24

1693 Kata
Safa menutupi tubuh Dion yang tertidur tanpa sehelai benangpun diatas sofa dengan selimut. Ia sendiri memunguti pakaiannya dan mengenakannya kembali. Drrtt drrrt! Safa melirik ke ponsel Dion yang bergetar diatas mejanya. Nama Dara terpampang disana membuat gadis itu penasaran. Tanpa harus membuka ponsel pria itu, Safa dapat membaca pesan ynag masuk dari Dara. Besok ke kampus kan? Aku mau mastiin sesuatu. Safa tersenyum miring. Ia tau pasti pria yang membuat kekasihnya babak belur ini sudah memberi tau ke pacarnya Dion yang malang. Gadis ini ingin ikut menikmati permainan kekasihnya sendiri. Atau bahkan ikut berperan di dalamnya? Mungkin akan lebih menarik. Ia mendekati wajah Dion yang tampak pulas dalam tidurnya.” Aku gak suka berbagi, Dion. Sebenarnya aku juga terluka. Tapi kamu yang membuatku begini. Aku akan menghancurkan gadis itu. Perlahan.” …………. Dara memperhatikan jam tangannya, sosok Dion yang ia tunggu belum juga muncul. Apalagi pesannya semalam belum terbaca hingga kini. Membuat hati gadis itu sedikit tak tenang. Bagaimana jika yang Alfen katakana itu benar? Sebuah tangan melingkar di pinggang Dara, membuat gadis itu terkejut dan memberontak. Hingga sebuah suara berhasil menenangkannya.” Ini aku. Maaf ngagetin kamu.” Ucap Dion sembari mengendurkan tangannya dari pinggang Dara. “Kamu ih! Kirain siapa.” Dara reflex memukul lengan pria disampingnya itu. “Kenapa sih kamu? Mukanya jelek banget pagi-pagi.” Ledek Dion sambil menatap wajah Dara dari dekat, membuat gadis itu tersipu dan mengalihkan pandangannya dari tatapan Dion. “Gak. Aku mau nanya aja.” “Hmmm? Nanya apa?” Dion menautkan alisnya. Dara terlihat ragu, ia takut pertanyaannya akan menyinggung Dion. Tapi ia juga butuh penjelasan langsung dari kekasihnya agar tak salah paham juga memastikan ucapan Alfen hanya kebohongan belaka. Efek dari kebencian sahabatnya itu pada kekasihnya.” Apa aku satu-satunya pacar kamu?” Dion tersenyum kecil. Lalu mengangguk yakin.” Tentu saja. Kamu ragu sama aku?” Ucapnya sambil merangkul pundak Dara yang jauh lebih pendek darinya. Dara menggeleng.” Aku Cuma kepikiran sama omongan Alfen. Katanya kamu punya tunangan di kampusnya Gita. Katanya dia bukan sepupu kamu. Kamu gak bohongin aku kan?” Tanpa Dara sadari, Dion tersenyum miring membayangkan jika pria yang membuat wajahnya sedikit lebam kemarin sudah mencoba memberi tau ke kekasihnya. Tentu saja Dion tak sebodoh itu.” Dan kamu percaya?” Lagi-lagi Dara menggeleng.” Aku percaya kamu gak lagi bohongin aku.” Dion mengusap puncak kepala Dara dengan lembut.” Gadis pintar. Aku gak mungkin mainin kamu sayang. Kamu satu-satunya pacar aku.” Dan Safa adalah tunanganku. Dara mendongakkan wajahnya, menatap wajah Dion dari dekat. Kening gadis itu mengerut saat melihat bekas lebam di sudut bibir Dion.” Ini kenapa?” Tanyanya dengan nada khawatir sambil mengulurkan tangannya, berusaha menyentuh lebam itu. Tapi Dion mengelak. “You know.” “Alfen?” Dion tak mengangguk atau pun menjawab, ia yakin Dara adalah kekasihnya yang “pintar”. ………… Plak! Alfen terkejut mendapat sebuah tamparan keras pada pipinya. Saking kerasnya bahkan suara tamparan itu membuat beberapa orang kini menatap kearahnya, juga ke orang yang baru saja mendaratkan tamparannya. Dara. Gadis itu kini menatap Alfen dengan garang, bukan tatapan candaan seperti biasa. Entah kenapa Alfen merasa begitu banyak kebencian dimata gadis itu.” Maksud lo apa, Ra?” Tanyanya berusaha setenang mungkin. “Itu balasan buat lo yang udah bikin Dion babak belur!” Kecam Dara dengan jari telunjuknya di depan wajah Alfen. “Jadi cowok b******k itu bersembunyi di ketek lo sekarang?” Plakkk! Sekali lagi tamparan mendarat di pipi Alfen, pria itu tak bergeming apalagi terpancing emosi. Ia tetap tenang, reaksi yang Dara benci. Gadis itu bahkan berharap Alfen akan memakinya seperti biasa ketika mereka bertengkar. “Dan itu buat lo yang udah fitnah kalo Dion b******k! Lo yang b******k, Fen!” “Gue membicarakan fakta, Ra! Seumur hidup kita sahabatan apa gunanya kalo ternyata yang lo percaya adalah pria b******k yang bahkan belum satu tahun lo kenal itu?!” Dara memalingkan wajahnya dari tatapan Alfen, entah kenapa begitu banyak kekecewaan dimata pria itu. Membuat Dara tak berani melihatnya, ia takut pertahanannya runtuh. Ia takut Alfen memanipulasi ekspresinya agar ia lebih percaya dengan sahabatnya itu dan ikut menyebut Dion b******k. Padahal Dara tau Dion adalah pria baik-baik. Iya kan? “Dan apa gunanya persahabatan kita kalo lo gak pernah dukung apa yang bikin gue bahagia?” Balas Dara dengan isakan yang tertahan sejak tadi. “Lo yakin dia bisa bikin lo bahagia?” Dara mengangguk yakin namun juga heran dengan sikap tenang yang Alfen lakukan. Rasanya seperti bukan Alfen yang ia kenal. “Maka jangan pernah anggep gue sahabat lo lagi. Gue gak sudi sahabatan sama cewek b**o yang Cuma demi ‘cinta’ malah dengan rela dipermainkan sama cowok. Sahabat gue gak ada yang sebego elo.” Ucap Alfen dengan penekanan di setiap katanya. Pria itu pun melangkah pergi dari sana, meninggalkan Dara yang tak bergeming ditempatnya. Pertahanan gadis itu runtuh, ia terduduk ditempatnya dengan lemas. Membayangkan persahabatannya dengan Alfen yang terjalin sejak mereka lahir kini hancur. Hancur karena keegoisan pria itu soal kekasih sahabatnya sendiri. Hancur karena Dara lebih memilih ucapan kekasihnya dibanding sahabatnya. Karena baginya belum ada bukti kuat, juga rasa percayanya pada Dion yang begitu besar. Sementara tanpa mereka tau, seorang gadis kini tengah memperhatikan sambil tersenyum sinis. “Lo itu Cuma milik gue. Pelukan itu Cuma buat gue, Dion.” …………. “Lo gila, Fen?! Kan udah gue bilang jangan gegabah. Jadi begini kan. Persahabatan lo ancur Cuma gara-gara cowok b******k itu.” Sungut Gita yang tak bisa menahan emosinya. Apalagi Dara memang baru jadian sama Dion, jelas rasa kecintaan sahabatnya itu pasti sungguh besar. Omong kosong yang Alfen katakana jelas tak akan didengar. “Dia bucin banget. Kalo tau aja nangis sambil berlutut minta maaf didepan gue.” Alfen tersenyum miring. Kakinya diangkat ke meja didepannya yang langsung digetok dengan buku tebal di tangan Gita.” Aw! Gila lo getok gue pake buku setebel itu!” Jeritnya. “Yang sopan makanya dirumah orang!” Balas Gita tak kalah sengit.” Lo sih sotoy. Jadi gini kan. Gagal deh rencana kita biar Dara tau.” “Dara tuh batu. Gue rasa lo yang bilang pun dia gak akan percaya.” “Gue tetep akan bilang ke dia. Setidaknya kita usaha dulu. Walaupun gue mungkin bakal kena semprot juga.” Gita mengedikkan bahunya. “Dua saksi bahkan gak cukup buat dia, kalo dia gak liat sendiri.” Gita mengangguk, membenarkan ucapan Alfen.” Iya sih. Tapi mana mau Dara diajak kerja sama buat mergokin Dion. Yang ada kita disemprot duluan.” Alfen menghela nafas beratnya.” Gue bodo amat deh. Biar aja dia ngerasa patah hati nanti.” “Lo kok gitu sih.” Alfen meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku.” Persahabatan gue sama dia gak ada artinya kalo dimata dia gue adalah cowok b******k yang suka jelek-jelekin pacarnya. Biar aja dia kena batunya.” “Dan membiarkan sahabat serta orang yang lo cintai patah hati?” “Sekali-sekali dia rasain yang gue rasain.” Ucap Alfen dengan putus asa. Gita menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia juga tak bisa memaksa Alfen. Apalagi mengetahui dua tamparan telah mendarat di pipi sahabatnya itu dari Dara. Pasti Dara sangat membenci Alfen sekarang. Tapi Gita akan mencoba bicara ke Dara, walau ia tak yakin sahabatnya itu akan mendengarkannya. Sahabat yang dia kenal sejak bayi aja Dara gak percaya apalagi Gita yang Cuma sahabatnya dari SMA? ………… “Gita?” Dara mengernyitkan dahinya saat melihat Gita berdiri didepan pintu rumahnya, persis seperti Alfen kemarin. Bahkan hari ini ia malas ke kampus karena pasti akan bertemu pria itu. Yang bisa ia sebut mantan sahabatnya. Gita tersenyum kecil.” Boleh masuk gak?” Dara membuka pintunya lebih lebar dan mempersilahkan sahabatnya itu masuk.” Ada apa nih? Tumben?” Tatapan penasaran jelas terlihat di mata Dara, membuat Gita terkekeh kecil. “Masa gue harus ada alasan buat main ke rumah sahabat gue.” Ucap Gita dengan penekanan di kata sahabat. Membuat perasaan Dara sedikit tak enak. “Ya gak gitu, Git.” Entah kenapa obrolan mereka kali ini terkesan kaku. Biasanya memang Alfen yang sering mencairkan suasana. Tapi biasanya tanpa Alfen pun obrolan mereka akan asik, bahkan lebih bebas karena sesame cewek. “Tapi kalo yang lo omongin soal Alfen, gue males dengernya.” “Dan bahkan lo menolak fakta yang sebenernya? Dan mengira gue bohong juga dengan apa yang gue liat?” “Dan yang gue gak liat?” Balas Dara masih dengan kegigihannya. “Lo yakin kuat kalo lo liat sendiri? Gue sebagai sahabat lo aja yang gak ada hubungan sama Dion ngerasa hancur liatnya, apalagi kalo lo yang liat. Nangis kejer yang ada.” Dara mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Gita, entah kenapa ia tak berani menatap balik sahabatnya. Takut jika ia lebih percaya ke sahabatnya, munafik memang. Tapi rasa cintanya ke Dion bahkan telah membutakannya. “Dan lo pikir sepupu mana yang nyipok bibir sepupunya?” Ucap Gita lagi membuat Dara menatap tajam ke arahnya. “Lo kelewatan boongnya, Git. Jangan kayak Alfen deh.” “Jadi lo lebih seneng dibohongin pacar lo dibanding percaya sama sahabat lo, Dar?” Gita menautkan alisnya. Beginikah yang dirasakan Alfen kemarin? Saat sahabatnya sendiri tak mempercayai omongannya. “Gue gak mau gegabah. Omongan bisa dimanipulasi.” Ucap Dara dengan kemunafikan tingkat tinggi. Hati kecilnya sebenarnya percaya omongan Alfen maupun Gita. Tapi egonya menolak kuat-kuat yang katanya fakta itu. Gita berdecak heran.” Gila ya. Cinta ternyata bisa bikin sebodoh gini. Beruntung gue gak pernah pacaran.” “Maksud lo apa, Git?” Dara sedikit tersinggung. Padahal kemarin Alfen pun memakinya dengan lebih kasar. Tapi ketika Gita yang biasanya kalem dan memakinya seperti ini, terasa lebih “ngena”. “Bahkan dua saksi yang liat langsung kebejatan cowok lo, lo juga gak percaya. Apa namanya kalo bukan bodoh?” “No pic sama dengan hoax.” Balas Dara, asal. Ia sudah terlanjur sakit hati. Gita menggeleng-geleng dengan heran.” Terserah lo deh. Tapi kalo nanti pada akhirnya lo tau, bahu gue akan selalu tersedia buat sandaran lo. Kalo Alfen, entahlah. Dia terlanjur kecewa sama kebodohan lo.” Ucapnya sambil beranjak dan pergi dari rumah Dara.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN