BAB 7: CALONNYA PAK LURAH

1519 Kata
SELAMAT MEMBACA *** Rinjani duduk di teras sambil minum segelas teh. Siang menjelang sore itu matahari masih begitu terik tapi anehnya udara justru terasa segar tidak terasa panas sedikitpun. Di depan rumahnya, sudah banyak orang berlalu lalang entah sekedar lewat atau berkegiatan di gedung depan rumahnya. Katanya nanti habis isya sosialisasi mahasiswanya akan di adakan. Rinjani tersenyum saat melihat Arjuna sudah pulang, padahal waktu masih siang. “Kok sudah pulang Bang?” Rinjani menyalami tangan Abangnya. “Iya memang sudah waktunya pulang, tidak banyak pasien hari ini jadi bisa cepat pulang.” Jawab Arjuna. Dia duduk di kursi yang ada di hadapan adiknya. “Mau Jani buatkan minum?” tawar Rinjani. “Boleh, teh manis seperti biasa.” Rinjani langsung masuk kedalam rumah ingin membuatkan minuman untuk Arjuna. Saat keluar, Rinjani melihat Abangnya tengah berbincang dengan seorang laki-laki paruh baya yang dia sendiri tidak tau siapa. Rinjani meletakkan teh di hadapan Arjuna dan tersenyum pada tamu abangnya itu. “Tolong buatkan minum untuk Pakde Yanto,” pinta Arjuna pada adiknya. Baru saja Rinjani ingin kembali masuk kedalam rumah, tapi tamu itu sudah lebih dulu berbicara. “Tidak usah repot-repot Mas Juna, Mbak. Saya langsung pamit saja, masih ada yang mau di urus lagi.” Ucapnya dengan ramah. “Kok buru-buru Pakde, tidak ngobrol-ngobrol dulu.” Ucap Arjuna. “Lain waktu saja Mas, niatnya kesini tadi memang cuma mau merepotkan Mas Juna.” “Tidak repot sama sekali Pakde, malah senang saya bisa membantu.” “Yasudah, kalau begitu saya pamit dulu nggih Mas, Mbak…” “Nggih Pakde, hati-hati.” Setelah itu laki-laki bermana Yanto itupun pergi meninggalkan rumah Arjuna. “Siapa Bang?” tanya Rinjani saat tamunya sudah pergi. “Pakde Yanto. Dia itu ketua RT disini.” “Mau apa beliau kesini Bang?” “Nanti malam kan ada acara di gedung depan. Biasanya masalah penjamuan itu di urus di rumah ini. Karena yang paling dekat. Tapi karena sekarang kita tinggal disini jadi Pakde Yanto minta izin untuk memakai dapur kita untuk mempersiapkan jamuan.” Rinjani mengangguk faham saat mendengar penjelasan Arjuna. “Memangnya ini rumah siapa Bang?” “Rumahnya Pak Lurah.” “Kenapa bisa Abang tinggal disini?” “Rumah ini kosong. Biasanya di pakai untuk kegiatan umum atau tempat tinggal mahasiswa KKN. Jadi waktu Abang tugas disini, yasudah rumahnya di kasih ke Abang untuk di tempati.” Rinjani lagi-lagi mengangguk faham dengan ucapan Arjuna. “Pak Lurah itu kaya ya Bang sepertinya. Rumahnya bagus, masih ada rumahnya yang lain.” “Kalau di bandingkan dengan penduduk yang lain sih ya lebih kaya Pak Lurah. Usahanya banyak itu, peternakan yang ada di ujung desa itu semua milik Pak Lurah. Belum sawahnya, kebunnya banyak.” “Pantas saja kelihatannya kaya,” guman Rinjani. Jadi tidak heran kalau pak lurah kaya. Usahanya banyak, semalam Rinjani sempat berfikir berapa gaji menjadi lurah kenapa rumahnya bisa sebagus itu. Ternyata tidak hanya menjadi lurah tapi masih banyak usaha yang lainnya. “Ehhh tapi, Bu Lurahnya yang mana Bang kok Jani belum pernah ketemu.” Rinjani fikir laki-laki seperti pak lurah itu tidak mungkin belum memiliki pasangan kan. Bisa di sebut laki-laki itu salah satu laki-laki yang potensial untuk di jadikan suami. “Jangankan Jani yang baru 2 hari disini. Abang saja yang sudah berbulan-bulan belum pernah bertemu dengan Bu Lurah,” jawab Arjuna sambil tersenyum geli. “Bu Lurahnya kemana Bang? Merantau? Atau sekolah?” “Pak Lurah kan masih lajang…” Rinjani menatap abangnya dengan tatapan tidak percayanya. Laki-laki seperti pak lurah masih lajang. Kenapa bisa? “Laki-laki seperti Pak Lurah masih lajang Bang? Apa sudah habis stok perempuan di desa ini sampai laki-laki potensial seperti itu masih lajang,” ucapan Rinjani berhasil membuat Arjuna tidak bisa menahan tawanya. “Apa juga sudah habis stok dokter muda potensial di rumah sakit kita sampai Jani juga masih melajang sampai saat ini?” Rinjani menggerutu kesal ketika mendengar sindiran Abangnya. “Beda lah Bang, jangan bahas Jani. Jani ini sedang memilih yang terbaik dari yang paling baik. Jadi tidak bisa asal.” Jawab Rinjani. “Bisa itu Jani mencalonkan jadi Bu Lurah, mana tau kan jodoh.” Arjuna langsung tertawa ketika melihat wajah adiknya semakin kesal. “Yang dokter, muda, kaya saja belum tentu Jani terima lamarannya apalagi Pak Lurah,” Rinjani mengibaskan pelan tangannya di hadapan Arjuna. “Husss, tidak boleh bicara seperti itu. Nanti kualat lho. Memangnya kalau Pak lurah kenapa, dia juga kata Jani laki-laki potensial. Kita kan tidak pernah tau jodoh kita itu siapa.” Rinjani langsung terdiam mendengar teguran Arjuna. Bukan maksud merendahkan laki-laki seperti pak lurah. Tapi menurutnya candaannya abangnya itu terdengar tidak masuk akal. Jika di tanya kenapa, entah lah Rinjani juga tidak tau kenapa. Tapi menurutnya memang tidak masuk di akal. “Ganti topik lain Abang. Ngapain sih kita bahas Pak Lurah.” Rengek Rinjani pada Arjuna. “Orang kamu kok yang tadi duluan tanya-tanya masalah Pak Lurah.” *** Habis magrib beberapa ibu-ibu sudah ada yang datang untuk membantu mengurus konsumsi. Rinjani pun menyambut kedatangan mereka dengan senang. “Mari ibu-ibu silahkan masuk,” Rinjani mempersilahkan empat orang perempuan yang datang kerumahnya untuk masuk. “Kenalkan Mbak, saya Lasmi, ini Linda, Sri dan yang itu Saripah.” Perempuan yang mengaku bernama Lasmi itu mengenalkan dirinya pada Rinjani. “Saya Rinjani ibu-ibu, panggil saja Jani. Salam kenal semua,” jawab Rinjani dengan ramah. Mereka mulai sibuk dengan berbagai urusannya, ada yang mulai merebus air ada yang mengeluarkan bahan makanan untuk di olah dan sebagainya. Bahkan Rinjani juga ikut bersama ibu-ibu yang lain mempersiapkan segala sesuatunya. “Lohh ibu-ibu sudah datang ternyata,” Arjuna yang keluar dari kamar mandi dan menyapa beberapa orang yang sudah ada di dapurnya. Sepertinya dia baru saja selesai mandi. “Iya Pak Dokter. Maaf jadi merepotkan nggih Pak Dokter.” “Tidak papa Bu, santai saja. Silahkan di lajutkan …” “Nggih Pak Dokter,” jawab ibu-ibu itu dengan bersamaan. Setelah itu Arjuna pamit untuk pergi. Mereka pun melanjutkan kegiatan mereka dengan di selingi obrolan-obrolan ringan. Rinjani pun ikut dalam obrolan bersama ibu-ibu yang sedang mengolah makanan sambil sesekali tangannya ikut membantu mengupas pisang untuk di goreng. “Assalamu’alaikum …” “Wa’alaikumsalam …” Tiba-tiba seorang wanita muda dengan jilbab birunya muncul sambil membawa bungkusan di tangannya. “Ehhh, ada Mbak Sulis. Silahkan masuk Mbak,” Ucap perempuan bersama Sri yang duduk paling dekat dengan pintu. Perempuan yang di panggil Sulis itu lalu tersenyum sopan dan menyalami semuanya termasuk Rinjani. “Saya ndak lama nggih Bude, cuma mau ngantar ini. Katanya ibu di suruh ngasih kesini untuk teman minum teh nanti.” Perempuan bernama Sulis mengulurkan bungkusan di tangannya kepada Sri. Sri pun menerimanya dengan senang. “Oalah, nggih matursuwun nggih Mbak. Wong Sebenarnya ndak usah repot-repot. Ini juga sudah di buatkan gorengan. Sama tadi sudah beli beberapa camilan lain.” “Ndak repot Bude. Yasudah kalau begitu saya pamit dulu, masih ada urusan yang lain.” Ucap Sulis itu dengan sopan. Setelah berpamitan, Sulis langsung pergi dari sana. “Oalah Mbak Sulis, sudah cantik baik, ramah lagi. Memang cocok kalau benar bersanding sama Pak Lurah.” Celetuk Sri begitu saja. “Apa betul calonnya to Mbak, kok ramai sekali kabarnya?” sahut Lasmi yang tengah berada di depan kompor sedang menggoreng pisang. “Yo ndak tau, tapi Bu Broto itu bilang-bilang kemarin waktu arisan PKK katanya ya calonnya. Tapi ya tidak tau,” jawab Sri lagi. “Alah yo ndak betul berarti itu, kalau betul kok dari dulu ndak nyebar-nyebar udangan. Biasa to ibu-ibu yang punya anak gadis ngaku-ngakuin Pak Lurah jadi calon mantunya.” Sahut Linda. “Ya lihat aja nanti siapa yang duduk di pelaminan sama Pak Lurah. Namanya laki-laki kaya Pak Lurah, siapa to yang ndak mau jadi istrinya. Kita lihat saja siapa nanti ibu lurahnya.” Rinjani yang sejak tadi mendengarkan obrolan para ibu-ibu jadi penasaran. Tapi malu ingin bertanya, takut di kira suka ikut campur. Tapi penasarannya sudah tidak bisa di bendung lagi. “Itu calonnya Pak Lurah Bu?” tanya Rinjani dengan penasarannya. “Mbak Jani dengar to dari tadi?” ucap Sri. “Dengar sedikit Bu,” jawab Rinjani dengan malu, ketara sekali kalau dia menguping. Tapi bagaimana tidak dengar mereka jelas-jelas bercerita di depan wajahnya sendiri dan jelas tertangkap oleh pendengarannya. Dan dia faham dengan apa yang mereka bicarakan. Lebih sialnya lagi, jiwa keingintahuannya menggelora. “Kalau kabarnya ya begitu Mbak. Tapi kok sepertinya cuma gosip. Banyak ibu-ibu disini yang punya anak gadis, kepingin punya mantu Pak Lurah jadi ya tidak heran kalau banyak yang ngaku-ngaku. Tapi sampai sekarang kami ini juga belum tau, perempuan mana yang akan jadi ibu lurah nanti.” Rinjani tidak menjawab lagi, dia hanya mengangguk faham. Jadi ternyata pak lurah mereka itu calon idaman para mertua di sana. Buktinya banyak sekali yang ingin menjadikannya menantu. Tapi kenapa sampai sekarang belum menikah? Rinjani langsung menggeleng pelan, mengenyahkan pertanyaan absurd dari pikirannya. Apapun alasannya, itu bukan ranahnya untuk ikut campur. Bahkan dia sendiri sampai sekarang juga masih melajang, jadi tidak etis rasanya jika dia memiliki pertanyaan yang serupa untuk pak lurah. “Lupakan Jani, itu bukan urusanmu…” guman Rinjani dengan sangat lirih. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN