Perjodohan

1590 Kata
"Gadis cengeng?! Aku tidak cengeng, kamu, tuh, dokter sialan!" jawab Alisa. "Eh, apa kamu bilang? Tidak sopan, ya. Kamu yang cengeng, begitu saja takut," ejek Excel. Alisa menggenggam mengeratkan jemarinya, rasa kesal semakin memuncak ketika memori siang tadi kembali terlintas di pikirannya. Terlebih, kini pembuat trauma itu kembali muncul di hadapannya. "Awas saja, akan aku balas," ancam Alisa. Sontak saja semua yang berada di sana terkejut ketika melihat percakapan mereka yang sedikit tidak mengenakan. "Alisa, tidak boleh begitu. Duduk," ucap Nadia sembari menarik tangan Alisa untuk kembali duduk. "Ada apa ini? Excel, apa kamu kenal Alisa?" tanya Lisa yang juga terkejut. "Iya, Ma. Tadi ada kegiatan imunisasi di sekolah, tetapi dia malah kabur dan bersembunyi di gudang sebelum aku menemukannya," jawab Excel yang dibalas oleh tatapan tajam setajam silet milik Alisa. "Apa? Kamu diimunisasi? Kenapa tidak bilang ke Mama?" tanya Nadia yang terlihat panik. Alisa hanya terdiam, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, dari sudut mata ia dapat melihat bahwa Gerald dan William terlihat khawatir. 'Sialan, harusnya ini tidak boleh terbongkar. Gara-gara dia semuanya kacau,' rutuk Alisa. "Maafkan Alisa, Excel. Dia memang memiliki trypanophobia," ujar Nadia. Reaksi Excel berubah, ia melirik ke arah Alisa yang terdiam. Sedikit meneliti, dirinya sadar bahwa Alisa terlihat pucat. "Tidak apa-apa, Tante. Saya juga minta maaf karena berlaku cukup tegas padanya tadi," jawab Excel. Nadia melirik ke arah Alisa, ia pun menjawab, "Tidak apa-apa, Excel. Itu adalah tugasmu." "Sudah-sudah, lupakan masa lalu. Excel, ayo duduk," pinta Indra. Pemuda itu pun duduk di bangku kosong, tepat disamping Alisa yang masih tertunduk. Perasaan bersalah itu datang menghampiri ketika melihat Alisa, ia tak sadar jika Alisa mengalami trypanophobia yang membuatnya ketakutan. "Alisa, dilanjutkan makannya, Sayang. Maafin anak Tante, ya. Dia emang ngeselin," ujar Lisa. Excel menatap wajah sang mama yang terlihat tak merasa bersalah karena menyebutkan dengan kata 'ngeselin'. "Biasanya yang ngeselin, tuh, ngangenin," sahut Indra yang membuat gelak tawa memenuhi meja perjamuan. Alisa hanya tersenyum kecut mendengar guyonan receh mereka. Ia masih belum bisa memaafkan pemuda yang kini duduk di sampingnya karena sampai saat ini rasa sakit itu belum juga hilang.  Manik mata Alisa melirik ke arah gelas yang ada di sampingnya, ia sedikit merasa haus. Namun, saat tangannya menyentuh gelas, tak sengaja Excel juga hendak mengambil gelas yang sama. Alisa terkejut, ia tak ingin mengalah. "Ini punyaku, ambil sendiri sana," suruh Alisa dan merebut gelas itu. "Minum saja semuanya," jawab Excel sinis. Tak memedulikan jawaban Excel, gadis itu meneguk air dengan cepat, sedangkan semua keluarga menatapnya dengan keheranan, terutama William dan Indra. Keduanya tampak menggelengkan kepala. "Bagaimana mereka bisa dijodohkan, jika seperti ini?" tanya William sembari menatap ke arah Indra. Uhuk! Uhuk! Alisa tersedak ketika mendengar ucapan dari ayahnya, sehingga ia tak sengaja menyemburkan air minum ke wajah Excel. "Kalau nyembur lihat-lihat, dong," rutuk Excel dengan wajah basah. "Uhuk! Sorry, sengaja," jawab Alisa. Tatapan sinis Excel tampilkan. Ingin rasanya menenggelamkan gadis tengil di sampingnya itu, tetapi ia sadar bahwa semua mata kini memandang ke arahnya. "Apa maksud Om tadi?" Tak dapat dipungkiri, dirinya pun terkejut dengan pernyataan William. "Mungkin ini agak mengejutkan bagi kalian, tetapi ini adalah keputusan kami sebagai orang tua. Kalian berdua akan dijodohkan," jawab Indra. "Hah?! Dijodohkan? Sama dia?!" Alisa dan Excel kompak dalam bertanya, keduanya pun saling menunjuk dengan rasa tak percaya. "Ya. Itu adalah keputusan kami, toh kalian tidak punya pacar, kan?" William bertanya. Akan tetapi, keduanya terdiam karena memang itu benar.  "Bagaimana? Kalian setuju tidak?" tanya Indra lagi. Alisa tertunduk, ia tak pernah menyangka jika orang tuanya akan menjodohkan dirinya dengan seorang dokter yang sangat ditakutinya. "Sangat tidak masuk akal." Suaranya terdengar lirih. "Bagaimana bisa Papa memilihkan pasangan seorang dokter untukku? Apa Papa tak pernah tau apa yang aku rasakan?" tanya Alisa sembari menatap ke arah Wiliam. "Bukan begitu Alisa, Papa ingin yang terbaik untukmu," jawab William. "Yang terbaik?" Senyum kecut terlintas di wajah Alisa yang semakin terlihat pucat. "Papa akan memberikan penyiksaan ketika memutuskan hal ini," lirih Alisa. "Alisa, kamu tidak boleh berbicara seperti itu." Suara William kini terdengar tegas. Alisa terdiam, setetes air matanya terjatuh. Ia berdiri dari kursi sembari mengepalkan jemarinya dengan erat. "Aku menolak perjodohan ini, dan aku pun masih ingin melanjutkan pendidikanku. Tolong ... jangan pernah egois menjadi orang tua," ucap Alisa sembari melangkah pergi meninggalkan meja perjamuan. "Alisa berhenti!" tegas William, tetapi tak diindahkan oleh Alisa. Gerald yang sedari tadi hanya menyimak memutuskan untuk mengejar Alisa. Ia mencekal lengan Alisa sembari berkata, "Alisa kamu harus dengarkan dulu perkataan Papa." Alisa menarik tangannya dengan keras hingga terlepas dari genggaman Gerald. "Dengarkan apa lagi?! Aku tidak ingin hal ini terjadi!" Suara Alisa terdengar parau, air matanya mengalir membasahi pipi. Hati Gerald sedikit perih, ia tak pernah bisa melihat tangis Alisa. Pemuda itu menarik Alisa ke dalam pelukannya seraya menepuk pelan bahu sang adik. "Tenang, Alisa. Kakak tahu apa yang kamu rasakan, memang semua ini tak mudah." Suara tangis Alisa teredam pelukan Gerald, ia menangis mengingat detik demi detik penyiksaan siang tadi. Sungguh, dirinya tak bisa menerima semua itu.  Derap langkah terdengar. Excel mendekat ke arah kakak beradik itu, ia merasa bersalah karena membuat trauma Alisa semakin parah dan hendak meminta maaf. Namun, belum sempat berucap, Alisa mundur beberapa langkah darinya. "Jangan mendekat!" perintahnya. "Alisa, jangan seperti ini. Tenanglah, tidak akan ada yang menyakitimu," ujar Gerald yang menyadari sikap Alisa yang terlihat semakin ketakutan. "Baiklah. Aku hanya ingin meminta maaf padamu, jangan takut aku tak membawa apa pun," ujar Excel sembari menunjukkan kedua tangannya. "Aaaarrrggghhh! Pergi!" teriak Alisa tak bisa mengontrol ketakutannya sendiri. Pandangannya terlihat samar, rasa dingin kembali menyelimuti seluruh tubuhnya. Perlahan, tetapi pasti, Alisa terjatuh di atas rerumputan dengan tubuh gemetar. Di sisa kesadaran, ia melihat semua yang ada di meja perjamuan memanggil namanya, tetapi ia tak kuasa menjawab karena gelap datang membawanya ke dalam ketakutan. *** Embusan napas terdengar lembut, sedangkan gerakan jari-jari mulai terlihat. Perlahan, Alisa membuka kelopak matanya. Samar, semuanya terlihat buram. "Di ... di mana aku?" tanyanya lirih sembari berusaha untuk memperjelas pandangannya. Siluet seorang pemuda terlihat di manik mata Alisa, tetapi ia masih tak dapat mengenali siapa yang ada di sampingnya. "Siapa ... kamu?" Alisa mencoba bertanya karena ia tahu bahwa seseorang itu bukanlah keluarganya. "Kamu tahu siapa aku, tidak mungkin kamu amnesia hanya karena imunisasi," jawabnya dengan suara dingin. Suara itu terdengar familiar. Alisa merintih ketika seluruh tubuh terasa nyeri, ia berusaha untuk bangkit dari pembaringan. Akan tetapi, tangan pemuda itu memegang kedua bahunya dan membuat Alisa kembali terbaring.  "Gak usah sok kuat. Tidur saja, tubuh kamu masih belum kuat," ucapnya. Alisa mengucek kelopak mata. Perlahan, pandangannya kembali jelas dan betapa terkejutnya ia ketika pemuda yang ada disampingnya adalah Excel.  "Kamu ... kenapa kamu ada di sini?" tanyanya. Excel mengalihkan pandangan dari kertas di tangannya ke arah Alisa. Ia mengangkat alisnya sebelah dan menjawab, "Gadis aneh. Gara-gara kamu aku ada di sini." Alisa mengedarkan pandangan, seluruh tembok bercat putih bersih, sedangkan beberapa alat medis terletak di atas nakas, tepat di sampingnya. "Aaaarrrggghhh! Ada di mana aku?!" tanyanya sembari bangkit dari brankar. "Apa penglihatanmu bermasalah? Sudah jelas, kan, ini di rumah sakit," jawab Excel enteng. "Rumah sakit? Kenapa aku ada di sini? Jangan-jangan, kamu menculikku?!" tanya Alisa menuduh Excel. "Sembarang, buat apa aku menculik gadis penakut sepertimu?" Excel menahan dirinya agar tak terpancing emosi saat menghadapi gadis yang menjadi pasiennya. Ia mengembuskan napas dengan kasar sembari membawa perban dan juga antiseptik ke arah Alisa. "Apa yang kamu lakukan? Jangan mendekat! Jauhkan barang-barang itu!" seru Alisa mulai ketakutan. "Tenanglah. Ini tidak akan menyakitimu, aku hanya ingin melihat lukamu saja," ujar Excel menunjuk ke arah kaki Alisa. "Tidak mau! Aku mau pulang!" Alisa hendak beranjak turun dari brankar. Akan tetapi, Excel segera mencekal tangannya dengan erat. "Jangan pergi, diam di sini atau aku akan mengikat dan membawakan suntik yang besar untukmu," ancamnya. "Jangan, aku tidak mau," jawab Alisa takut. "Maka dari itu, menurutlah."  Alisa seketika terdiam, ia baru menyadari bahwa kakinya mulai terasa sakit dan benar saja goresan di kaki Alisa kini kembali mengeluarkan darah. Excel tersenyum tipis. 'Ternyata aku bisa mengendalikan gadis cengeng ini,' batinnya. Tangan Excel dengan cekatan menuangkan alkohol untuk membersihkan luka Alisa, sementara itu Alisa menutup kedua matanya dengan rapat karena baginya rasa sakit tak semengerikan jarum suntik. Hening, tak ada percakapan di antara keduanya. Excel kembali tersenyum ketika melihat Alisa memejamkan matanya dengan mimik wajah ketakutan. 'Cantik, tapi sayang cengeng,' batinnya memperhatikan wajah manis Alisa. Tak lama kemudian Excel selesai membalut luka di kaki Alisa dengan rapi. "Sudah selesai," ucap Excel. Gadis itu membuka matanya, akhirnya ia mengembuskan napas lega melihat lukanya telah diobati. Namun, Excel mendekat dan memegang kancing dress yang Alisa kenakan. Sontak saja Alisa terkejut karena sikap Excel yang sangat tidak sopan. "Aaah! Dasar m***m! Apa yang kamu lakukan?" tanyanya sembari menepis tangan Excel. "m***m? Siapa yang m***m?" tanya Excel terkejut. "Kamulah, siapa lagi!" "Aku tidak m***m, jangan seenak jidat kalau mau fitnah," bela Excel tak terima. "Lalu kenapa kamu mau buat bajuku!" Excel menepuk keningnya, ia merasa kepalanya pusing menghadapi satu gadis ini saja. "Aku cuma ingin memeriksa bekas imunisasi tadi siang, buat apa juga aku m***m padamu. Toh, badanmu juga tidak bagus," ujar Excel. "Kau benar-benar, ya! Awas kau, Dokter sialan!" seru Alisa sembari meraih perban di atas nakas dan melemparkannya ke arah Excel. "Rasakan ini!" Gadis itu kembali melempar benda lain ke arahnya tanpa ampun. "Sudah! Berhenti!" pinta Excel menangkis semua benda. Namun, Alisa tak berhenti hingga membuat Excel geram. Ia mendekat dengan cepat lalu mencekal lengan Alisa sebelum akhirnya mendorong Alisa dan membuat gadis itu terbaring dengan kedua tangan ditekan oleh Excel. Wajah keduanya hanya berjarak beberapa centimeter saja, mereka beradu tatapan cukup lama dan membuat keduanya terdiam tanpa kata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN