"Ehem ... apa yang kalian lakukan?"
Suara seseorang berhasil membuat keduanya terkejut. Excel melepaskan cengkeramannya dan kembali berdiri dengan wajah memerah layaknya udang rebus.
Begitu juga dengan Alisa, ia gugup karena tatapan Excel yang membuat jantungnya berdegup kencang.
"Ka-kalian kapan masuk?" tanya Excel gugup.
"Apa kami tidak boleh masuk?" tanya Indra yang membuat putranya semakin gugup. Rupanya keluarga William dan Indra masuk ke dalam ruangan di mana Alisa dirawat.
Excel tak bisa menjawab, wajahnya semakin merah.
"Kami tadi mendengar suara ribut dari dalam dan akhirnya kami masuk ke dalam. Apa kalian tidak apa-apa?" tanya William.
"Ti-tidak, Om. Kami tidak apa-apa," jawab Excel.
"Lalu, tadi itu--"
"Ini semua tidak seperti yang terlihat. Tadi saya hanya ingin menahan Alisa yang memberontak," jawab Excel cepat dengan peluh yang mulai membasahi wajahnya.
Ha-ha-ha!
Gelak tawa memenuhi ruangan, mereka semua tertawa, kecuali Alisa dan Excel yang masih gugup.
"Kamu tidak perlu gugup seperti itu, Excel. Kami tahu perjuanganmu untuk mengobati Alisa, sepertinya kamu masih beruntung hanya dilempar benda," ucap Nadia seraya menunjuk ke arah benda-benda yang berserakan di lantai. "Semoga kamu tidak kapok menghadapinya seperti dokter pribadi keluarga kami."
"Mama ...." Alisa menajamkan tatapannya pada sang Mama agar tidak menceritakan tentang kejadian itu lagi.
Nadia tersenyum, ia mengelus pelan rambut Alisa. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya.
Alisa menggeleng. "Aku mau pulang sekarang," pintanya.
"Tidak boleh, kamu belum pulih," cegah Excel.
"Kamu tidak bisa mencegahku. Aku mau pulang," bantah Alisa.
"Aku doktermu. Jadi aku berhak melarangmu," balas Excel.
"Aku tidak mau ada dokter m***m di dekatku."
"Dokter m***m? Siapa?" tanya Lisa terkejut.
"Di--"
Excel membungkam mulut Alisa agar tidak memberitahu apa yang terjadi. "Tidak, kok, Ma. Tadi hanya salah paham," jawab Excel sembari tertawa kaku.
"Ada apa sebenarnya? Excel, jujur," pinta Indra.
Aaaarrrggghhh!
Excel berteriak ketika Alisa mengigit telapak tangannya. "Sakit, Alisa," rintihnya.
"Tadi dia ingin membuka bajuku," tuduh Alisa.
Hah?!
Semuanya kembali terkejut mendengar pernyataan Alisa.
"Itu tidak benar! Aku hanya ingin memeriksa bekas suntikan tadi siang, aku tidak berniat untuk berbuat tidak senonoh padanya." Excel berusaha untuk membela dirinya.
"Alasan saja."
"Hei, itu kenyataan!"
Keduanya masih berdebat, sedangkan keluarga mereka hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah anak-anaknya yang mirip Tom and Jerry.
Bersamaan dengan itu, seorang perawat membawa nampan berisi ampul dan juga infus. "Dokter Excel, ini suntikan dan infus untuk pasien," ucapnya sembari membawa nampan itu ke arah Alisa.
Manik mata sang gadis tertuju pada jarum suntik. Seketika tangannya bergetar, tanpa sadar Alisa memeluk erat Excel yang ada di sampingnya.
"Aaah! Jauhkan itu! Aku tidak mau!" teriak Alisa dengan keras. Pelukannya semakin erat seakan-akan tak ingin melihat kembali jarum itu.
Excel terdiam, ia dapat merasakan ketakutan Alisa yang semakin menjadi. Ia memberikan isyarat pada sang perawat untuk membawa suntikan dan infus itu keluar dari ruangan. "Tenanglah, dia sudah pergi," ucapnya lirih.
Namun, Alisa tak ingin melepaskan pelukannya. Ia masih tak percaya dengan ucapan Excel.
Perlahan, Excel mengelus pelan rambut Alisa untuk membuatnya tenang. "Alisa tidak apa-apa, tidak ada yang menyakitimu lagi."
Perlahan, gadis itu melepaskan pelukannya. Ia menyadari bahwa dirinya salah memeluk orang, itu membuatnya gugup dan menundukkan wajahnya.
"A-aku mau pulang," ucapnya lirih.
"Iya, Sayang. Kita akan pulang, tapi nanti, ya," jawab Nadia berusaha menenangkan putrinya.
"Tidak apa-apa, Tante. Kasihan Alisa, dia boleh pulang, tetapi sampai rumah bekas imunisasinya harus dikompres dengan air hangat. Nanti saya akan berikan vitamin yang harus diminum setiap hari," ujar Excel.
"Terima kasih, Excel."
"Sama-sama, Tante."
Wiliam segera mengurus administrasi dan ia pun membawa Alisa pulang, walaupun keadaannya masih terlihat lemah. Sepanjang perjalanan, semuanya terdiam, mereka tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing.
William merasa bersalah pada Alisa karena menjodohkan mereka tanpa membicarakannya terlebih dahulu.
***
Matahari mulai terik, suasana di sekitar kini terasa hangat, sedangkan cahaya mentari menembus celah jendela membuat sang empunya kamar menggeliatkan badan sembari membuka kedua matanya.
Alisa terdiam sembari menatap ke langit-langit. Ia hanya mengembuskan napasnya dengan pelan sembari memikirkan apa yang terjadi kemarin. Semua kejadian itu membuat kepalanya pusing, rasanya masih tak percaya jika sang ayah menjodohkan dirinya.
Tok! Tok!
Pintu terbuka dan memperlihatkan Nadia yang membawa makanan serta vitamin untuk Alisa. "Bagaimana keadaanmu, Sayang?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja, Ma." Alisa menjawab dengan suara lirih.
Senyuman terbit di wajah Nadia, tetapi senyuman itu membuat tanda tanya di kepala Alisa. Tak biasanya Nadia seperti ini.
"Apa ada yang ingin Mama katakan?" tanya Alisa.
Nadia menatap Alisa dengan tatapan lembut, ia mengelus pelan rambut putrinya. "Maafkan Papa, ya, Nak. Papa melakukan hal itu karena suatu hal," ucap Nadia.
"Lalu kenapa Papa tak meminta maaf pada Alisa langsung?"
"Tadi pagi Papa menemuimu, tapi kamu masih tidur. Papa tak ingin membangunkan dirimu, sehingga menyampaikannya lewat Mama."
"Oh begitu. Lalu, di mana Kak Gerald? Semenjak aku di rumah sakit, aku tidak melihatnya."
"Kakakmu kembali ke Kota Madya karena mendapatkan tugas penting," jawab Nadia.
Suasana kembali hening. Sekeras apa pun Alisa berpikir, tetapi dirinya tak pernah paham kenapa sang ayah menjodohkan dengan seorang dokter.
"Ma ... kalau aku boleh tahu, apa alasan Papa menjodohkan aku?" tanyanya.
"Mungkin ini saatnya kamu tahu. Kakekmu dulu pernah berjanji akan menikahkan anak atau cucunya dengan keluarga sahabat lamanya. Namun, kakekmu tak memiliki anak perempuan, begitu juga dengan sahabatnya, dan semenjak kamu dilahirkan beliau sudah menjanjikan bahwa kamu sebagai cucu perempuan satu-satunya akan dinikahkan dengan cucu tunggal sahabatnya itu. Cucu sahabatnya kakek itu adalah Excel, dan Papa ingin mewujudkan keinginan terakhir dari kakekmu, begitu juga dengan Om Indra, ia juga ingin menunaikan wasiat ayahnya." Nadia menjelaskan dengan detail agar putrinya itu paham kenapa hal ini bisa terjadi.
"Apa wasiat itu tak bisa dibatalkan?" tanya Alisa lirih.
"Sayang, Papa sangat menghormati Kakekmu. Papa ingin keinginan Kakek terkabul," jawab Nadia, "kamu sayang kakek, kan? Tolong pikirkan lagi."
"Tapi ... kenapa harus dokter?"
"Mungkin, ini adalah takdir yang telah disiapkan untukmu. Mama berharap, jika kamu menikah dengannya, kamu bisa melupakan trauma itu."
"Entahlah, Ma. Aku dan dia sepertinya tidak cocok," jawab Alisa.
"Cocok atau tidaknya, kita tak bisa menentukannya sekarang."
"Jika aku menerima, bagaimana dengan sekolahku?" tanya Alisa yang mulai luluh.
"Tidak ada yang akan menekanmu, kamu boleh melanjutkan pendidikan setinggi yang kamu mau. Keluarga Om Indra juga sudah setuju tak akan mengekangmu sebagai ibu rumah tangga."
Alisa tertunduk. Ia bingung, sungguh bingung, di lain sisi ada kebahagiaan sang ayah jika menerima perjodohan ini. Akan tetapi, apa mungkin ia akan bahagia jika menikah dengan seorang dokter?
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi aku akan menerima perjodohan ini demi Papa dan juga Kakek di surga," ucap Alisa mengalah.
"Benarkah?" tanya Nadia tak percaya.
Alisa mengangguk lemah. Akankah cinta itu nyata? Rasanya ragu untuk percaya akan adanya cinta bagi seorang yang tak sempat mengenal arti cinta sebenarnya. Lalu, bagaimana dengan Excel? Tak mungkin ia tak memiliki seseorang di hatinya. Semoga keputusan Alisa tak sepenuhnya petaka.
***
Tiga bulan berlalu semenjak pertemuan kedua Alisa dan Excel, keduanya sepakat untuk dijodohkan demi memenuhi wasiat kakek mereka. Memang, ini sangatlah berat untuk Alisa, tetapi ia tak bisa memilih pilihannya sendiri. Kini, hari terakhir masa lajangnya telah tiba, dalam beberapa jam ke depan, dirinya akan mengikat janji bersama dengan Excel dan menjadi istri dari seorang dokter.
"Apa keputusanku ini sudah tepat?" tanya Alisa dengan suara lirih sembari menatap cermin besar di hadapannya.
Ia mengembuskan napasnya dengan pelan, manik matanya menatap sayu pantulan diri yang terlihat sangat berbeda dari biasanya. Gaun putih bertabur manik-manik terlihat sangat indah di tubuh Alisa, sedangkan rambut panjang hitamnya terurai dengan mahkota bunga membuatnya semakin terlihat cantik dan menawan.
Tak pernah terlintas di pikiran Alisa jika akan menikah di usia yang masih sangat muda. Rasa ragu datang menghampiri, tetapi Alisa tetap berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kebahagiaan itu akan datang ketika orang tuanya bahagia dengan pernikahan ini.
"Alisa, sudah siap?" tanya Nadia.
"Iya, Ma." Alisa bangkit dari kursi riasnya, ia terpaksa tersenyum untuk menyembunyikan rasa ragu di hadapan sang ibunda.
Nadia menggandeng tangan Alisa. "Ayo kita turun, semua sudah menunggumu."
Alisa hanya mengangguk lemah. Mereka pun keluar dan menuju ke altar pernikahan, perasaan gugup Alisa semakin menjadi ketika semua mata memandang ke arahnya.
Tak ada sahabat, tak ada teman-teman, hanya keluarga besar dan rekan kerja Excel yang datang ke pernikahan ini. Alisa sengaja tak memberitahukan pernikahannya karena ia belum siap.
William datang dan mengandeng lengan Alisa untuk mengantarnya ke pengantin pria. "Terima kasih, Alisa. Terima kasih karena mau mengabulkan keinginan Kakek," ujarnya dengan manik mata berkaca-kaca.
"Tak apa, Papa. Aku rela," jawab Alisa tersenyum.
Kini, William menyerahkan putrinya pada Excel yang sudah berada di altar. Keduanya berpegangan tangan, tetapi mereka dapat merasakan bahwa tangan mereka terasa dingin dan berkeringat.
Janji suci pun terucap dengan indah di altar pernikahan, kini keduanya saling berhadapan untuk menerima perintah dari sang pendeta.
"Pengantin pria silahkan buka tudung pengantin wanita," pintanya.
Dengan tangan bergetar, Excel membuka tudung putih yang menutup wajah Alisa secara perlahan. Namun, seketika Excel terdiam, manik matanya menatap wajah Alisa cukup lama tanpa kata.
"Cantik ...," lirihnya pelan hingga tak terdengar, ia terpesona dengan kecantikan Alisa yang sangat mempesona.
Keadaan semakin canggung untuk Alisa karena Excel yang terdiam menatapnya.
"Ekhem ...." Pendeta berdehem dan membuat Excel tersadar dari lamunannya. "Baiklah, sekarang saatnya pengantin pria mencium pengantin wanita," pintanya lagi.
Sontak keduanya pun menjadi salah tingkah. Cium? Oh tidak! Alisa bahkan tak pernah tahu rasanya mencium seseorang.
"Ayo cepat," perintah sang pendeta ketika Excel masih tak bergerak dengan wajah merahnya.
Pemuda itu semakin gugup, tangannya kembali bergetar ketika memegang wajah Alisa. Excel mendekatkan wajahnya pada Alisa, dan tak lama kemudian ia mendaratkan ciuman di kening Alisa.
Sontak sang pendeta menggelengkan kepalanya melihat Excel yang sangat polos. "Bukan di situ," ucapnya dengan suara pelan.
Excel semakin kebingungan, wajahnya merah padam, sedangkan peluh telah membasahi wajahnya. "Lalu di mana?" tanyanya malu.
"Di sini," jawab sang pendeta sembari mengisyaratkan tangan di bibirnya.
"Apa?!"