Ciara sedang terduduk di meja belajarnya saat mendengar ponselnya berdenting. Ia menoleh dan melihat ponselnya yang berada di atas ranjang. Dengan langkah gontai, ia mendekat dan mengambil benda pipih itu lalu menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Matanya seketika membulat saat melihat email yang baru saja masuk ke ponselnya. Setelah menarik napas panjang ia membuka email itu dan membacanya.
Besok, jam dua belas siang, di sebuah coffe shop. Ciara merasakan tiba- tiba jantungnya berdetak cepat. Ia mengigit bibir bawahnya. Akhirnya, hari itu akan tiba. Hari di mana ia bisa menuntaskan rasa penasarannya. Hari di mana ia bisa melepas semua kegusarannya akhir- akhir ini. Kali ini ia akan mendapatkan jawaban yang pasti.
Ia sudah menyiapkan hatinya. Jika laki- laki itu benar Mahesa, atau malah orang lain. Ia sudah siap menerima semua kemungkinan terburuk.
***
Ciara bangun saat Matahari sudah bersinar terik. Ia mengeliat di bawah selimutnya dan menguap lebar. Ia sepertinya sudah sangat lama tak merasakan bangun siang dan tidur pulas. Setelah menjalani masa kuliah dengan segudang kegiatannya yang merampas waktu istirahatnya, ia kini punya waktu sedikit sebelum memulai koas.
Ia bangun dari posisi tidurnya dan mengambil gelas berisi air di atas nakas lalu menyesapnya pelan. Ia merasakan air itu mengaliri tenggorokkannya yang terasa kering. Setelah menghabiskan setengah isi gelas, ia berdiri lalu mendekati jendela kamarnya, menyingkap tirai dan membukanya. Membiarkan sinar matahari dan udara segar masuk ke kamarnya.
Ia menatap taman kecil di depannya lalu berjalan keluar dari kamar sambil menggaruk- garuk kepalanya yang terasa gatal. Ia keluar dari rumah dan melihat Ibunya sedang menyiram tanaman yang ada di halaman. Ia pergi ke samping dan mengambil handuk yang ada di jemuran.
“Kamu mau pergi?” Dewi bertanya pada Ciara yang langsung mengangguk. Gadis itu kembali masuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
Ciara keluar kembali setengah jam kemudian dengan rambut yang basah dan di selimuti oleh handuk. Ia masuk ke dalam kamarnya dan beridiri di depan lemari pakaiannya untuk mengganti bajunya.
Ciara mengambil sebuah sepotong blouse berwarna abu- abu juga jeans berwarna hitam. Ia mengganti bajunya lalu pergi ke meja berlajarnya untuk mengeringkan rambut panjangnya yang basah dengan bantuan pengering rambut. Selama beberapa menit, suara riuh yang keluar dari mesin pengering rambut mendominasi ruangan itu. Ia menyisir rambutnya dan membiarkannya tergerai rapi melewati bahunya.
Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Ia menarik napas panjang lalu berdiri dan mengambil tasnya di gantungan lalu keluar dari kamar. Ibunya sudah pindah dari halaman ke ruang tamu. Wanita itu sedang berhadapan dengan beberapa buku dan lembaran keras di atas meja ruang tamu.
“Kamu mau ke mana, Ra?” tanyanya saat Ciara duduk di depannya dengan sepasang sepatu sneakers di tangannya. Gadis itu sedang fokus pada binda pipih di tangannya untuk memesan jasa transportasi online.
“Ada janji sama teman, Bu.” Jawab gadis itu sambil memasangkan sepatu itu ke kaki telanjangnya. Dewi mengangguk lalu melihat gadis itu mengulurkan sebelah tangannya untuk berpamitan.
Dewi meraih tangan anaknya dan membiarkan Ciara mencium punggung telapak tangannya lalu pamit dan keluar dari rumah.
Ciara berdiri di depan gerbang rumahnya dan menatap maps dengan ikon sepeda motor yang bergerak di ponselnya, hingga tak lama sebuah sepeda motor berhenti di depannya. Setelah memastikan plat nomor dan nama si pengemudi sama dengan yang tertera di aplikasi, ia mengambil helm yang diulurkan pria itu dan naik ke jok belakang. Ia membiarkan pengemudi iu membawanya ke tempat tujuannya.
***
Bara menghentikan mobilnya di perempatan lampu merah saat mendengar ponselnya berdenting. Ia merogoh saku celananya dan membaca beberapa pesan yang masuk dari orang yang sama.
Ciara: Send a picture.
Ciara: Send a picture.
Bara menatap dua buah foto yang di kirim oleh Ciara. Foto pertama ada sebuah studio foto dengan plang MR. R Photography. Ia menatap foto itu dan mengernyit dalam karena tak mengerti kenapa gadis itu mengiriminya gambar itu. Ia lalu mengunduh gambar kedua dan membukanya, sebuah foto seorang gadis yang sedang menyebrang jalan. Matanya memicing dan menatap potret hitam putih itu baik- baik.
Suara klakson yang memekik di belakangnya mengagetkannya. Ia menaruh ponselnya di sebelahnya dan menekan pedal gas untuk melewati perempatan lampu merah. Ponselnya kembali berdenting. Ia yang begitu penasaran akhirnya menepikan mobilnya di trotoar lalu kembali membaca pesan yang masuk.
Ia membaca rentetan pesan yang Ciara kirimkan. Ciara menjelaskan semuanya. Saat ia menemukan studio foto itu karena ketidak sengajaan, juga fotonya di studio itu. Ia memberitahu Bara segala kemungkinan yang ia pikirkan hingga pada rencananya menghubungi pemilik studio foto itu.
Gadis itu memberikan nama kafe tempat ia akan bertemu. Setelah mencerna semuanya, Bara menelan ludah lalu memutuskan untuk memutar kemudi dan beralih dari tujuan sebelumnya. Ia menekan pedal gas dalam- dalam dan menyalip diantara padatnya jalanan demi bisa sampai ke tempat itu secepatnya.
***
Ciara menautkan kedua jari- jarinya di atas meja. Ia bisa merasakan telapak tangannya berkeringat kendati suhu di kafe tersebut bisa dibilang dingin. Ia mati- matian mencoba meredam perasaannya yang terasa tak karuan. Otaknya sudah berputar begitu cepat menyeleksi segala kemungkinan yang akan terjadi. Apa yang harus ia lakukan jika laki- laki itu memang Mahesa, atau apa yang akan ia lakukan selanjutnya jika ternyata semua dugaannya salah.
Ia melirik jam digital di kafe tersebut. Sepuluh menit menuju jam dua belas. Ia menatap ponselnya, membaca email yang sudah dikirimnya untuk Radit. Ia bilang bahwa ia sudah sampai dan ada di meja nomor lima, di pojok ruangan dekat jendela.
Sepuluh menit yang baginya sangat- sangat lama akhirnya berakhir. Saat jam menunjukkan pukul dua belas, ia merasakan seseorang berdiri di belakangnya dan berujar, “Dengan Tasya?”
***
Suasana kelas itu riuh karena sedang pergantian dosen. Lara melirik sekeliling, lalu memasukkan barang- barangnya ke dalam tas.
“Lo mau ke mana?” tanya Dila yang duduk tepat di sebelahnya.
“Cabut dulu, ada janji. Kalau Kamal nyari, bilang aja gue udah berangkat, HP gue ketinggalan di rumah.” Katanya sambil menepuk bahu Dila lalu melambai dan keluar dari ruang kelas. Gadis itu menyusuri koridor lantai dua fakultas sastra indonesia yang sepi. Semua orang sibuk berada di dalam kelas.
Langkah kakinya bergerak cepat menuruni tangga. Ia berharap tak bertemu dosen yang akan mengajar di kelasnya. Ia berhasil menyelinap hingga akhirnya keluar dari fakultasnya. Ia tidak bisa membendung kebahagiaannya. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan bahwa Mahesa telah membuatnya begitu bersemangat menyambut hari.
***
Ciara menoleh dan terkejut melihat sosok laki- laki yang menjulang tinggi di depannya. Tak hanya Ciara, sosok laki- laki itu pun tak kalah kaget. Ia tidak menyangka bahwa klien yang akan ditanganinya kali ini bukanlah sosok asing dalam kehidupannya. Sosok itu adalah sosok yang sudah lama ia ingin jumpai, sosok yang bertahun- tahun ia amati secara diam- diam, sosok yang masih setia menjadi penghuni hatinya.
“Cia…ra” kata Mahesa dengan nada lirih. Gadis itu berdiri lalu menatapnya dengan tatapan yang begitu sulit diartikan. Selamat beberapa saat, keduanya berdiri berhadapan dengan tatapan saling mengunci. Keduanya merasa bahwa waktu berhenti. Ciara tidak pernah menyangka bahwa semua dugaannya benar. Ia tidak menyangka bahwa ia akan bisa menatap wajah laki- laki itu. Laki- laki yang sudah menghilang selama empat tahun dan tidak ia ketahui ke mana perginya.
Ia mengulurkan sebelah tangannya untuk menyentuh bahu laki- laki itu. Memastikan bahwa sosok di depannya bukanlah sebuah fatamorgana. Bibirnya bergetar saat ujung jari telunjuknya menekan d**a laki- laki itu yang terbalut oleh kemeja merah marun pendek.
Mahesa menatap gadis yang berdiri di depannya. Gadis yang baginya tak berubah selama empat tahun kepergiannya selain kenyataan bahwa ia semakin cantik. Dari jaraknya yang begitu dekat, ia bisa melihat lapisan bening di kedua mata gadis itu. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan gadis itu. Apakah gadis itu senang bertemu dengannya, atau justru menyimpan amarah karena ia meninggalkannya tanpa sepatah katapun dan menghilang bagai ditelan bumi.
Ragu- ragu, Ciara bergerak maju lalu memeluk tubuh tegap itu. Mahesa kaget, perlahan tangannya terulur untuk mengelus punggung gadis itu. Tidak peduli semua pasang mata di kafe itu mengarah kepadanya. Tak peduli keduanya menjadi pusat perhatian.
“Maafin gue.” Bisik Mahesa tepat di telinga gadis itu. Ia mengeratkan pelukannya, ingin menunjukkan pada gadis itu betapa ia merindukannya, sangat. Bahwa memikirkan gadis itu pun sangat- sangat menyiksanya. Bahwa ia telah melalui malam- malam berat hanya untuk menahan rindunya pada gadis itu.
Mereka masih berpelukan saat tiba- tiba sebelah tangan Ciara ditarik dengan keras dan pelukan itu terurai. Tubuh Ciara terdorong kebelakang dan berdiri tepat di belakang Bara yang menunjukkan raut wajah dingin.
Satu lagi kejutan untuk Mahesa. Ia menarik napas lalu menatap mata serupa jelaga itu baik- baik. Mata yang dulu menatapnya penuh kebencian. Kali ini bias kebencian itu sudah tak ada, yang ada hanyalah tatapan dingin yang terasa begitu tajam.
Ia tak mengerti kenapa semesta mempermainkannya dengan sedemikian rupa. Semua rencana yang sudah ia pikirkan matang- matang tak ada yang berjalan dengan baik. Kini Ciara yang justru menemukannya
“Selamat datang.” Kata Bara sambil menggenggam erat tangan gadis yang kini sudah berada di sampingnya. Gadis itu menunduk, berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah. Tangisnya sudah siap tumpah. Tangis bahagia karena akhirnya, semua dugaannya benar dan rasa penasarannya kini sudah menemukan jawabannya. Ia mendongak perlahan, menatap laki- laki yang tengah manatap Bara yang tampak dingin.
“Gue senang lihat lo baik- baik aja.” Kata Bara lagi. Ia melihat laki- laki di depannya mengangguk pelan sambil tersenyum kecil.
Bara duduk di kursi terdekat, mengisyaratkan agar Ciara dan Mahesa mengikutinya.
“Gimana kabar lo?” kali ini pertanyaan keluar dari mulut Mahesa. Suaranya terdengar canggung, namun ia mencoba selugas mungkin. Ia tidak pernah membayangkan akan hadir di depan keduanya dalam keadaan seperti ini. Tanpa persiapan apapun.
“Baik.” Jawab Bara santai. Ia melirik Ciara yang tampak canggung.
“Gue permisi ke toilet.” Ciara berbisik pada Bara yang duduk di sebelahnya. Bara mengangguk dan melihat gadis itu berdiri dari duduknya dan berjalan menjauhi meja.
Ciara berjalan ke arah toilet dan masuk ke salah satu bilikdi toilet khusus perempuan. Ia menutup pintu toilet dan menyandarkan punggungnya di sana. Ia merasakan semua energinya tersedot saat bertemu Mahesa hingga kakinya terasa lemas. Ia memegang dadanya yang masih berdebar kencang. Ia menarik napas pelan, mencoba menormalkan detak jantungnya yang serupa deburan ombak.
TBC
LalunaKia