Lara duduk di terminal kedatangan bandara. Ia menatap sekeliling lalu melirik penunjuk waktu di pergelangan tangannya. Ia perlu menunggu setengah jam sebelum pesawat yang ditumpangi Mahesa mendarat di sana.
Ia menumpu satu kakinya pada kaki lainnya dan mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Ia membuka aplikasi pesan dan membaca kembali kotak chatnnya bersama Mahesa. Ia tersenyum tanpa sadar.
Lara masih sibuk dengan gawainya saat seorang laki- laki menjulang tinggi di depannya. Ia mendongak dan melihat seulas senyum menyapanya. Laki- laki memakai kaos putih yang dilapisi kembali dengan kemeja hijau army yang kancingnya di biarkan terbuka. Bawahannya sebuah celana pendek dan sepasang sneakers melapisi kedua kakinya. Mahesa membuka kacamata hitamnya lalu duduk di sebelah gadis itu.
Mahesa tidak menyangka gadis itu akan benar- benar menjemputnya di bandara hari ini.
“Nggak ada kelas emang? Kok malah keluyuran di sini?” tanya laki- laki itu.
“Ada sih, tapi bolos dulu nggak apa- apa.” Jawab gadis itu sambil tersenyum.
“Masih hobi bolos?” laki- laki itu tertawa.
“Eh, nggak kok, Kak. Jarang- jarang.” Lara buru- buru meralat ucapannya. Ia tidak ingin Mahesa berpikir bahwa ia masih suka bolos, bertengkar dan menguji kesabaran seperti saat SMA. Ia ingin laki- laki itu melihatnya lebih jelas. Seperti Bara, dirinya juga sudah banyak berubah.
Setelah berbincang sebentar, mereka berdua pergi menuju parkiran di mana mobil Kamal terparkir.
Lara tidak membayangkan akan menemukan Mahesa dan menjadi dekat dengan laki- laki itu. Selama perjalanan, laki- laki itu menceritakan pekerjaan yang baru dijalaninya sambil tetap fokus pada kemudi. Sejak awal bertemu kembali, laki- laki itu tak pernah merasa canggung dengannya. Laki- laki itu masih seperti sosok yang dulu. Sosok hangat yang tak berubah meski mereka sudah tak bertemu selama empat tahun.
Mahesa membawa Lara ke kantornya. Studio foto dua tingkat itu memang tempat di mana ia menghabiskan banyak waktu. Jika lantai dasar diperuntukan sebagai tempat percetakan dan studio foto. Lantai dua bangunan itu adalah wilayah pribadinya. Ada kamar, ruang tunggu, ruang kerja dan tempat menyimpan kamera- kamera mahalnya dan segala peralatannya.
“Kamu udah makan belum?” tanya Mahesa saat ia menghentikan mobil di kantornya. Ia melihat gadis itu menggeleng lalu tersenyum, “gue pesenin Mie Aceh ya, di sebelah ada restoran baru. Mie Acehnya enak.” Kata laki- laki itu sambil keluar dari mobil. Lara mengangguk sambil tersenyum lalu mengekori laki- laki itu untuk masuk ke dalam studio yang sedang ramai.
“Nadia, minta tolong Samsul belin dua bungkus Mie Aceh di sebelah, ya.” Katanya pada salah satu karyawannya sambil menyerahkan selembar uang seratus ribuan.
“Iya, mas.”
Setelah mengucapkan terima kasih, mereka berdua naik ke lantai atas. Mahesa menyuruh Lara duduk di ruang tunggu sementara ia menaruh peralatan di ruangannya.
Lara mengedarkan pandangannya. Menatap sekeliling. Melihat tiap potret yang tercetak dalam bingkai- bingkai yang tertempel di dinding. Ia tersenyum, mengaggumi kemahiran laki- laki itu dalam mengambil gambar. Ia tidak menyangka laki- laki itu akan menjadi seorang fotografer.
Lima menit kemudian, Mahesa kembali, laki- laki itu menghampiri kulkas yang ada di pojok ruangan lalu mengambil dua buah minuman bersoda dan memberikan salah satunya pada Lara yang langsung mengucapkan terima kasih.
“Itu semua kakak yang ambil gambarnya?” tanya Lara. Mahesa yang sedang meneguk minumannya hanya mengangguk sebagai jawaban. “eh, nggak deh, ada yang diambil sama teman- teman yang lain juga.” Mahesa meralat kata- katanya.
“Kenapa milih jurusan fotografi, Kak?” Lara bertanya dengan nada penasaran. Ia melihat laki- laki di depannya tampak berpikir.
Sebuah memori masuk ke pikiran Mahesa. Kenangan saat ia menghabiskan hari- harinya di Singapore. Berjalan- jalan bersama Agni sepupunya hingga akhirnya ia mantap memilih jurusan fotografi sebagai tujuan hidupnya. Sebuah hal yang yang datang begitu tiba- tiba.
“Tiba- tiba aja.” Jawab laki- laki itu. Ia bingung bagaimana menjelaskan pada gadis itu sehingga akhirnya memilih kata- kata itu.
Lara mengangguk sambil tersenyum kecil. Ia belum sempat tanya lagi karena seorang laki- laki menghampirinya dengan sebuah bungkus di tangannya dan menaruhnya di atas meja yang ada di depannya.
Mahesa mengucapkan terima kasih dan melihat Samsul pergi menjauhinya. Dengan kedua tangannya, Ia membuka bungkusan di atas meja dan mengeluarkan dua boks dari sana. Ia mendorong satu boksnya hingga berada di depan Lara yang mengucapkan terima kasih.
Mereka berdua menikmati makanan mereka. Sesekali Lara bercerita mengenai kuliahnya dan teman- temannya yang juga dikenal oleh Mahesa. Mereka mengobrol asik hingga seseorang muncul di antara mereka. Mereka berdua menoleh dan melihat Iras berdiri tak jauh dari tempat mereka duduk. Lara mencoba mengulas senyum kaku.
Iras terkejut melihat Lara ada di sana. Ia mendekat lalu duduk di samping Mahesa.
“Lo udah makan belum?” tanya Mahesa.
“Udah.” Jawabnya singkat. Matanya lalu menatap Lara yang tampak canggung. “ada yang perlu gue omongin. Gue tunggu di ruangan lo aja ya.” Kata Iras sambil berdiri lalu masuk ke ruang kerja Mahesa setelah memastikan laki- laki itu mengangguk.
***
Bara keluar dari kamarnya dengan satu buket bunga dan sebuah paper bag di tangannya. Ia sudah berpakaian rapi. Ia memakai kaos putih yang dilapisi jas warna hitam. Sepasang sneakers melapisi kedua kakinya. Ia melangkah menuruni tangga rumahnya dan menemukan ayahnya sedang duduk dengan secangkir kopi di atas meja ruang tamu.
“Kamu mau ke mana?” tanya pria itu saat melihat anaknya berpakaian rapi lebih dari biasanya. Ia menatap sesuatu di tangan laki- laki itu dan teringat, “Ciara wisuda hari ini, ya?” tanyanya. Ia melihat anaknya mengangguk.
“Bara jalan dulu, ya, Pa.” kata Bara. Ia mencium punggung telapak tangan ayahnya lalu keluar dari rumah, menghampiri mobilnya yang terparkir di garasi. Ia menaruh buket bunga dan hadiah yang sudah ia siapkan untuk Ciara di kursi di sebelahnya.
Ia melajukan mobilnya langsung menuju tempat wisuda dilaksanakan. Nugi sudah menjemput gadis itu dan ibunya dan mengantarnya ke lokasi wisuda.
Saat ia sampai, mobil tampak memadati parkiran. Mahasiswa dengan baju dan toga terlihat di mana- mana. Setelah mendapatkan parkiran, ia keluar dari mobil. Ia membawa buket bunga dan paper bag berisi hadiah dengan tangan kanannya.
Ia menuju koridor gedung di mana orang- orang menunggu sebelum ruang aula di buka. Ia melangkah dengan mantap, mencoba mencari keberadaa Ciara. Beberapa mata di sekeliling sempat menghujam ke arahnya hingga akhirnya ia menemukan orang yang ia cari. Gadis itu tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya. Nugi berdiri di sebelahnya dan memasang wajah masam saat melihatnya.
Ia melangkah lebih cepat dan memeluk gadis itu saat sampai di depannya. “Selamat, ya.” kata laki- laki itu. Ia mengurai pelukannya dan menatap wajah gadis itu yang dilapisi make up tipis yang membuatnya terlihat semakin cantik.
“Tan, anaknya cantik banget.” Kata Bara pada Dewi sambil merangkul pundak gadis itu dengan posesif. Nugi menatapnya dengan tatapan dingin.
“Iya… dong.” Kata Dewi.
“Gimana perasaannya?” Bara menoleh dan semakin mengeratkan setengah pelukannya pada gadis di sebelahnya. Tak peduli Nugi menatapnya dengan tatapan murka.
“Senang, deg- degan.” Kata gadis itu.
“Jangan senang dulu, koas akan lebih menyiksa.” Kata Bara yang membuat Ciara dan Dewi terkekeh pelan.
***
Iras melempar kacang ke arah Mahesa yang merebahkan diri di sofa di depannya. Ia sudah mulai bosan melihat laki- laki itu hanya termenung di depannya. “Ciara bakal koas di rumah sakit tempat bokap lo.” Iras memberitahu.
Mahesa menoleh lalu menatap Iras penuh selidik. Tapi, ia masih terdiam. Enggan mengucapkan sepatah katapun.
“Lo sama Lara nggak ada apa- apa kan?” tanya Iras. Laki- laki di depannya menggeleng dengan mantap. Matanya beralih pada layar laptop yang sedang membuka menu email. Ia melirik kotak masuk dan melihat pesan berbintang dari seseorang bernama Tasya. Perempuan yang akan memakai jasanya.
“Gue bakal ketemu klien besok. Setelah selesai, gue akan langsung ketemu Ciara.” Kata Mahesa sambil menatap Iras yang justru terlihat tak acuh, seakan- akan tidak benar- benar percaya pada kata- katanya.
“Semoga lancar kalau gitu.” Kata Iras, matanya menatap dinding- dinding ruangan kerja sahabatnya. Ruangan pribadi Mahesa yang tak bisa dimasuki sembarangan orang, karena di sana, luka laki- laki itu terlihat. Semua potret yang tercetak pada bingkai- bingkai cetakan kanvas itu semua tentang Ciara Anastasya. Potret dalam diam. Dalam berbagai pose, waktu dan tempat yang berbeda. Ia tahu apa yang laki- laki itu rasakan dan ia bisa dibilang salut pada laki- laki itu. Mahesa begitu pintar mengendalikan dirinya. Jika dulu dia adalah laki- laki yang mudah tersulut emosi dan laki- laki yang begitu menggebu- gebu. Ia bisa melihat bahwa sahabatnya telah banyak berubah dalam pelariannya. Emosi laki- laki itu lebih terkendali, termasuk mengenai Ciara, gadis yang di cintainya.
***
Kamal memerhatikan Lara yang sudah mengabiskan waktu setengah jam di depan lemari pakaiannya. Gadis itu terlihat menggaruk dagunya dengan bingung lalu memilah- milah isi lemarinya.
“Duh, Mal. Gue pakai baju apa dong besok?” Tanya gadis itu dengan nada bingung.
“Kan gue udah bilang, lo pakai apa aja juga cantik. Jadi diri lo sendiri aja. Kak Mahesa juga bukan orang baru kan, dia udah tahu lo kayak gimana.” Kata Kamal dengan nada tak acuh. Ia mulai bosan mendengar gadis itu terus menerus membicarakan Mahesa.
“Iya sih. Tapi masa gue dari dulu nggak berubah.”
Kamal mengangkat bahu lalu menatap layar televisi yang kali ini terasa lebih menarik dari Lara yang sedang berkutat dengan kebingungannya. Ia tidak tahu kalau ajakan Mahesa untuk sekadar makan bersama bisa membuat gadis itu seperti mendapat lotre ratusan juta, kebahagiaan yang tak pernah bisa dibayangkannya.
“Belum selesai juga milih bajunya?” Ayra masuk ke dalam kamar Lara dengan sepiring berisi buah potong di tangannya. Ia mengambil tempat di samping Kamal yang sedang fokus pada layar datar di depannya.
Mereka saru saja selesai mengerjakan tugas. Tiga buah laptop masih menyala dan terbuka di atas meja panjang di kamar itu, juga kertas- kertas yang belum dibereskan.
Ayra merapikan kertas dan menaruh piring itu di atas meja. Ia lalu melirik Lara yang tampak begitu bersemangat. Ia akhirnya berdiri dari duduknya dan menghampiri Lara yang masih berdiri di depan lemarinya.
Keduanya saling pandang. Ayra menilik satu persatu isi lemari saudara kembaranya. "Lo nggak punya dress atau blouse gitu?” Ayra bertanya. Ia melihat gadis di sebelahnya menggeleng pelan.
Ia menghela napas. Ia tahu bahwa Lara selalu setia dengan setelan kaos dan celana jeans, juga kemeja semenjak kuliah.
“Lo mau pakai baju gue?” Ayra bertanya lagi. Lara kembali menggeleng. Ia memikirkan kata- kata Kamal. Ia tidak ingin terlihat begitu mencolok sehingga ia menggelengkan kepalanya atas tawaran saudara kembarnya.
“Lo besok dijemput di kampus?” Tanya Kamal tanpa melepas pandangannya dari layar datar di depannya. “bukannya tadi lo ngeluh agak gak enak badan, ya?” kata Kamal lagi.
“Iya, setelah dia ketemu kliennya.” Jawab Lara. “gue kayaknya masuk angin, sih, makanya habis ini mau minum obat terus langsung tidur.”
Suara pintu yang di ketuk membuat tiga pasang mata itu menoleh ke asal suara. Asisten rumah tangganya terlihat di ambang pintu kamar Lara.
“Ada Mas Bara, Non.” Wanita paruh baya itu langsung melihat ke arah Ayra yang langsung menghela napas.
“Udah sana temuin. Lo tuh jangan jutek- jutek apa sama dia.” Lara mendorong pundak Ayra menuju pintu kamarnya. Ayra sudah mengerucutkan bibirnya kesal. Ia melangkah dengan gontai keluar dari kamar dan menemui Bara di ruang tamu.
“Hai…” Bara menyapa dengan ramah. Ia melihat raut wajah masam gadis itu. Ia tahu, dirinya tak pernah gadis itu harapakan untuk datang ke rumah itu. Gadis itu menjatuhkan diri di sofa kosong di depannya lalu melipat kedua tangannya di depan d**a.
“Aku bawain bronies kesukaan kamu.” Bara mendorong kue dalam plastik yang ia bawa hingga berada tepat di depan gadis itu.
“Makasih.” Kata Ayra pelan.
“Ay, gue duluan ya.” Katanya saat ia sampai di ruang tamu. Ransel sudah menggantung di punggung laki- laki itu. Ia tersenyum pada Bara yang langsung membalas senyumnya.
“Lo udah selesai?” Ayra bertanya.
Bara menatap perubahan yang begitu cepat di wajah Ayra. Saat berhadap dengan Kamal, raut wajah masam gadis itu hilang, digantikan oleh tatapan yang begitu hangat.
“Udah. Laptop sama buku catatan lo gue taruh di meja makan, ya. Lara udah mau tidur soalnya.”
“Lo mau langsung pulang?” Ayra bertanya kembali.
“Gue mau jemput Dila dulu.” Jawabnya sambil mengangguk pada Bara dan keluar dari rumah.
Bara menghela napas. Ia menatap sosok Kamal hingga menghilang di balik pintu. Tatapannya lalu kembali ke Ayra. Ia bisa merasakan dentuman emosi di dadanya. Ada lava menggelegak yang siap tumpah.
Bara menatap Ayra yang menekuk wajahnya selepas kepergian Kamal. Ia tahu, ada sesuatu yang di simpan gadis itu untuk Kamal. Mungkin sebuah rasa yang selama ini ia takutkan. Rasa yang bukan hanya sekadar sahabat. Ia bisa melihat dalam sorot mata gadis itu. Tatapan gadis itu pada Kamal bukan tatapan biasa. Tatapan itu penuh arti, rasa dan kekaguman.
“Boleh nggak aku minta satu kesempatan sama kamu.” Kata Bara. Ayra menoleh, namun masih terdiam. “Tolong buka hati kamu, sedikit aja.” Katanya. Sejujurnya, ia bisa saja memaksakan kehendaknya seperti saat SMA. Ia bisa saja membuat gadis itu menerimanya dengan sedikit gertakan. Tapi, ia tidak mau. Ia ingin memulai hubungan dengan baik dan tanpa paksaan hingga akhirnya ia sadar bahwa semua itu sulit. Perasaan gadis itu nyatanya tak mudah terurai.
“Nggak bisa.” Lirih Ayra dengan nada menyesal dan ia bisa melihat air muka Bara berubah. Ia menelan ludah, seperti sudah siap menerima amarah laki- laki itu.
Tapi Bara menghela napas lalu menganguk. Lidahnya kelu sehingga untuk beberapa detik, tak juga ada yang keluar dari mulutnya. Gadis itu bahkan tak perlu repot- repot berpikir sebelum menjawab pertanyaannya.
“Kalau begitu, boleh aku minta sedikit waktu kamu besok?” tanya Bara. “jam dua belas siang. Nanti aku chat tempatnya. Kalau kamu nggak mau dijemput, kita langsung ketemu di sana aja.” Lanjutnya. “Aku pulang dulu.”
Ayra melihat Bara tersenyum getir lalu berdiri dari duduknya dan mendekat ke pintu lalu menghilang di baliknya. Ia tahu, untuk kesekian kalinya, ia telah mengancurkan hati laki- laki itu.
TBC
LalunaKia