Bab 1. Gelisah
Aira dan Amir, mereka terlihat selalu bersama. Bahkan terkadang banyak yang mengira jika mereka berpacaran. Aira dengan sikap cerianya mampu membuat dunia Amir terasa berwarna. Bagi Amir, Aira adalah penyemangat untuknya. Obat dari segala rasa sakit yang dirasa. Amir hanya ingin Aira, bukan siapapun. Meski Amir sadar, ia tak akan mungkin bisa bersama Aira, namun harapan itu terus ia pupuk.
Sejak kecil hanya Amir yang selalu ada untuk Aira. Sedangkan kak Arga, begitu Aira memanggil, dia hanya acuh saja. Meski kadang ikut bergabung dan bermain bersama. Bagi Aira sosok Arga adalah sosok yang misterius, susah ditebak dan kaku. Aira lebih nyaman bersama Amir ke mana pun. Mereka bagaikan sepasang sandal yang tidak bisa dipisahkan.
"Aku akan selalu ada untukmu," janji Amir.
"Kamu adalah pelangi untukku." Aira menjawab.
Mereka semua, kini masuk di sekolah menengah atas pada SMA yang sama. Ke empat orang itu sudah sangat akrab sejak mereka duduk di bangku SMP. Baik Aira ataupun Amir sangat senang memiliki sahabat seperti Ika dan Bima.
Mereka yang tak pernah akur, seperti kucing dan tikus setiap kali bertemu. Justru mampu membuat Aira dan Amir tertawa dengan perdebatan mereka. Ika yang terkesan cerewet dan tomboy, sedangkan Bima cowok yang jarang bicara kecuali dengan Amir ataupun Aira harus selalu meladeni tingkah bar-bar Ika.
"Besok kita bertemu di cafe biasa ya buat cari perlengkapan MOS." Aira mengajak mereka untuk mencari barang-barang yang diperlukan secara bersama-sama.
"Oke siap, ntar aku ke rumahmu, kita berangkat bersama," jawab Ika yang memang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah Aira dan Amir.
"Boleh, aku tunggu ya." Aira menjawab dengan senang hati.
"Bilang saja mau nebeng," sindir Bima.
"Suka-suka gue lah, kok elo yang sewot." Ika mulai menjawab dengan nada yang tinggi.
"Biasa aja kali, gak usah ngegas gitu, kek bemo saja!" Bima masih saja mengejeknya.
"Elo yang mulai ini, gue sejak tadi udah diem ya. Eh lo malah mulai!" sungut Ika.
"Sudah, mulai deh. Heran aku ya sama kalian ini, tiap bersama bawaannya ribut mulu, pengen aku iket aja deh kalian berdua!" Potong Aira dengan cepat saat melihat Bima mau menjawab ucapan Ika.
Jika dibiarkan bisa-bisa gak kelar-kelar mereka.
"Oh iya, Amir besok ikut kan? ini tumben dia gak kelihatan, kemana sih?" Tanya Ika penasaran. Soalnya baru kali ini, Amir absen waktu mereka kumpul.
"Tadi ada acara sama om, kata tante." Aira menjelaskan.
"Oh pantes, biasanya suka kemana-mana pasti nempel ke kamu!" Canda Ika tapi memang benar adanya.
"Hahahaha ya gak gitu juga kali," elak Aira.
"Nyata Ra, kan emang suka gitu." Ika masih kekeh.
"Ya mau bagaimana lagi, kita sudah sama-sama sejak kecil. Jadi mungkin bagi Amir aku adalah tempat nyaman buat berbagi suka duka, jadi ya selalu nempel gitu." Aira menjelaskan.
"Apa kamu gak ada perasaan lebih selain sebagai sahabat?" Pancing Ika dengan tatapan penuh selidik.
"Biasa saja," elak Aira dengan mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Kalo diajak ngomong itu lihat yang ngajak ngomong, Ra." Ika merasakan ada yang sahabatnya sembunyikan.
"Orang dia bilang gak ya enggak, kok lo yang ngeyel." Bima yang merasa gemas sejak tadi akhirnya memilih ikut nimbrung.
"Gue tuh tanya sama Aira, bukan sama lo, nyamber aja kek petasan!" sewot Ika.
"Hahahaha santai aja tuh muka, gak usah merah kek angry bird," ejek Bima dan langsung nyelonong pergi dari taman tempat mereka ketemuan di hari sabtu pagi.
"Hais dasar, cowok kamu, kayak kanebo kering gak kena air bertahun-tahun!" sungut Ika berapi-api.
"Hahahaha, kalian ini benar benar lucu, awas hati hati, dari benci nanti biasanya jadi cinta lho. Secara benci dan cinta itu bedanya tipis banget." Nasehat Aira.
"Hah… amit-amit, jatuh cinta sama dia? Bisa-bisa aku dibuat marah terus tiap hari!" Ika masih berbicara dengan berapi-api.
"Hem kita lihat saja, dari benci jadi bucin, hahaha," kelakar Aira dengan keras.
"Ra.., masak doanya gitu,"Rengek Ika.
"Biarin. Yakin deh, kalo kalian bersama, aku orang yang akan tertawa paling keras." Aira masih saja mengejek Ika.
"Serah deh, Ra! Yang jelas itu gak akan terjadi!" Ika menjawab dengan mantap dan tak lupa kaki yang dia hentakan ke tanah saking kesalnya.
Dan akhirnya, mereka pulang karena hari sudah beranjak siang.
"Kamu kemana sih Mir? Kok pesanku juga gak kamu baca? Segitu sibuknya apa ya keperluan kamu sama om? Tapi kenapa bukan kak Arga saja sih," batin Aira yang sedikit gelisah dengan kepergian Amir yang tiba-tiba. Bahkan tidak mengabarinya terlebih dahulu.
Aira terus saja merasa tidak tenang, ia berharap akan segera mendengar kabar dari Amir. Karena biasanya sesibuk apapun Amir, ia akan selalu memberi kabar, tidak seperti ini.
Dalam hati, Aira hanya bisa terus berdoa, semoga Amir baik baik saja dan bahkan Aira, berharap tiba tiba Amir berada di depan nya saat ini.
"Andai kamu ada di sini, aku ingin segera bisa peluk kamu Mir, kamu dimana? jangan buat aku khawatir begini, plis Mir, beri aku kabar," desah Aira semakin frustasi.
"Sabarlah, semoga Amir baik baik saja," berpikir positif saja, Ra." Ika mencoba menenangkan sahabat nya yang memang terlihat sangat gelisah dan kacau.
"Ya semoga kamu benar ka, dan semoga Amir baik baik saja," lagi lagi Aira berharap yang terbaik buat Amir.
"Amiin, semoga saja ya. Ayo sekarang harus senyum, gak boleh sedih gitu donk, ntar cantiknya ilang lho," goda Ika agar sahabat lebih tenang dan bisa tersenyum.
"Kamu bisa saja Ka, tapi makasih ya udah berusaha menghibur aku, kamu baik deh," Aira sadar jika saat ini Ika berusaha untuk membuat nya lebih baik lagi.
"Kamu itu sahabat aku, sudah sewajarnya kita saling dukung," jawab Ika dengan memeluk Aira.
"Oh beruntung nya aku," ucap syukur Aira atas persahabatan mereka.
"Semoga persahabatan kita langgeng sampai tua ya Ra," doa Ika.
"Iya Ka, aku juga berharap demikian dan kita nanti bisa seperti ini terus ya," sambung Aira yang juga sama dengan harapan Ika.
Keduanya terus saja berbicara hanya untuk mengalihkan perasaan gelisah yang Aira rasakan. Karena jujur meski sudah bersama Ika, perasaan nya masih saja tidak enak. Entah apa yang sedang terjadi dengan Amir, yang Aira tau dia merasa ada yang hilang dari dirinya.
"Ya Allah lindungi Amir di manapun dia berada, karena aku percaya perlindungan dari Engkau adalah sebaik baiknya perlindungan." doa Aira dalam hati.