Penggoda Iman

1636 Kata
Lilis hendak menutup warungnya tepat pukul sepuluh pagi. Dia tak pernah mau membuka warung lebih dari pukul sepuluh pagi sekalipun nasi uduknya tak habis. Meskipun pada kenyataanya, nasi uduk Lilis selalu laris. Tiba-tiba seorang laki-laki berlari tergesa-gesa masuk ke dalam warungnya. "Ibu, Mbak, Dek, aduh siapalah kau, tolong bantu aku ya. Ku pinjam motor kau sebentar saja, aku ada kepentingan yang tak bisa ku tinggal. Ayolah buruan!" serunya dengan napas terengah. Maksud motor yang di katakan laki-laki berbadan tinggi atletis itu adalah motor matic milik Lilis yang terparkir di depan warunnya. Lilis dengan posisi memunggungi, jelas tak tahu jika ada seorang laki-laki sedang bicara dengannya. "Aduuuh aku sudah telat ini. Hey, ayolah kau bantu aku, ini aku titipkan tas mahalku, kau berikan kunci motor kau! Jangan takut, tak payah aku mencuri motor butut kau, uangku lebih banyak pula." laki-laki berkacamata hitam itu berdiri tak karuan. Persis seperti anak kecil yang sedang merajuk, menghentak-hentakan kakinya ke bumi. Sementara Lilis masih saja sibuk membersihkan meja-meja dan kursi-kursi yang berserakan. Membuat laki-laki yang bicara dengan logat keras itu, nekat menyentuh pundak Lilis dari belakang. Lilis menoleh. Rupanya telinga Lilis di jejali earphone tanpa kabel, hingga dia tak mendengar suara di sekitarnya. "Astaga manis dan seksi kali perempuan ini. Kakiku sampai gemetaran ini. Jangan sampai adikku di balik celana juga gemetaran." ucap si pria lirih, bermonolog. Sayangnya, Lilis sudah menekan tombol 'off' dari ponselnya dan mendengar dengan jelas setiap kalimat yang keluar dari bibir tebal laki-laki di hadapannya. Lilis refleks melangkah mundur saat posisinya terasa dekat dengan laki-laki asing yang tanpa ijin masuk ke dalam warungnya yang sudah gelap karena rolling door sudah di tutup. "Maaf, nasinya sudah habis. Saya juga sudah tutup." ujar Lilis berusaha ramah, meski dia sempat jijik dengan kalimat monolog laki-laki itu.y "Ah bukan bukan, aku sedang ada kepentingan mendesak. Aku butuh kau pinjamkan motor kau yang di depan itu. Ambillah tas ku sebagai jaminan. Supaya kau percaya aku tak akan mencuri motor kau." jawab lelaki yang sudah melepas kacamata hitamnya, menampilkan mata elangnya yang menghunus. Lilis hampir saja tertusuk hanya dengan tatapan matanya. Lilis memindai sekilas sebelum laki-laki asing di depannya kembali bersuara lebih keras. "Nanti lagilah kau terpesona padaku. Aku sedang tidak punya waktu untuk menggoda kau ini. Ayo berikan saja kunci motor dan STNK-nya!" ujarnya dengan kepercayaan diri penuh. Membuat Lilis terperangah sekilas lalu mengulurkan kunci motornya dengan tangan gemetaran. Si pria membagi senyum lebarnya seraya menyimpan tas kecil berbahan kulit dari merk ternama di atas salah satu meja yang sedang di bereskan Lilis. "Kau jaga tasku, nanti aku ambil dan ku kembalikan motor kau, oke?!' seperti terhipnotis Lilis mengangguk, mengamini perkataan laki-laki tersebut. Setelah sepuluh menit berlalu, Lilis mulai sadarkan diri. Dia terkejut dengan aksinya sendiri. Memberikan kunci motor berikut STNK motor kesayangannya secara sukarela pada orang asing. "Ya ampun! Apa yang sudah aku lakukan?!" serunya sambil menepuk dahi dengan tangannya sendiri. Dia gusar. Lilis mondar-mandir di dalam warungnya, tak lama kemudian dia berjalan keluar teras dan melakukan hal sana di sana. Kembali ke dalam warung dan berjalan keluar teras. Terus begitu, sampai si kembar Ferry dan Ferdi berlarian ke arahnya. Dua putra kembarnya tengah berlomba lari untuk memeluk mama mereka yang sedang was-was. "Mama!" teriak keduanya kompak. Lilis mengaduh saat si kembar memeluknya bersamaan dengan badannya yang oleng hampir terjatuh. "Aduh! Hati-hati, Nak!" Dasar bocah. Jika masih bisa berlari kenapa meski berjalan, begitu sepertinya pepatah yang cocok untuk menggambarkan Ferry dan Ferdi. Bocah kembar itu begitu aktif, bawel dan sehat dengan tubuh lebih bongsor di banding anak-anak lain seusianya. "Makan yuk, Nak! Mama udah sisihkan nasi uduk untuk makan kalian." tanpa protes si kembar masuk ke dalam warung, duduk manis saling berhadapan dan menikmati menu sarapannya setelah berdoa bersama. Lilis hebat menerapkan disiplin pada kedua lelakinya. Keduanya begitu khusus ketika makan, bahkan saat salah satunya membuka mulut untuk bicara yang lainnya mengingatkan untuk tidak bicara saat makan. Hingga keduanya melahap nasi uduk hingga tandas. Lilis tersenyum dan meminta keduanya untuk mencuci tangan dengan sabun sementara dirinya membereskan sisa-sisa nasi yang beberapa di antaranya jatuh ke lantai. Namanya juga anak-anak, serapi-rapinya makan, pasti ada saja yang berceceran. dan Lilis mafhum untuk itu. "Ma, aku mau nonton film kartun di rumah." aku Ferry yang di ikuti Ferdi dengan berkata, "Aku juga mau!" katanya bersemangat. Lilis tersenyum manis, menciumi kedua putranya lalu mengangguk pelan sebagai tanda ijin. Lilis kembali ke teras warung, duduk di sana setelah menempatkan satu kursinya. Kedua putranya sudah tak perlu di khawatirkan, meski mereka pulang tanpa di antar, mereka tak akan tersesat. Sebab, rumah Lilis berada tepat di belakang warungnya. Menempel bangunannya meski pintu masuknya berbeda. Di pangkuannya ada tas kecil berbahan kulit berwarna hitam milik pria asing yang kini membawa motornya entah kemana. Sudah setengah dua siang, si kembar sudah terlelap, sementara si pria asing masih belum menunjukan batang hidungnya. Padahal Lilis sudah menunggunya dengan terkantuk-kantuk sebab selain jam makan siangnya terlewat, jam tidur siangnya pun terenggut untuk menunggu kabar motornya dengan perasaan was-was. Tepat pukul dua siang, pria berjas biru navy dengan celana panjang senada itu muncul dari kejauhan, membuat Lilis refleks mengusap d**a, lega. Motor Lilis sudah aman pada empunya saat si pria dengan badan yang menjulang memarkirkan motornya di teras warung. "Hah, menunggu aku rupanya kau?" tanya si pria nyengir kuda tanpa dosa. "Ini aku kembalikan STNK dan kunci motormu, bensinnya pun sudah aku isi penuh sampai full." kata si pria mengulurkan kunci motor pada Lilis. "Nah sekarang kenalan dulu lah kita, supaya makin akrab kan?!" pinta si pria mengulurkan tangannya. "Aku Jonathan Nasution. Perlu ku sebut berapa hartaku?" katanya terkekeh. Jo tidak sedang bercanda, dia sedang menyombongkan dirinya yang kaya raya. "Lilis Purbasari." balas Lilis lirih. Seperti menyentuh api, Lilis menyambut tangan Jo. Cepat sekali seperti takut terbakar jika bersentuhan terlalu lama. Sejak pertemuan singkatnya beberapa jam yang lalu hingga saat itu, dua kata itu adalah suara pertama Lilis. Sebab Jo benar-benar tak memberi Lilis kesempatan untuk bersuara sebelumnya. Jo terlalu dominan berkata-kata. "Alamak, suaranya saja nya seksi sekali. Apa telingaku sudah rusak ya? Rasa-rasanya gayanya berbicara seperti mendesah basah. Otakku bisa kotor ini. Gawat!" ujar Jo dalam hati. Jo memindai Lilis dari ujung kaki yang tertutup sandal hingga ujung rambutnya yang di cepol ke atas, membuat leher jenjang Lilis terekspos sempurna karenanya. Lilis yang sudah menanggalkan celemeknya, terlihat lebih anggun dengan dress selutut berwarna ungu muda. Dress dengan motif bunga lili itu terlihat ketat di bagian tubuh atasnya membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Setengah mati, Jo menahan perasaannya, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. "Perempuan penggoda iman." batinnya berpendapat. "Ini tasnya, Pak Jonathan." ujar Lilis membuyarkan lamunan Jo. Lilis mulai normal. Dia sudah sadar sepenuhnya setelah sebelumnya, kewarasannya hilang timbul akan sosok Jo yang datang tiba-tiba, menghipnotisnya hingga menggunakan motornya yang sekarng sudah terparkir sempurna di depan matanya. "Jangan kau panggil aku, Pak! Tak elok ku dengar itu, panggil aku Bang Jo saja." pinta Jo mengerak-gerakan alis tebalnya. Mata Lilis membulat sempurna melihat tingkah Jo yang menurutnya menggelikan. "Kau punya piring kan?! Boleh ku pinjam? Aku bawa makanan untuk makan siang, sengaja ku bungkus sebab aku tak sempat makan siang tadi." Jo menaikan keresek hitam di tangannya. Tanpa cangung, Jo kembali mengutarakan permintaannya. Belum sempat Lilis menolak, Jo sudah kembali bersuara. "Kau ambil dua piring ya, kita makan bersama." tambahnya luwes. Lilis kembali menampakan mimik wajah terkejut meski tak di indahkan Jo. Apa?! Makan bersama? Kenal saja tidak! Laki-laki ini sepertinya sudah tidak waras. Batin Lilis terus bergumam, meski kakinya tetap melangkah mengambil piring dan alat makan lainnya. Jo membolak-balikan piring di tangannya. "Hanya satu kau bawa piringnya? Tak dengar pula aku minta kau ambilkan dua?" tanya Jo menatap Lilis yang berdiri menjulang sementara dia sudah duduk manis di dalam warung. Baru saja Lilis membuka mulut untuk menjawab, Jo sudah kembali berkata, "Ah, kau ingin kita makan sepiring berdua rupanya?" ujar Jonathan dengan seringai di wajah. Lilis terus menyentuh d**a kirinya yang di dalamnya ada jantung yang mencelos, turun ke perut. "Ayo, makanlah!" ajak Jo. Dia benar-benar tidak peka dengan ketidak nyamanan Lilis. "Terima kasih, tapi saya gak ikut makan." sahut Lilis dengan nada normal. Lilis masih ingin menjaga kesopanannya. "Ayolah! Mau aku bantu? Ku suapi kau kalau begitu ya." ajak Jo seraya mengulurkan sendok penuh nasi ke mulut Lilis. Lilis mulai emosi, kegilaan Jo membuat kepala mendidih. "Pak, eh Bang! tolong bersikap sopan ya Anda." pinta Lilis dengan nada suara naik satu oktaf. Lilis melangkah mundur saat sendok itu hampir menyentuh bibir tipisnya yang kemerahan. Jo tak bergeming, dengan santainya, dia menikmati nasi padang yang hampir habis. "Memangnya aku tidak sopan dari mananya? Siapa tadi namamu, Lilis ya, aku itu hanya menawarimu. Kalau kau tidak mau ya sudah, aku tak memaksa pula. Kau nanti makanlah sendiri nasi nya." sahut Jo menunjuk satu porsi nasi padang yang masih terbungkus rapi dengan dagunya. Jo bangkit setelah makan siangnya habis tak tersisa, menyempatkan diri minum air dalam kemasan yang ia beli bersamaan dengan makanannya. "Terima kasih banyak Lilis." yang manis, seksi dan menggoda, tambah Jo dalam hatinya. Jo tak bisa membohongi dirinya. Pesona Lilis sudah meluluh-lantahkan pertahanannya. Jo meraih tas kecilnya yang tergeletak di atas meja lainnya. "Ini ongkos pinjam motor dan makanku." Jo meraih tangan lembut Lilis dan meletakan uang satu juta rupiah di atas telapak tangannya. "Sebentar kita selfi dulu." 'cekrek!' Jo mendapatkan foto selfinya dengan Lilis yang masih amat terkejut. Lembaran uang di telapak tangannya saja masih belum ia genggam dengan benar. "Kau bikin aku gemas saja, aku jadi ingin --" Jo melirik Lilis sekilas dan mengepalkan tangannya di udara. Lilis sama sekali tak menggoda Jo, dia hanya berdiri saja sudah membuat Jo kelabakan. "Ya sudah, aku pamit ya. Kapan-kapan aku akan mampir lagi, Lilis yang manis." pamit Jo melambaikan tangannya di udara dan berlalu begitu saja. Sementara di tempatnya, Lilis masih belum sepenuhnya sadar atas kepergian Jo. Gerakan Jo yang cepat benar-benar membuat Lilis berdiri seperti orang linglung. Otaknya hang. *** Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN