubuh Mbak Rima. Pandangannya kini fokus ke arah Kak Gini, Kak Mamad dan Kak Radit. Kurasakan tekanan rohnya menurun. Api dendam dan amarahnya mereda. Berhasil, mereka bertiga berhasil menenangkan Sulastri. Wujud menyeramkan Sulastri perlahan berubah. Ia kembali ke wujud yang aku kenal, gadis berambut keriting dengan tubuh penuh luka bergaun putih. Kedua matanya menatap lirih Kak Gini, Kak Mamad dan Kak Radit. Tatapan mata penuh kekecewaan. “Kenapa kalian meninggalkanku?” kata Sulastri. “Kenapa kalian pergi di saat aku membutuhkan kalian?” “Kenapa?” “Kenapa aku ditinggal seorang diri?” “Kenapa?” Tangis Kak Gini pecah. Ia bersujud. Meminta maaf. “Maafkan kami. Maafkan kami karena tidak berada di sisimu saat kamu membutuhkan kami. Maafkan kami. Maafkan kami. Kami benar-benar menyesal,” kata Kak Gini. Suaranya terdengar sangat emosional. Kak Mamad dan Kak Radit juga melakukan hal yang sama. Mereka bersujud. Sembari menangis, mereka meminta maaf. Mereka menyesal. Penyesalan yang terus mereka bawa hingga sekarang. Penyesalan yang membuat hidup mereka tidak tenang. Sulastri menangis. Terlihat jelas seluruh emosinya yang memuncak, ia luapkan dalam tangisan tanpa henti. Pak Husein yang terluka, berjalan sempoyongan menghampiri Sulastri. Aku membantu membopongnya saat beliau hampir terjatuh. Kondisinya sangat parah. “Nak,” panggil Pak Husein. Sulastri yang menangis menatapnya. “Maafkan kami,” kata Pak Husein. Beliau berkata pada Sulastri, setelah kepergiannya, baik beliau, Kak Gini, Kak Mamad dan Kak Radit, semuanya merasa sangat kehilangan. Mereka merasa sangat menyesal dan kecewa pada diri mereka sendiri. Mereka merasa gagal, karena tidak bisa membuat Sulastri tetap hidup. “Jika waktu bisa diulang, Bapak takkan membiarkanmu bertemu dengan pria berengsek itu lagi. Bapak takkan mengizinkanmu pergi pada malam itu,” ujar Pak Husein. Wajahnya pucat. Aku merasa khawatir. “Bapak juga yakin, jika waktu bisa diulang, ketiga sahabatmu ini pasti takkan pernah meninggalkanmu. Mereka pasti akan memilih untuk terus bersamamu, apa pun yang terjadi.” “Kami sungguh-sungguh menyayangimu, Nak. Sungguh, cinta kami sangat tulus padamu,” ucap Pak Husein. Sulastri yang menangis sesenggukan meminta kepada ketiga sahabatnya untuk bangkit. Mereka berpelukan, melepaskan rindu, meluapkan perasaan mereka. Pak Husein yang masih kupegangi terdiam menatap keempatnya. Aku yakin, beliau pasti merasa nostalgia ke momen saat Sulastri dan ketiga sahabatnya masih bersekolah dulu. Beliau sampai meneteskan air mata. Samar, kedua mataku melihat Sulastri, Kak Gini, Kak Mamad dan Kak Radit kembali mengenakan seragam putih abu-abu, kembali ke masa SMA. Momen-momen kebahagiaan mereka semasa sekolah, entah bagaimana bisa terputar ulang di dalam pikiranku. Aku tak bisa menahan tangis. Momen yang sangat mengharukan. Berkat cinta yang luar biasa, dendam kesumat Sulastri kepada keluarga Arlan lenyap. Ia batal untuk menghabisi nyawa Mbak Rima dan ketiga anaknya. Ia melepaskan mereka. Seusai berpelukan, Sulastri—akan kupanggil dia Layla, berjalan ke arah Pak Husein. Ia berterima kasih karena Pak Husein telah menjadi sosok ayah yang hebat baginya. “Layla bangga sama Bapak. Layla bersyukur memiliki Bapak.” Layla menyalami tangan Pak Husein. Seperti seorang anak yang menyalami tangan orang tuanya saat akan berangkat sekolah. Mereka tidak bisa berpelukan. Di d**a Pak Husein masih tertancap batang kayu runcing. Layla meminta maaf atas hal itu. Beralih dari Pak Husein, Layla menghampiriku. Masih mengenakan seragam putih abu-abu. Tubuhnya tak lagi dipenuhi luka. Ia telah kembali menjadi sosok Layla, si Kembang Desa Jakarta Wisata. Sangat cantik, kedua matanya teduh. Ia berterima kasih kepadaku. Katanya, berkat aku dan ketiga bestie-ku, ia mendapatkan kembali kebahagiaannya yang telah hilang, walaupun hanya sesaat. Kebahagiaan masa-masa sekolah. “Terima kasih, Arka. Terima kasih atas semuanya.” Aku berusaha menahan tangisku. Ada hal yang ingin kuucapkan padanya. Tapi, mulutku tak bisa berkata-kata, takut tangisku pecah. “Semua urusanmu sudah selesai. Sekarang, kau bisa tenang, Layla,” kataku. Ini pertama kalinya aku memanggil Layla menggunakan nama aslinya. Tak bisa, tangisku pecah. Kami berpelukan. Baik aku maupun Layla menangis hingga tubuh kami bergetar hebat. Di ujung tangis, Layla menitipkan pesan padaku. “Titipkan salamku untuk Divya, Baskara dan Citra. Katakan pada mereka, terima kasih, karena sudah mau menjadi temanku.“ Aku mengangguk. Mengiyakan. Setelah mengucapkan itu, tubuh Layla secara perlahan menghilang, menguap menjadi serpihan cahaya berwarna putih kebiruan yang terang. Pelukan kami semakin erat. Baik aku dan Layla sama-sama tak rela untuk berpisah. “Terima kasih, Arka. Sampai bertemu di lain waktu,” ucap Layla sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari Alam Fana. Roh gentayangan yang menyimpan dendam itu kini sudah tenang. Ia pergi dengan semua masalah yang telah terselesaikan. “Sampai bertemu di lain waktu, Layla,” kataku. Lega, tapi aku juga merasa kehilangan. Sangat kehilangan. Bagaimanapun Layla sudah menjadi temanku selama setahun aku bersekolah di Jakarta Wisata. Tapi, inilah takdir untuk kami. Yang hidup takkan bisa berbaur dengan yang mati. Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Aku harus merelakan pertemanan ini berakhir sampai di sini. “Pak Husein!” pekik Kak Radit. Celaka! Pak Husein tumbang! “Telepon ambulans! Cepat!” titah Kak Mamad. Dengan tangan gemetar, aku segera menelepon rumah sakit terdekat. Perasaanku harap-harap cemas, takut Pak Husein kenapa-napa. “Bertahanlah, Pak. Sebentar lagi bantuan akan datang.” Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN