BAB 10: DETEKTIF DADAKAN

2696 Kata
Manis di bibir. Memutar kata. Malah kau tuduh akulah sebagai penyebabnya. Siapa terlena, pasti kan terpana, bujuknya, rayunya, suaranya, yang menyimpan simpati dan harapan. Lagu itu terus tergiang-ngiang di dalam kepalaku hingga sekarang. Semua gara-gara Pak Ernan. Satu kelas telah diracuni lagu tersebut. Study tour telah usai. Semua berjalan lancar. Masalah yang ditakutkan tak pernah terjadi. Naraya dan Maya yang diincar oleh Pak Ernan pun berhasil kami lindungi. Dan, kini aku disibukkan dengan ujian kenaikan kelas. Ujian, ujian dan ujian. Tapi, isi kepalaku malah dipenuhi oleh: manis di bibir. Memutar kata. Menyebalkan. Beruntung aku cerdas. Walau pikiranku tidak fokus, tapi aku masih bisa mengerjakan soal-soal ujian dengan baik. Minimal skor 9 bisa aku kantongi. Aku menceritakan semua perjalanan study tour-ku pada Sulastri. Seperti biasa, ia menyimak. Tampak antusias. Walau Divya, Baskara dan Citra tidak bisa melihat keberadaannya, tapi mereka tetap bercerita seakan-akan ada Sulastri duduk bersama mereka. Baskara dan Citra bahkan mengajak Sulastri bercanda. Mereka bertanya padaku, apa reaksi Sulastri. Kujawab, “Dia tersenyum.” Mereka senang. Pertemanan yang aneh, bukan? Tapi ini memang terjadi di antara kami. Sulastri merasa bernostalgia saat mendengarkan kisah study tour kami. Ia bahkan merasakan perasaan yang aneh. Rindu yang tak tertahankan, entah pada apa dan siapa. Perasaan yang begitu kuat, namun tidak jelas. Sepertinya, puzzle-puzzle ingatan Sulastri yang hilang kembali muncul. Tubuhnya mengalami sedikit glitch, sama seperti waktu itu. Jika begini terus, ia pasti akan segera mengingat semuanya. Jika ia ingat semuanya, maka misteri kematiannya yang janggal bisa segera terungkap. Sebenarnya, aku bisa saja mengatakan perihal apa yang sudah aku ketahui pada Sulastri. Perihal nama aslinya, dan ketiga sahabatnya—Mamad, Gini dan Radit. Tapi, aku takut Sulastri mengalami lonjakan roh seperti waktu itu, yang mana membuatnya hampir menghilang dari Alam Fana. Aku tidak mau hal itu sampai terjadi. Maka dari itu, aku memutuskan untuk memancing ingatannya sedikit demi sedikit. Tak apa lama, asalkan Sulastri tidak kenapa-napa. Sepulang sekolah, di 7-Eleven dekat rumah Divya, aku, Divya, Baskara dan Citra membicarakan perihal penyelidikan masa lalu Sulastri yang sudah kami rencanakan sebelumnya. Kami akan memulai penyelidikan itu minggu depan, setelah ujian kenaikan kelas selesai. Kami akan mencari data-data diri Sulastri yang pasti tersimpan di pusat data sekolah, dan jika memungkinkan, kami akan bertanya pada beberapa guru yang bisa kami percaya untuk mendapatkan informasi. Kami harus berhati-hati, karena mungkin saja ada pihak di sekolah ini yang menjadi dalang di balik meninggalnya Sulastri. “Jangan gegabah dan jangan percaya pada siapa pun,” kataku. Ketiganya mengangguk. Waktu berlalu, ujian kenaikan kelas telah usai. Aku, Divya, Baskara dan Citra memulai penyelidikan. Masih dalam kondisi otak yang mengepul hebat—karena ujian. Kami membagi dua tim. Aku dengan Divya, sedangkan Baskara dengan Citra. Ada yang bertugas mencari data informasi Layla alias Sulastri di pusat data sekolah, dan ada yang bertugas menanyai para guru. Aku dan Divya sangat kesulitan mencari data Sulastri. Bagaimana tidak, dia angkatan 15 tahun lalu. Waktu itu, data-data para murid belum tersusun rapi dan digital seperti sekarang. Kami harus mencarinya secara manual di lemari dokumen dan arsip sekolah. Satu per satu, dengan teliti. Beruntung kami adalah anggota OSIS, sehingga staf sekolah tidak mempertanyakan aktivitas kami. Hari-hari kami lalui. Tak satu pun dokumen yang berhasil kami temukan. Divya yang lelah meminta agar aku menggunakan kekuatan. Biasanya, anak berkemampuan khusus sepertiku memiliki kemampuan untuk menerawang masa lalu. Entah dengan menyentuh benda atau dengan bermeditasi. Apalagi, aku memiliki kemampuan memprediksi masa depan. Jadi, Divya yakin kalau aku pasti bisa menerawang masa lalu juga. “Aku bisa,” kataku. “Lantas?” “Aku, tidak bisa menerawang masa lalu yang masanya sudah lewat belasan tahun.” Ya, aku memang bisa menerawang masa lalu. Lebih hebat dari kemampuan penglihatan masa depanku. Tapi, aku memiliki batas. Hanya sebulan ke belakang yang bisa aku terawang. Selebihnya, aku tak mampu. “Bagaimana kalau minta bantuan jinnya Bapak.” Aku memberi saran. Kulihat Divya masih mengenakan liontin giok biru di lehernya. “Mereka jin pelindung, bukan jin pencari. Mereka takkan bisa membantu,” ujarnya. Kami menghela napas. Memang dasarnya semesta meminta kami untuk berusaha. Kami pun kembali mencari. Tibalah kami di arsip tahun 2003, arsip 15 tahun lalu. Aku dan Divya dengan semangat mencari nama Layla di sana. Kami berhasil menemukan 3 dokumen dengan nama Layla. Lailah Giska, Laila Fitri dan Laela Hima. Kuperhatikan semua fotonya. Bukan, tak ada satu pun dari mereka yang mirip dengan Sulastri. Mereka bukan Layla yang kami cari. Kami terus mencari dan mencari, berharap menemukan berkas yang kami inginkan. Namun, nihil. Semua berkas—bahkan di angkatan sebelum-sebelumnya pun tak ada. Kami mencoba memeriksa berkas-berkas lain di tahun yang sama, berharap ada nama Layla yang kami cari. Namun, tak ada. Berkas Sulastri alias Layla tak ada. Seakan-akan berkas yang ada sangkut paut dengannya hilang ditelan bumi. “Apakah kau berpikir hal sama seperti apa yang aku pikirkan?” tanya Divya. Aku mengangguk. Sepertinya berkas Sulastri telah dihilangkan. Ada orang yang sengaja menghapus jejaknya. Seakan-akan Sulastri tidak pernah bersekolah di sini. Baskara dan Citra pun sama. Para guru tak ada yang tahu menahu perihal angkatan 15 tahun lalu. Mereka kebanyakan guru-guru baru, sedangkan guru-guru yang lama sudah lama pensiun atau pindah mengajar ke sekolah lain. Tapi, kami menemukan titik terang saat mengetahui bahwa Pak Husein dan Pak Suroso adalah dua dari sekian banyak guru lama yang masih bertahan di sekolah ini. Kami lantas langsung menanyai keduanya. “Layla? Saya tidak ingat ada murid bernama Layla,” kata Pak Suroso. Wajar kalau ia lupa. Kata Bu Atna, beliau memang sudah mulai pikun. Tapi soal pelajaran, otaknya masih bagus. Kini, harapan kami cuma satu, yaitu Pak Husein. “Layla? Yang rambutnya keriting itu?” tanya Pak Husein. Aku mengiyakan. Benar! Itu orangnya! “Kalau tidak salah namanya Layla Agnesia. Sepertinya Bapak masih ingat. Dia sudah wafat. Memangnya kenapa?” Aku, Divya, Baskara dan Citra saling tatap sebentar. Sebelum akhirnya, aku memberanikan diri untuk berbicara. Aku yakin Pak Husein adalah orang baik. Dia tak mungkin ada sangkut pautnya dengan kematian Sulastri. “Apakah dia meninggal karena … bunuh diri?” Aku setengah berbisik. Takut ada orang yang mendengar. Kantin memang sedang ramai. Sedangkan kami duduk di pojok. Kedua mata Pak Husein melebar. Sepertinya dia terkejut. “Dari mana kalian tahu?” tanyanya. Aku lantas menceritakan semua hal tentang Sulastri. Hantu yang menjadi urban legend di sekolah ini. Awalnya, Pak Husein tidak percaya. Karena selama beliau berada di sini, beliau tidak pernah melihat penampakan Sulastri. Beliau punya ilmu sakti. Turunan dari padepokan silatnya. Ilmu ini membuatnya bisa melihat hal-hal yang tak kasat mata. “Kalian jangan mengarang. Tidak mungkin hantu itu Layla,” kata Pak Husein. “Lantas, bagaimana Bapak menjelaskan perihal saya yang tahu semua hal tentang Layla?” Pak Husein terdiam. Keadaan lengang. Tak ada yang berbicara. Hanya suara ramai murid-murid yang mengobrol di sekitar kami. “Pak, tolong jawab dengan jujur. Apakah Bapak tahu sesuatu perihal kematian Sulas—maksud saya, Layla Agnesia ini? Kasihan dia, Pak. Dia masih bergentayangan hingga sekarang. Seharusnya, orang mati sepertinya sudah tenang di alam sana,” kataku. Pak Husein terdiam. Cukup lama. Ia tampaknya berpikir. Sedangkan aku dan yang lain berharap-harap cemas, takut Pak Husein tak ingin bekerja sama. “Pak, tolong.” Aku memohon sembari memegang tangannya. Divya, Baskara dan Citra ikut membantu dengan memasang wajah memelas. Tapi, maaf, aku merinding melihat wajah memelas Citra. Tampak seperti sempak bekas. Tidak estetik. Maaf, Citra. Pak Husein menghela napas panjang dan lalu mengembuskannya. Ia menatap kami satu per satu secara bergantian—ia tidak menatap Citra, takut muntah. Aku bercanda. Dia menatap kami semua. “Bapak akan cerita. Tapi, tidak di sini.” Kami akhirnya pergi ke taman belakang sekolah. Taman yang sudah tidak terpakai lagi, dan beralih fungsi menjadi tempat menanam bunga. Tempat ini sangat sepi. Tak ada siapa pun, tak ada kamera CCTV, kami aman. “Ini adalah rahasia besar sekolah yang harus ditutup rapat. Tidak boleh ada yang membahasnya lagi. Para guru yang tahu pun sudah berjanji untuk tidak membocorkannya ke pihak luar. Tapi, karena saya sayang pada seluruh murid-murid saya, dan saya merasa sangat bersalah atas apa yang telah menimpa Layla, maka saya siap menanggung segala risikonya nanti,” kata Pak Husein. Beliau mulai berbicara. Semua masalah ini bermula dari Arlan, adik Pak Ernan yang bermain api dengan Layla. Ia yang waktu itu menjabat sebagai wakil kepala sekolah, menjalin hubungan terlarang dengan Layla, bahkan hingga Layla hamil anaknya. Tidak ada seorang pun yang tahu, termasuk Pak Husein. Layla sendiri adalah siswi yang sangat cerdas, juga berprestasi. Bersama ketiga sahabatnya ia selalu memenangkan lomba yang diadakan di mana-mana. Dari tingkat ecek-ecek, sampai internasional. Layla dan ketiga sahabatnya adalah aset berharga sekolah. Pintar, bukan berarti kutu buku dan kurang bergaul. Layla sangat populer. Pak Husein ingat betul, beliau pernah melerai 3 orang siswa yang berebut ingin memacari Layla. Mereka bergelut hebat. Sampai-sampai Pak Husein harus turun tangan seorang diri melerai mereka. “Ibarat di desa, Layla itu kembang desanya Jakarta Wisata. Banyak siswa yang naksir padanya. Termasuk adik Pak Ernan, Pak Arlan,” kata Pak Husein. Namun, di balik indah dan sempurnanya hidup Layla, sebuah tragedi menghantamnya telak di wajah. Seluruh anggota keluarganya tewas dalam insiden kecelakaan pesawat. Ia yang saat itu sedang mengikuti lomba olimpiade matematika, menjadi satu-satunya anggota keluarga yang selamat, karena tidak ikut. Tragedi ini benar-benar mengubah hidup Layla. “Gadis cantik itu kehilangan senyum mataharinya. Mulai hari itu, hanya awan mendung yang selalu Bapak lihat menghiasi wajahnya. Layla yang dulu telah tiada, berganti menjadi sosok Layla baru yang sama sekali tidak Bapak kenal,” ujar Pak Husein. Ibarat di dunia game atau anime, Layla yang awalnya adalah seorang main character, seketika berubah menjadi seorang villain dengan kegelapan yang menyelimuti tubuhnya. Sialnya, ia malah bertemu dengan sosok main villain yang aman sangat kejam dan jahat, yaitu Pak Arlan, yang mana membuat kisah hidupnya menjadi semakin kelam dan gelap. Hidup Layla benar-benar berubah 180 derajat. Ketiga sahabatnya menjauhinya. Bukan karena membenci, tapi karena tak sanggup menerima kekacauan yang ada di diri Layla. Hidup Layla semakin hancur. Semuanya berakhir saat Layla ketahuan hamil. Gosipnya, anak yang ada di dalam kandungannya adalah anak Pak Arlan. Namun, Pak Arlan jelas membantah. Ia mengatakan tak pernah menjalin hubungan dengan Layla. Malahan, ia balik menyerang verbal Layla dengan kata-kata yang sangat kasar dan kejam. Gadis murahan dan tidak punya harga diri. Dua kata dari sekian banyak kata yang Pak Arlan ungkapkan. Keadaan sekolah waktu itu sangat gempar. Semakin bertambah gempar saat video porno Layla yang sedang melakukan seks tersebar. Di video itu terlihat Layla yang sedang mabuk dengan senang hati digilir oleh banyak laki-laki. Video tersebut bahkan sampai ke tangan Pak Husein. Hal ini membuat pihak sekolah berniat untuk mengeluarkannya. “Waktu itu Bapak merasa kasihan padanya. Maka dari itu, Bapak memutuskan untuk menemuinya. Karena Bapak tahu betul, waktu itu Layla hanya seorang diri. Dia tidak punya siapa-siapa lagi.” Mata Pak Husein berkaca-kaca. Divya mengeluarkan sapu tangannya. Diberikan pada Pak Husein. Pak Husein mencoba mendekati Layla, tapi Layla terus menghindar. Terus seperti itu, lagi, lagi dan lagi. Namun, Pak Husein tidak menyerah. Beliau terus berusaha dan berusaha. Layla menghindar, ia tunggu keesokan hari, baru beliau kejar lagi. Terus seperti itu. Hingga akhirnya, Layla mau mengobrol dengan Pak Husein. “Kami mengobrol banyak. Layla menceritakan semuanya. Semua beban dan kisah hidup yang ia alami. Dia benar-benar menderita. Ia meluapkan semua isi hatinya. Mencurahkan segala keluh kesahnya. Dan, Bapak mendengarkan semuanya.” Pak Husein terisak. Suaranya bergetar. Hari itu Pak Husein dan Layla mengobrol layaknya seorang ayah dan anak. Berbicara dari hati ke hati. Layla yang hancur dan hampir gila berhasil ditenangkan. Ia bahkan kembali mendapatkan semangat hidupnya yang telah hilang. Ia berniat akan memulai hidupnya dari awal. Hidup sebagai seorang ibu tunggal. Karena percakapan itu, Layla yang berniat mengakhiri hidupnya, batal melakukan hal tersebut. Pak Husein pun senang. Keduanya berpelukan. Layla yang menangis sesenggukan meminta satu permintaan pada Pak Husein. Ia ingin menganggap Pak Husein sebagai ayahnya. Tak apa anaknya tidak memiliki seorang ayah, tapi setidaknya ada sosok kakek yang bisa membimbingnya. “Saya tidak keberatan,” ujar Pak Husein. “Sejak hari itu, saya menjadi ayah angkat Layla. Istri dan keluarga saya pun tahu. Mereka setuju dan menerima Layla dengan tangan terbuka.” “Tapi …” Kebahagiaan baru itu berubah menjadi pilu yang sangat mendalam saat sebuah tragedi terjadi. Satu bulan setelah Layla menjadi bagian dari keluarga Pak Husein, Layla ditemukan tewas di ruang perpustakaan. Gantung diri. Hal ini tentu membuat gempar sekolah dan orang-orang terdekat Layla saat ini. Selain itu, janin yang ada di dalam kandungannya menghilang. Hal ini tentu membuat Pak Husein syok berat. Layla sengaja mengakhiri hidup karena tidak sanggup menerima kenyataan hidup yang begitu keras. Ya, itu pikir orang-orang, Layla meninggal karena mengakhiri hidupnya. “Bapak jadi salah satu orang pertama yang menemukan jasadnya. Tapi, ada sesuatu yang janggal. Jasadnya … penuh dengan luka. Layla seperti baru disiksa. Luka menganga di kepalanya, darah yang menetes di kaki, lebam dan memar di sekujur tubuh, semuanya tampak baru. Bapak yakin, Layla bukan meninggal karena bunuh diri. Tapi, ada orang yang telah menghabisi nyawanya.” Pak Husein menangis terisak. Baskara memeluk, berusaha menenangkan. Aku, Divya dan Citra pun tak bisa menahan tangis. Kami bisa merasakan perasaan beliau. “Bapak berniat melaporkan hal-hal janggal tadi pada pihak berwenang. Tapi ….” “Tapi ….” Pak Husein tampak berat untuk berucap. “Tapi, Pak Arlan malah mengancam Bapak. Pria berengsek itu meminta Bapak untuk tutup mulut.” Pak Husein mengangkat wajahnya yang basah karena air mata. Amarah terpancar jelas di kedua matanya yang tajam. “Awalnya, Bapak tidak takut. Bapak akan melawan! Tapi, pria itu malah mengancam Bapak dengan akan menyebarkan foto Bapak yang sedang memeluk Layla. Ia akan menyebarkan berita-berita miring tentang Bapak dan Layla. Ia akan menghancurkan hidup Bapak.” Karena tidak bisa berkutik—apalagi Pak Husein masih memiliki keluarga—dengan terpaksa Pak Husein menurut untuk bungkam. Hal yang hingga detik ini menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya. “Bapak tidak bisa mengungkapkan kebenaran untuk Layla! Bapak benar-benar seorang guru yang buruk! Bapak benar-benar seorang ayah yang jahat! Bapak telah mengecewakan Layla!” Pak Husein menangis histeris. Baskara memeluknya semakin erat. Kasihan sekali beliau. Belasan tahun menahan perasaan ini sendirian, pasti membuatnya merasa sangat menderita. Benar-benar berengsek si Arlan ini! Aku sungguh tak bisa menahan amarahku! Aku ingin segera memberinya pelajaran! Usai menceritakan semuanya, Pak Husein yang mulai tenang meminta untuk bertemu dengan Layla. Beliau ingin melepas rindu, sekaligus meminta maaf. Namun, aku menolaknya. Bagaimanapun juga Sulastri tidak boleh tahu perihal kenyataan ini sebelum pelaku atas kematiannya tertangkap. Tapi, aku menjanjikan Pak Husein bisa bertemu dengan Sulastri jika Pak Arlan tertangkap dan dihukum. “Jika hukum di negara ini tidak bisa menghukumnya, maka kekuatan sihirlah yang akan membuatnya menderita,” kataku. “Aku akan mengutuknya!” Pak Husein menyerahkan sepenuhnya kasus Sulastri pada kami. Ia berharap kami bisa menegakkan keadilan untuk Sulastri. “Jika kalian membutuhkan bantuan Bapak, katakan saja. Sebisa mungkin Bapak akan bantu.” “Terima kasih, Pak.” *** Sepulang sekolah, aku menemui Sulastri. Hanya seorang diri. Ketiga bestie-ku harus segera pulang karena ada urusan. Sulastri. Bagaimana bisa Layla dipanggil Sulastri? “Mereka yang memanggilku begitu. Jadi, aku pikir, namaku adalah Sulastri,” kata Sulastri. Mereka yang ia maksud di sini adalah murid-murid yang bersekolah di sini. Kutatap Sulastri dari ujung rambut sampai ujung kaki. Luka-lukanya sangat banyak. Tak terbayangkan seberapa menderitanya ia sebelum kematian menjemputnya. Anak, benar juga, dia waktu itu meninggal dalam keadaan hamil. Ke mana janinnya? Aku membawa gitar dari ruang klub musik. Kubuka tas gitar, lalu kumainkan sebuah lagu dengan gitar yang kini kugenggam. Lagu My Immortal milik Evanescene jadi pilihanku. Sulastri memperhatikan, menyimak aku yang sedang bernyanyi sambil bermain gitar. These wounds won’t seem to heal, This pain is just too real, There’s just too much that time cannot erase. Sore hingga malam, kutemani Sulastri, sembari masih melantunkan lagu demi lagu. Kutahan tangis dan amarahku, semua demi roh tidak tenang di hadapanku ini. Hingga tiba saat kubawakan lagu Sebuah Kisah Klasik dari Sheila On 7, di situlah Sulastri ikut bernyanyi. Sampai jumpa kawanku, Semoga kita selalu, Menjadi sebuah kisah klasik, untuk masa depan. Aku benar-benar terkejut saat Sulastri tiba-tiba saja menangis. Bersamaan dengan itu tubuhnya mengalami glitch. Sepertinya lagu ini menyimpan kenangan semasa hidupnya dulu. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN