Si Pembawa Bencana
Lilis mematut diri di depan cermin besar setinggi badannya yang menjulang. Bergerak kekiri dan kekanan, tersenyum simpul merasa puas dengan tubuhnya yang ramping dan penuh di bagian-bagian tertentu. Lilis memang sempat bercita-cita menjadi seorang pramugari. Dahulu, waktu kecil, hingga menyelesaikan pendidikan SMA nya impian itu masih tersimpan di kepalanya. Malangnya Lilis tak bisa segera melanjutkan pendidikan untuk meraih cita-citanya.
Setelah puas memuji diri dalam hati. Lilis merapikan rambut ikal hitam alami yang menjuntai untuk di ikat menjadi cepolan segengam tangan.
Dia tak lupa mengoles tipis krim di atas permukaan kulit wajahnya amat sangat mulus dan licin. Jika di ibaratkan, nyamuk saja tak akan sanggup berlama-lama hinggap sebab kakinya pasti akan mudah terpeleset.
Pepatah 'no gain no pain' berlaku untuk Lilis yang rajin merawat kulit wajah dan tubuhnya. Entah dengan cara tradisional ataupun modern. Yang jelas, Lilis tak akan mendapatkan kulit dan tubuh moleknya jika hanya rebahan dan ongkang-ongkang kaki saja.
Baru saja selesai memoles gincu merah mudah di bibir tipisnya, Lilis di kejutkan dengan suara gaduh dari luar gubuk sederhananya. "Hey, janda pembawa bencana! Keluar kamu!" "Dobrak saja pintunya!" "Jangan, jangan! Mungkin sebentar lagi keluar" "Halah, dobrak aja udah ibu-ibu!" suara riuh dan gaduh dari luar saling bersahutan. Berisik, membisingkan telinga Lilis yang masih sangat bagus pendengarannya hingga terasa sakit. "Nah kan keluar juga si pembawa bencana!" hardik seorang wanita berambut pendek yang di warnai merah menyala. Sangat tidak pas dengan kulit tubuhnya yang hitam kecoklatan. "Hush! Bu Adam jangan begitu, kita bisa bicara baik-baik sama Teh Lilis." suara lembut dari wanita lainnya memperingatkan. Terlihat sekali jika wanita berjilbab biru tua itu berusaha keras mendominasi ibu-ibu yang terbakar amarah agar tak lekas menyerang Lilis begitu saja.
Lilis membatu di ambang pintu, kedua tanganya saling mengait gemetaran. Meski kejadian seperti ini bukannya pertama terjadi di hidupnya, Lilis tetap saja di rundung cemas. Lilis tak ingin kembali terusir untuk ketiga kalinya untuk alasan yang sama. Alasan konyol tak berdasar yang hanya memojokannya. Seolah-olah, mata jelalatan para lelaki yang tak tahu syukur itu hanyalah kesalahannya.
Nyatanya, Lilis hanyalah wanita pencari nafkah yang merawat dirinya agar memiliki tubuh seksi, dengan anugrah paras manis, semanis gulali.
Seorang wanita paruh baya menghampiri Lilis yang masih diam di tempatnya. Berdiri tak berkutik seperti gedebong pisang. "Teh Lilis, Ibu mau bicara, bisa ya?" suara wanita yang di kenal sebagai Bu RT itu lembut menenangkan jiwa. Beda sekali dengan suara Bu Adam yang lantang berteriak tak jelas, mengompori orang-orang agar ikut membenci Lilis. Dasar provokator yang bengis!
Lilis mengangguk pelan, menyingkir dari pintu yang masih terbuka lebar untuk mempersilahkan Bu RT dan Bu Adam masuk ke dalam gubuk sederhana yang dia sewa dua juta setiap bulannya. "Pokoknya, si Lilis ini harus segera angkat kaki dari sini Bu RT! Bikin resah aja bisanya!" teriak Bu Adam tanpa basa-basi. Padahal mereka bertiga baru saja mendudukkan pantatnya di sofa merah marun milik Lilis. "Sabar Bu Adam, bukan begini cara menyelesaikan masalah." sahut Bu RT menenangkan. Di tempatnya, Lilis hanya tertunduk dalam diam. Lilis masih mencerna keadaan. "Teh Lilis, mohon maaf sebelumnya, pagi-pagi begini sudah bikin repot. Jadi begini Teh Lilis --" "Ibu-ibu di sini keberatan sama keberadaan saya? Saya di anggap tebar pesona sama bapak-bapak di sini, begitu kan Bu RT?" suara Lilis menyela kalimat Bu RT yang belum rampung. Lilis sudah khatam dengan posisinya saat ini, sebab dia pernah terusir dua kali dengan alasan yang sama. Menyedihkan!
"Maaf Bu RT, saya sangat menghormati Bu RT tapi saya kan hanya mencari nafkah, saya hanya jualan nasi uduk, saya gak pernah menggoda laki-laki manapun. Lagi pula kontrak rumah saya masih sisa delapan bulan lagi disini." tambah Lilis panjang lebar menjelaskan. Nada suara Lilis masih sangat lembut, Lilis cukup tahu diri untuk menghormati lawan bicaranya.
Bu Adam yang duduk di samping Bu RT menatap Lilis dengan sinis, sesekali mulut besarnya komat-kamit, entah sedang meledek Lilis yang tengah berbicara atau memang benar-benar membaca mantra rahasia. Lilis tak tahu!
Sementara Bu RT hanya mengganguk-anggukan kepalanya saat Lilis bicara. Dan saat Lilis menyelesaikan kalimatnya, Bu RT mulai membuka mulutnya untuk kembali bersuara, menyampaikan aspirasi ibu-ibu komplek yang kebakaran jenggot. "Saya juga paham Teh Lilis, makanya saya harus ikut menengahi agar ibu-ibu tidak main hakim sendiri. Apalagi Teh Lilis punya si kembar yang juga harus di jaga perasaannya. Iya kan Teh?" sahut Bu RT, sedikit menenangkan kekhawatiran Lilis akan nasibnya di Komplek Taman Indah yang baru empat bulan ia tempati.
Tanpa sadar Lilis melirik foto yang di gantung di dinding ruang tamunya, dua bocah laki-laki berusia lima tahun yang sedang tersenyum lima jari. Lucu dan manis sekali!
Lilis mengangguk pelan. "Teh Lilis, kira-kira solusi apa yang di tawarkan Teh Lilis supaya tidak terjadi lagi fitnah-fitnah seperti ini pada Teh Lilis nantinya." ujar Bu RT menimpali. Bu RT memang pemimpin panutan, dia ingin mendamaikan kedua belah pihak dengan adil dan damai. Mungkin seharusnya Bu RT jadi Walikota saja dengan sikap keadilannya ini.
Lilis diam. Dia tengah berpikir keras untuk mencari solusi agar keberadaannya di Komplek Taman Sari aman terkendali. "Bu RT, si Lilis ini udah suruh pindah aja dari sini, Bu! Jangan sampai ada perceraian-perceraian lain di komplek kita gara-gara suami-suami kita ngerebutin si LiLis!" beber Bu Adam menggebu-gebu. Lilis yang tak tahu apa-apa tentang berita di luaran sana tentu saja terkejut. Perceraian?! Gara-Gara Lilis?!
Dahi kencang Lilis berlipat-lipat mendengar penjelasan Bu Adam. Lilis juga sempat terperangah sekilas. "Halah, jangan pura-pura b**o kamu Lilis! Itu Pak Dani kan gak pernah absen nongkrong di warung kamu, sampai toko bangunannya sendiri telat buka. Makanya istrinya marah, sekarang malah sedang nunggu sidang perceraian." terang Bu Adam tak menurunkan samangatnya untuk mendepak Lilis. "Dasar janda pembawa bencana!" hina Bu Adam tepat di muka Lilis. Air liurnya saja hampir mengenai wajahnya. "Loh Bu Adam, salah saya dimana? Saya kan hanya pedagang, Ada pembeli ya saya layani. Urusan Pak Dani telat buka tokonya sendiri, saya mana tahu, Bu!" sanggah Lilis membela diri.
Lilis tentu mengenal baik siapa Pak Dani, laki-laki berkumis tebal yang tak bisa di bilang muda itu memang pelanggan setianya. Setiap pagi, paling sedikit dua piring, Pak Dani menghabiskan nasi uduk buatan Lilis. Sebenarnya bukan hanya Pak Dani pelanggan setianya, Pak Adam, suami Bu Adam yang tengah bermandi amarah, juga termasuk pelanggan setianya. Bedanya Pak Adam seorang pegawai negeri sipil yang harus segera ke kantor setelah sarapan nasi uduknya. Namun tetap saja, setianya Pak Adam pada nasi uduk Lilis membuat istrinya jadi terobsesi untuk menendang Lilis dari tempat tinggalnya saat ini.
Lilis jadi geleng-geleng kepala sendiri. Dia hanya berjualan dari pukul enam pagi hingga sepuluh pagi. Tapi hatersnya bejibun sekali. Lilis jadi bergidik ngeri, membayangkan jika dia membuka warungnya sepanjang hari. Mungkin saja hari ini dia sudah di bui, akibat banyaknya laporan polisi.
Sebenarnya pelanggan Lilis bukan hanya bapak-bapak tua penghuni komplek. Remaja dan anak-anak sekolah pun jadi pelanggan setianya. Nasi uduk buatan Lilis memang enak, Lilis sungguh-sungguh mempertahankan kualitas barang dagangnya. Dia profesional berdagang, hanya saja pelanggan ibu-ibu mulai berkurang sejak warung nasi uduknya selalu penuh dengan bapak-bapak yang berebut mendapatkan tempat duduk di dalam warung yang hanya berukuran lima kali tiga meter itu.
Bu Adam menggebrak meja di ruang tamu rumah Lilis yang membentang memisahkan tempat duduknya dan kedua tamunya. "Pokoknya kamu harus angkat kaki dari komplek ini!" bentaknya, membuat Lilis dan Bu RT terperanjat. "Begini saja Bu RT --" "Eh eh eh, dari tadi kamu hanya bicara sama Bu RT? Saya segede gunung gini gak kamu anggap?!" sela Bu Adam kembali bersuara dengan keras, memprotes Lilis yang tak menganggapnya ada. Andai saja telinga Lilis banyak kotoran, pasti sudah bersih mendadak. Saking sakitnya mendengar pekikan suara Bu Adam.
"Maaf, maksud saya Bu Adam dan Bu RT, kalau Bu RT mau, Bu RT bisa pasang kamera di warung saya supaya kecurigaan ibu-ibu komplek sama saya bisa di buktikan dengan rekaman tersebut. Lagi pula warung nasi uduk saya kan hanya empat jam, mana mungkin saya sempet buat godain bapak-bapak di komplek sini." usul Lilis mempertahankan diri yang tak terima di sudutkan. Beberapa saat hening menyapa, ketiganya seperti tengah berpikir tentang usulan Lilis.
"Teh Lilis, gimana kalau Teh Lilis tidak menerima bapak-bapak untuk makan di tempat?!" usul Bu RT. Bu Adam yang sedari tadi tak ingin bernegosiasi seperti mulai luluh dengan ide Bu RT. "Jadi hanya anak-anak dan ibu-ibu saja yang di ijinkan makan di tempat." tambah Bu RT menjelaskan idenya. "Setuju!" Bu Adam kembali menggebrak meja, membuat Lilis dan Bu RT geleng-geleng kepala karenanya. Lilis mengedikan bahu sekilas. "Ya sudah Bu RT, saya setuju." ujar Lilis menyanggupi.
Bu Adam hampir saja membuat Bu RT oleng dan ambruk, saat tubuh bongsornya menyenggol sosok Bu RT yang munggil tengah berpamitan pada tuan rumah. Lilis benar-benar tak habis pikir dengan Bu Adam, bisa-bisanya datang dan pergi seperti seekor ayam. Tidak ada sopan santunnya!
Setelah kedua tamu yang tak di undangnya pergi, Lilis kembali duduk berselonjor kaki, membentangkan kedua tanganya lebar-lebar. Menghembuskan napasnya dengan kasar dan bergumam, "Jangan sampai aku di usir semena-mena lagi." katanya bermonolog.
***
Bersambung...